HOTSPOT SAMPAH LAUT INDONESIA KAJIAN CEPAT LAPORAN SINTESIS APRIL 2018 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KEMARITIMAN AKRONIM DAN SINGKATAN APBD Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BLH Badan Lingkungan Hidup BPN Badan Pertanahan Nasional BPS Badan Pusat Statistik COP 21 The 2015 Paris Climate Change Conference (Konferensi Perubahan Iklim Paris untuk tahun 2015) CSO Civil Society Organization DANIDA Danish International Development Agency (Badan Pembangunan Internasional Denmark) DKPP Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman DPU Dinas Pekerjaan Umum IDR Mata uang Rupiah INDC Indonesia’s Nationally Determined Contribution (Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional untuk Indonesia) IPRC International Pacific Research Center (Pusat Penelitian Pasifik Internasional) Jakstranas Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Kemenko Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Perekonomian KemenLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KemenPUPR Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat LISA Program “Lihat Sampah Ambil” Pemerintah Kota Makassar LONGGAR Program “Lorong Garden” Pemerintah Kota Makassar LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MARPOL Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal 73/78 MSW Municipal Solid Waste (Sampah Padat Perkotaan) OECD Organization for Economic Cooperation and Development (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Perekonomian) OSPAR Singkatan dari Konvensi Oslo dan Paris (Mekanisme kerjasama antara 15 pemerintah dan Uni Eropa untuk melindungi lingkungan laut di kawasan Atlantik Timur Laut) PDB Produk Domestik Bruto PEEK Polyether Ether Ketone Plastics PELINDO Perusahaan Pelabuhan Indonesia Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RT Rukun Tetangga RW Rukun Warga SDN Sekolah Dasar Negeri SMAN Sekolah Menengah Atas Negeri SNI Standar Nasional Indonesia SWM Solid Waste Management (Pengelolaan Sampah Padat) TPA Tempat Pemrosesan Akhir TPS Tempat Penampungan Sementara TPST Tempat Pengolahan Sampah Terpadu UE Uni Eropa UPK Unit Pelaksana Kerja UPT Unit Pelaksana Teknis UCAPAN TERIMA KASIH Pelaksanaan Kajian Cepat Sampah Laut di Indonesia sangat terbantu dengan dukungan pendanaan dari DANIDA dan dukungan teknis dari Kedutaan Besar Kerajaan Denmark di Jakarta. Tim menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Duta Besar Casper Klynge, Jacob Hansen, Kirstine Jespersen, dan Hanna Johansen atas dukungan kuat mereka selama proses kajian ini. Tim teknis Bank Dunia dikelola oleh Iain Shuker dan dipimpin oleh Cary Anne Cadman. Anggota tim terdiri dari Ken Butler, Lucy Mitchell, Jacky Latuheru, Hanifa Asquf, Isnanto Solihin Yugo Pratomo, Rijal M. Idrus, Pankie Pangermanan, Khirlan, Iin Pratamasari, Iqbal Noor, Ayu Prasetyawati, Maya Sarah, dan Kiki Prio Utomo. Anjali Acharya memimpin penyelesaian laporan sintesis. Dukungan administratif diberikan oleh Sandra Buana Sari, Ariphoerti Woerasihingtijas, dan Anita Ristanti. Layanan penerjemahan simultan diberikan oleh Ibnu Najib dan Ibu Wanty. Umpan balik atas temuan-temuan awal studi dari para peserta Indonesia National Marine Debris Summit di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 1-3 November 2016, menjadi masukan berharga untuk mempertajam kajian. Tim juga mendapatkan manfaat dari review teknis oleh Frank Van Woerden, Jostein Nygard, dan Ernesto Sanchez-Triana. DAFTAR ISI 1 Pendahuluan dan Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.1 Meningkatnya Krisis Pencemaran Plastik di Lautan ........................................................................... 1 1.2 Tantangan Sampah Laut di Indonesia ................................................................................................ 2 1.2.1 Ekosistem Pesisir dan Laut Terancam ............................................................................................ 2 1.2.2 Kondisi Sektor Sampah Padat di Indonesia .................................................................................... 3 2 Cakupan dan metodologi ..................................................................................................................... 5 2.1 Uraian Singkat .................................................................................................................................... 5 2.2 Metodologi Survei Lapangan yang Terperinci .................................................................................... 6 3 Pengelolaan Sampah: Kondisi Awal ................................................................................................... 10 3.1 Instansi Pemerintah yang Bertanggung Jawab untuk Sampah Padat Perkotaan ............................. 10 3.2 Instansi Pemerintah yang Bertanggung Jawab atas Pengelolaan Sampah di Aliran Air ................... 11 3.3 Mempertimbangkan Tingkatan Kota dalam Mendukung Pengelolaan Sampah Padat .................... 12 3.4 Survei Kegiatan Penggunaan Lahan dan Pola Pembuangan Sampah .............................................. 13 3.5 Prasarana Pengelolaan Sampah di Kota Sasaran ............................................................................. 14 3.5.1 Bank Sampah ............................................................................................................................... 14 3.5.2 Prasarana dan Pengoperasian Pengelolaan Sampah di Aliran Air .............................................. 17 4 Perkiraan Volume Sampah yang Dihasilkan ....................................................................................... 19 4.1 Tingkat Volume Sampah Padat Perkotaan yang Dihasilkan: Pemodelan ......................................... 19 4.2 Tingkat Timbulan Sampah yang Dihasilkan dan Dikumpulkan: Hasil Survei .................................... 20 5 Pengambilan Sampel dan Karakterisasi Sampah ................................................................................ 21 5.1 Komposisi Sampah Padat Perkotaan ................................................................................................ 21 5.2 Pengambilan Sampel dan Karakterisasi Sampah di Aliran Air .......................................................... 21 6 Pemetaan Hotspot di Aliran Air ......................................................................................................... 24 6.1 Ringkasan Hotspot Daerah Pasang-surut ......................................................................................... 25 6.2 Ringkasan Karakteristik Hotspot ...................................................................................................... 30 7 Temuan Perilaku-Sosial ..................................................................................................................... 33 7.1 Profil Warga ..................................................................................................................................... 33 7.2 Perilaku dan Praktik pada Tingkat Warga ........................................................................................ 34 8 Diskusi dan Rekomendasi .................................................................................................................. 36 8.1 Tautan ke Program-Program Pemerintah Terkait ............................................................................ 36 8.1.1 Program Pemerintah untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah Padat: ................................... 36 8.1.2 Rencana Tindak Sampah Laut Pemerintah Indonesia ................................................................. 38 8.2 Rekomendasi untuk Menangani Sampah Plastik di Indonesia ......................................................... 40 8.3 Memberikan Masukan bagi Peta Pengelolaan Sampah Plastik di Laut ............................................ 44 8.3.1 Dukungan Sistemik melalui Proyek Pengelolaan Sampah Padat ................................................ 44 8.3.2 Dukungan dengan Sasaran Khusus melalui MDTF Lautan, Sampah Laut, dan Pesisir Indonesia 45 Daftar Acuan .............................................................................................................................................. 47 1 PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG Kajian Cepat Hotspot Sampah Laut di Indonesia dilakukan oleh Bank Dunia dengan dukungan instansi- instansi pemerintah dan lembaga-lembaga penelitian Indonesia terkait, untuk memberikan analisa berbasis data dan terfokus tentang kebocoran sampah padat dari daratan, khususnya plastik, ke lingkungan laut di Indonesia. Kajian ini merupakan studi cepat yang dilakukan dalam dua tahap untuk memberikan informasi terkini dari 15 kota di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia. Kajian dimaksudkan untuk mendukung Indonesia dalam menanggapi peningkatan krisis plastik dan sampah di kawasan lautan negara dan dunia. 1.1 Meningkatnya Krisis Pencemaran Plastik di Lautan Lima pusaran plastik – bentangan sampah mengambang – di lautan yang kian meluas memberikan gambaran cukup gamblang tentang krisis sampah laut, yang juga melanda berbagai kawasan pesisir, hutan bakau, dan aliran air di berbagai belahan dunia. Diperkirakan sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahun.1 Kualitas yang membuat pastik berguna – ringan, tahan lama, kuat, fleksibel, dan berbiaya produksi rendah – kini mengakibatkan suatu krisis pencemaran lautan secara global yang semakin menggunung. Saat ini tercatat 150 juta ton plastik di lautan dunia. Jumlah ini akan meningkat sebesar 250 juta lagi jika tren urbanisasi, produksi, dan konsumsi terus berlanjut. Sebuah laporan dari World Economic Forum dan Ellen MacArthur Foundation memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada “lebih banyak plastik ketimbang ikan (berdasarkan berat),” kecuali bila terdapat “jalur-jalur paska-guna yang efektif untuk plastik; pengurangan kebocoran plastik ke sistem-sistem alami secara drastis, khususnya lautan; dan penghentian penggunaan plastik berbasis fosil.2” Kotak 1: Sekilas tentang Sampah Laut Sampah laut, juga disebut sebagai kotoran laut, didefinisikan oleh UNEP (2009) sebagai “bahan padat yang sulit terurai, hasil pabrikan, atau olahan yang dicampakkan, dibuang, atau dibiarkan di lingkungan laut dan pesisir”. Sampah laut terdiri dari barang-barang yang dibuat atau digunakan oleh manusia dan secara sengaja dibuang ke laut atau sungai, atau dibiarkan tergeletak di pantai atau pesisir; terhanyutkan secara tak langsung ke laut melalui sungai, saluran pembuangan air, air limpasan, atau angin; atau secara tak sengaja hilang, termasuk barang-barang yang hilang di laut (perlengkapan penangkapan ikan). Sampah laut terdapat di semua habitat laut, mulai dari kawasan-kawasan padat penduduk hingga lokasi-lokasi terpencil yang tak terjamah manusia; dari pesisir dan kawasan air dangkal hingga palung-palung laut dalam. Kepadatan sampah laut beragam dari satu lokasi ke lokasi lain, dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia, kondisi perairan atau cuaca, struktur dan perilaku permukaan bumi, titik masuk, dan karakteristik fisik dari materi sampah. Sampah laut dapat digolongkan dalam beberapa kategori: (a) Plastik, mencakup beragam materi polimer sintetis, termasuk jaring ikan, tali, pelampung dan perlengkapan penangkapan ikan lain; barang-barang konsumen keseharian, seperti kantong plastik, botol plastik, kemasan plastik, mainan plastik, wadah tampon; popok; barang-barang untuk merokok, seperti puntung rokok, korek api, pucuk cerutu; butir resin plastik; partikel plastik mikro; (b) Logam, termasuk kaleng minuman, kaleng aerosol, pembungkus kertas timah dan pembakar (barbeque) sekali pakai; (c) Gelas, termasuk botol, bola lampu; 1 Plastics Europe, op. cit. note 1: European House-Ambrosette, op. cit. note 7 seperti dikutip pada Gourmelon, G. (2015) Global Plastic Production Rises, Recycling Lages. Vital Signs. World Watch Institute. 2 World Economic Forum, Ellen Mac Arthur Foundation, dan McKinsey & Company, “The new plastics economy: Rethinking the future of plastics,” 19 Jan 2016. L A P O R A N S I N T E S I S | 1 (d) Kayu olahan, termasuk palet, krat/peti, dan papan kayu; (e) Kertas dan kardus, termasuk karton, gelas, dan kantong; (f) Karet, termasuk ban, balon, dan sarung tangan; (g) Pakaian dan tekstil, termasuk sepatu, bahan perabot, dan handuk. Asia Timur adalah wilayah dengan pertumbuhan produksi sampah tercepat di dunia. Penelitian yang telah diterbitkan menunjukkan bahwa di antara 192 negara di dunia yang sudah dianalisa, lima negara bertanggung jawab atas lebih dari 50% keseluruhan sampah plastik di lautan.3 Semuanya berada di kawasan Asia Timur, yaitu China, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Bila 75% kebocoran sampah dari daratan di empat negara tersebut (semua di Asia Timur – China, Indonesia, Filipina, dan Vietnam) dapat ditekan, hal ini akan mengurangi aliran sampah ke lautan secara global sebesar 45%.4 Studi McKinsey 2015 menunjukkan bahwa dua pemicu utama kebocoran sampah plastik adalah sampah yang tidak terpungut dan rendahnya nilai beberapa jenis plastik tertentu. Studi tersebut menemukan bahwa 75% sumber kebocoran sampah dari daratan berasal dari sampah yang tidak terpungut dan 25% dari sistem resmi pengelolaan sampah padat perkotaan.5 Selain itu, bahwa upaya daur ulang saja tidaklah cukup untuk mengurangi kebocoran sampah plastik ke lautan, karena tercatat hanya 20% plastik yang memiliki nilai memadai untuk didaur ulang. Lagipula, untuk setiap metrik ton plastik yang tidak terpungut di sekitar aliran air, 7 kilogram plastik memasuki lautan, dan untuk setiap metrik ton plastik yang berhasil dipungut, 7 kilogram bocor ke lautan selama proses pengumpulan dan pembuangan; menggarisbawahi pentingnya upaya pemungutan primer dan menegaskan bahwa, meskipun pencemaran sampah plastik di laut merupakan tantangan global, solusinya membutuhkan tindakan pada tingkat lokal.6 1.2 Tantangan Sampah Laut di Indonesia 1.2.1 Ekosistem Pesisir dan Laut Terancam Kotak 2: Pembelajaran dari Pengalaman Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman Internasional hayati lautyang teramat kaya dan beragam. Kawasannya mencakup tiga wilayah bio-geografis dan Program-program pengurangan sampah laut di Amerika Serikat, misalnya, telah terbukti efektif dalam merupakan tempat berlindung kehidupan laut yang mengurangi sampah dengan memadukan beberapa berlimpah – rumah bagi 76 persen spesies karang, pendekatan yang mencakup reformasi kebijakan, hutan bakau, dan padang lamun yang luas. Namun, penerapan teknologi, serta kampanye-kampanye penggundulan hutan di kawasan pesisir, penurunan kesadaran dan pendidikan masyarakat. kualitas air, pencemaran, serta eksploitasi berlebihan Konsep ekonomi melingkar (circular economy), yang terhadap kehidupan laut berdampak fatal terhadap mengusung produksi sampah nol (zero waste ekosistem ini. Ekosistem Indonesia berada dalam production), berhasil diprakarsai oleh Denmark. bahaya besar akibat kebocoran sampah yang terus Pemerintah Denmark telah menyiapkan perangkat bagi pembuat kebijakan yang beritikad untuk berlangsung. Seiring pesatnya laju urbanisasi dan menggolkan transformasi ekonomi melingkar. pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir, tingkat Perangkat ini menunjukkan inisiatif penurunan pencemaran yang merambah dan merusak berbagai sampah mana yang dapat mengarah ke peningkatan ekosistem ini pun akan bertambah; semakin PDB dan kesempatan kerja selain berkontribusi memperburuk kondisi yang ada. terhadap penurunan sampah di lingkungan pesisir dan laut secara signifikan. 3 Jambeck et. al. (2015a) Plastic waste inputs from land into the ocean, Science, 13 February 2015, VOL 347 Issue 6223. 4 McKinsey, 2015, Stemming the Tide: Land Based Strategies for a Plastic Free Ocean. 5 Ibid. 6 McKinsey (2015) Stemming the Tide: Land-based strategies for a plastic - free ocean, McKinsey & Company and Ocean Conservancy, September 2015. L A P O R A N S I N T E S I S | 2 Dari semua pencemar peringkat teratas, Indonesia berada pada peringkat kedua di bawah China. Pada tahun 2010, Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 km dari pesisir dan setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah yang tak terkelola dengan baik, dan diperkirakan mengakibatkan kebocoran 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Sampah laut merupakan bagian dari masalah yang lebih luas terkait pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah padat telah menjadi tantangan kesehatan masyarakat dan lingkungan yang sangat memprihatinkan di banyak negara seperti Indonesia, dimana sistem pengelolaan sampah yang ada, dari sumber hingga pembuangan atau pengolahan akhir, belum memadai (UNEP 2005). Tantangan- tantangan pengelolaan sampah yang dihadapi Indonesia sangat berat, namun bukan berarti tidak bisa teratasi. Pemerintah Indonesia tengah menangani tantangan sampah lautnya secara langsung, dan dapat membantu mengubah tren di Asia Timur. Sebagian besar tantangan Indonesia dalam menghentikan kebocoran sampah laut mencakup penanganan penyediaan layanan pengelolaan sampah perkotaan yang hingga kini belum memadai. 1.2.2 Kondisi Sektor Sampah Padat di Indonesia Rencana Jangka Panjang Nasional untuk Kawasan Perkotaan Pemerintah Republik Indonesia, 2015- 2045, telah menetapkan sasaran standar layanan perkotaan dan pengelolaan sampah perkotaan – menuntut kinerja sektor yang tinggi. Pengelolaan sampah padat menjadi prioritas dalam agenda nasional, seperti yang ditampakkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menargetkan untuk menghapus seluruh kawasan kumuh dan menyediakan akses universal ke air bersih dan sanitasi “100-0-100”, termasuk sampah padat, pada tahun 2019.7 Hal ini juga mencakup penerbitan Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah – yang mengharuskan penutupan tempat pembuanganakhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka selambat-lambatnya tahun 2013; dan mewajibkan ketiga tingkatan pemerintah (pusat, provinsi, kota/kabupaten) untuk turut mendanai sektor tersebut. Ketentuan ini mematok sebuah tujuan yang ambisius dalam perbaikan penyediaan layanan publik, jika ditilik dari perkiraan saat ini yang menyatakan hanya 45-50% sampah padat perkotaan Indonesia yang berhasil dikumpulkan, dengan kinerja masing-masing kota yang sangat beragam. Sebagai contoh, dari 98% sampah terkumpul dan terangkut ke tempat-tempat pembuangan di Jakarta Barat, sedangkan hanya 15% sampah terangkut ke tempat-tempat pembuangan di Tangerang Selatan. Walaupun mutu data tetap menjadi isu tersendiri, tingkat pengumpulan perlahan tampak telah sedikit membaik, sesuai laporan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahwa 40% sampah padat berhasil terkumpulkan pada tahun 2001. Lebih lanjut, pemerintah telah menyatakan tekadnya untuk mengurangi sampah plastik dan sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025. Angka ini sangat terkait dengan sasaran pengumpulan sampah perkotaan di darat sebesar 100%. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas) yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) juga mengusulkan sasaran pengurangan dan daur ulang sampah sebesar 30% pada tahun 2025. Pengelolaan sampah padat dimasukkan dalam sektor ketiga terpenting dalam Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional untuk Indonesia (Indonesia’s Nationally Determined Contribution, INDC) yang disusun untuk Konferensi Perubahan Iklim Paris tahun 2015 (the 2015 Paris Climate Change Conference, COP 21). Selain itu, sesuai dengan UU Pengelolaan Sampah tahun 2008, semua TPA Sasaran “100-0-100” mengacu pada 100% akses rumah tangga ke pasokan air bersih; tidak ada (atau nol (0)) daerah 7 kumuh; dan 100% akses rumah tangga ke sanitasi (termasuk pengolahan limbah air dan pengumpulan sampah padat). L A P O R A N S I N T E S I S | 3 dengan sistem pembuangan terbuka seharusnya sudah ditutup pada tahun 2013 dan semua kota besar seyogianya hanya mengangkut sampah mereka ke TPA dengan sistem sanitary landfill. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa sekitar 85.000 ton sampah dihasilkan setiap hari di Indonesia, dengan perkiraan kenaikan hingga 150.000 ton dihasilkan per hari pada tahun 2025;8 suatu kenaikan sebesar 76% hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Sekitar 40% sampah padat dihasilkan oleh rumah tangga. 9 Dengan demikian, Indonesia tidak hanya perlu meningkatkan pengumpulan sampah dari rumah tangga yang sudah ada, tetapi juga perlu mengimbangi kenaikan tahunan sampah yang dihasilkan sebesar 6.500 ton per tahun akibat pertumbuhan populasi perkotaan dan laju timbulan sampah yang dihasilkannya. Praktik-praktik operasional yang kini diterapkan perlu diperkuat secara signifikan. Sektor pengelolaan sampah sangat kekurangan dana (baik dalam hal investasi maupun biaya operasional). Alokasi dana pemerintah lokal tergolong kecil (rata-rata 2,6% dari keseluruhan APBD10) yaitu $5-6 per kapita per tahun – suatu tingkatan yang jauh di bawah patok duga (benchmark) internasional ($15-20 per kapita per tahun). Sistem-sistem pengelolaan sampah disubsidi secara besar-besaran dari anggaran pemerintah lokal. Kurangnya investasi pada sektor tersebut mengakibatkan ketidakefisienan yang cukup parah dan biaya operasional yang membengkak. Hampir tidak ada penegakan hukum dan standar persampahan padat (mulai dari pelanggaran pada tingkat perkotaan hingga pencemar perorangan). Upaya daur ulang kebanyakan dilakukan oleh sektor informal (15% dari keseluruhan sampah), sementara sistem daur ulang resmi hanya mengelola kurang dari 5% dari keseluruhan sampah yang dihasilkan. Kapasitas pemerintah lokal yang kurang mumpuni menciptakan kekurangpercayaan dan dipandang sebagai risiko yang terlampau tinggi oleh pihak swasta – sehingga menghambat masuknya investasi tambahan dari kalangan usaha yang kredibel. 8 Bank Dunia (2012): What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management 9 Persentase lain dihasilkan oleh beragam sumber, seperti pasar (20%), jalan raya (9%), sarana publik (9%), perkantoran (8%), dan industri (6%) 10 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah L A P O R A N S I N T E S I S | 4 2 CAKUPAN DAN METODOLOGI 2.1 Uraian Singkat Laporan sintesis ini merangkum hasil-hasil dari “kajian cepat hotspot” yang dilaksanakan pada tingkat kota untuk membantu para pejabat pemerintah, warga, dan pemangku kepentingan lain memahami profil kebocoran sampah ke laut di masing-masing kota, sebagai landasan perencanaan solusi pada tingkat lokal. Kajian tersebut meliputi serangkaian survei lapangan cepat di kota-kota sasaran. Lima kota pesisir di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia dipilih untuk kajian cepat ini, berdasarkan tren urbanisasi, kedekatan dengan pesisir, jumlah penduduk, serta keberadaan pelabuhan barang dan/atau kegiatan pariwisata. Kota-kota tersebut dipilih untuk memberikan sampel yang luas dan mewakili berbagai kepadatan dan tipologi penduduk kota pesisir di Indonesia.11 Lima belas kota sasaran dan pulau tempat mereka berada adalah: • Bali: Denpasar • Lombok: Mataram • Java: Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta • Kalimantan: Balikpapan, Pontianak • Sulawesi: Bitung, Makassar, Manado • Sumatera: Bandar Lampung, Batam, Medan, Padang 12 Gambar 1: Kota-kota Sasaran Kajian Hotspot Sampah Laut di Indonesia Tahap 1 Tahap 2 Kajian ini meliputi kajian pustaka tentang peraturan perundangan dan peraturan yang terkait masalah sampah plastik di laut; analisa tinjauan meja (desktop) timbulan sampah yang dikumpulkan dari masing-masing kota untuk memberikan perkiraan terperinci tentang komposisi dan volume sampah (jika memungkinkan); analisa desktop data pemerintah terkini tentang sistem, proses, dan sarana pengelolaan sampah; serta analisa lapangan skenario pembuangan dan pengambilan sampah, untuk mengidentifikasi titik-titik kebocoran dan isu-isu terkait. Pengambilan sampel sampah di aliran air dan 11 Kota-kota pesisir di Kawasan Timur Indonesia tidak disertakan dalam kegiatan ini, mengingat kebanyakan kebocoran sampah perkotaan berasal dari pusat-pusat perkotaan di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia. Kajian pada masa depan perlu menyertakan kota-kota di Kawasan Timur Indonesia untuk memantau tren pertumbuhan kawasan perkotaan dan kebocoran sampah pada masa yang akan datang. 12 Kajian hotspot dilakukan dalam dua tahap, dengan lima kota sasaran pada Tahap 1 untuk menerapkan metodologi survei lapangan dan memperbaikinya untuk kemudian diterapkan di 10 kota lain pada Tahap 2. L A P O R A N S I N T E S I S | 5 pemetaan hotspot kebocoran dilakukan untuk menghasilkan profil kebocoran sampah masing-masing kota. Hotspot ini menunjukkan titik-titik kebocoran sampah perkotaan terparah yang kemudian mengalir ke lingkungan pesisir dan laut di setiap kota. Setiap laporan masing-masing kota menyajikan: • Uraian singkat tentang metode yang digunakan untuk kajian, termasuk rincian lokasi survei; • Rangkuman kondisi saat itu terkait pengelolaan sampah, termasuk administrasi dan penggunaan lahan; • Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survei; • Temuan pengambilan sampel dan karakterisasi sampah; • Temuan tentang pemetaan hotspot, penggunaan lahan pada titik-titik kebocoran di aliran air dan kawasan pesisir; • Telaahan profil warga, dan temuan tentang perilaku warga di lokasi-lokasi hotspot; serta • Rekomendasi. Catatan dan keterbatasan: Perlu dipahami bahwa laporan ini merupakan paparan sintesis dari 15 hasil kajian cepat tingkat kota, dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan kajian lain yang lebih terperinci. Sebuah metodologi survei kualitatif/kuantitatif secara konsisten diterapkan untuk kelima belas kota sasaran karena berbagai alasan tertentu, dengan satu kunjungan lapangan per kota. Dikarenakan perbedaan yang ada antar kota, jenis prasarana, data dan komunitas, lokasi sasaran, dan kemudahan akses, perbandingan antar kota perlu dicermati dengan kehati-hatian. Selain itu, perlu diingat bahwa fokus kajian ini – terutama pengambilan sampel sampah – adalah sampah plastik. 2.2 Metodologi Survei Lapangan yang Terperinci Kajian lapangan dilakukan pada daerah-daerah pasang dan non-pasang di kota-kota sasaran. Terkait survei lapangan tersebut, kedua daerah ini didefinisikan sebagai hilir (tidal/pasang-surut) dan hulu (non-tidal/non-pasang surut) dari jeruji penyaring sampah atau prasarana penghalang lain yang diletakkan di pintu air terakhir sebelum lingkungan pesisir sepanjang aliran air utama di kota-kota tersebut. Tinjauan pustaka dan temuan survei lapangan dari daerah non-pasangsurut digunakan untuk menyiapkan profil sampah perkotaan, mendokumentasikan timbulan sampah, tingkat pengumpulan dan mekanisme pembuangan sampah, anggaran pengelolaan sampah perkotaan, seberapa memadainya keberadaan petugas, perangkat dan prasarana (serta fungsionalitas mereka), selain juga pencatatan berbagai kegiatan yang diprakarsai oleh pemerintah dan warga untuk mengurangi timbulan sampah secara keseluruhan, serta identifikasi perilaku, kebiasaan, dan peluang yang menonjol untuk perbaikan. Perincian dari metode kajian cepat ini dipaparkan pada Lampiran 1. DAERAH NON-PASANG SURUT Kegiatan kajian yang dilakukan di daerah-daerah non-pasang surut difokuskan pada pembuatan profil pengelolaan sampah perkotaan, identifikasi dan pemetaan hotspot sepanjang aliran air utama kota, serta pendokumentasian layanan, prasarana, dan perlengkapan pengelolaan sampah perkotaan yang digunakan untuk mengumpulkan sampah di sekitar dan sepanjang aliran air utama. Aliran air utama kota mendapatkan penekanan khusus, karena dianggap sebagai jalur arteri utama kebocoran sampah ke lingkungan pesisir. Kajian menelaah komposisi sampah yang diambil dari sampel di aliran air utama di masing-masing kota pada halangan fisik terakhir (pintu air pengatur banjir, perangkap sampah, pintu air pengatur gelombang laut) hingga pembuangan sampah di lingkungan pesisir, yang tak terkena dampak pasang- surut. Aliran air utama yang mengalir ke kawasan pesisir di setiap kota sasaran yang disurvei dalam kajian ini dipaparkan pada laporan-laporan kota. Analisa komposisi sampah menggunakan klasifikasi L A P O R A N S I N T E S I S | 6 sampah plastik yang dikembangkan oleh Konvensi untuk Perlindungan Lingkungan Laut di Atlantik Timur Laut (Convention for the Protection of the Marine Environment of the North-East Atlantic, the ‘OSPAR Convention') karena klasifikasi ini paling sesuai dengan konteks Indonesia.13 Tinjauan meja (desk review) dan wawancara semi-terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi baseline dari kantor-kantor pemerintah lokal, termasuk tentang struktur organisasi pengelolaan sampah perkotaan, protokol pengelolaan sampah, jenis dan kondisi perlengkapan pengumpulan sampah, dan layanan pengelolaan sampah terkait pengambilan sampah dari aliran air kota. Survei lapangan dilakukan menggunakan perahu, dan ketika tidak memungkinkan bagi perahu untuk merapat, permukiman yang terpilih untuk survei diidentifikasi dengan menelusuri aliran air melalui jalur darat. Permukiman terpilih di kawasan perkotaan disurvei untuk menentukan hotspot kebocoran sampah. Survei lapangan juga menyertakan wawancara kualitatif dengan para pemangku kepentingan di kawasan permukiman terpilih untuk mendokumentasikan praktik-praktik pengelolaan sampah setempat dan perilaku rumah tangga terkait. Daerah berpenghasilan rendah dipilih sebagai suatu fokus tersendiri karena tingginya tingkat insiden kebocoran sampah ke aliran air kota di kawasan-kawasan tersebut. DAERAH PASANG-SURUT Untuk keperluan kajian ini, daerah-daerah pasang-surut didefinisikan sebagai daerah pesisir, termasuk permukiman, hilir dari penyaring sampah atau prasarana lain dan/atau yang jelas-jelas berlokasi di penghujung aliran air yang terimbas arus pasang. Sub-wilayah tangkapan air pada daerah- daerah pasang-surut terpilih, ditentukan dengan memetakan daerah tepi laut berdasarkan status administratif, demografi, dan penggunaan lahan dari sumber-sumber data pemerintah14. Pada setiap kota, data dikumpulkan dalam kurun 3-5 hari, menggunakan teknik-teknik penelitian kualitatif berikut: Tinjauan meja: Sebelum melakukan kunjungan lapangan ke setiap kota, tim kajian menelaah berbagai sumber daring (online) terkait konteks pengelolaan sampah, peta penggunaan lahan, dan pindaian lingkungan warga tertentu menggunakan Google Earth untuk masing-masing kota. Kawasan permukiman elite kawasan pariwisata dan rekreasi, serta kawasan pelabuhan dan industri, memiliki akses yang lebih baik ke layanan pengumpulan sampah resmi dan, karenanya, diteliti menggunakan kamera meja, untuk memastikan apakah ada tanda-tanda pembuangan sampah secara ilegal atau merupakan lokasi yang perlu dikunjungi langsung. Berdasarkan tinjauan meja ini, rencana survei lapangan untuk pemetaan daerah tepi laut pun dibuat, dengan fokus pada permukiman tidak resmi dan kampung nelayan yang diperkirakan memiliki layanan pengumpulan sampah yang lebih tidak teregulasi. Survei dan pengamatan lapangan untuk memverifikasi pemetaan penggunaan lahan dan mengusut lebih lanjut kawasan pembuangan sampah yang sebelumnya telah teridentifikasi di daerah pasang-surut, tim kajian berjalan menyusuri daerah permukiman dan menggunakan sepeda motor atau perahu untuk menelusuri daerah tersebut. Pengamatan lapangan dilakukan menggunakan perahu motor untuk mencapai daerah pesisir yang lebih tidak terjangkau. Tim kajian menerapkan pendekatan penyidikan untuk mengidentifikasi daerah-daerah pembuangan dan hotspot kebocoran. Rekaman berupa foto disiapkan untuk setiap hotspot; dan ditandai untuk keperluan pemetaan. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan warga, pedagang, pengumpul sampah, dan jajaran pemerintah lokal. Protokol wawancara dikembangkan menggunakan Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup BPS, dengan modifikasi pada pertanyaan-pertanyaan tertentu dan menyertakan beberapa parameter untuk Komisi OSPAR – Analisa Statistik Sampah Pantai13 OSPAR adalah mekanisme kerjasama antar 15 pemerintah dan Uni 13 Eropa untuk melindungi lingkungan laut di kawasan Atlantik Timur Laut. 14 Jakarta Utara Dalam Angka 2015, BPS: 2014 and 2015; smartcityjakarta.go.id; peta.BPN.go.id; fungsi Google Maps “street view”. L A P O R A N S I N T E S I S | 7 menetapkan profil sampah para warga. Kegiatan pengamatan mencakup analisa melalui penelusuran kawasan permukiman kumuh, pasar, industri, dan gedung-gedung tak bermarka di tepi laut. Para peneliti menggunakan penunjuk jalan setempat dan melakukan pendekatan ke warga di lokasi, yang kemudian diikuti dengan membuat perjanjian untuk bertemu secara resmi dan melakukan wawancara sebagai tindak lanjut. Analisa terpadu dilakukan setelah kegiatan lapangan dituntaskan. Sebuah laporan lapangan disiapkan untuk setiap kota, data dari daerah-daerah pasang-surut dan non-pasang-surut diperiksa secara silang dan hotspot- hotspot yang teridentifikasi direkam pada peta Google Earth. Selanjutnya, beragam aliran data tersebut kemudian dijahit dan aspek-aspek sosial budaya yang umum di kalangan warga yang disurvei pun ditelaah, untuk seluruh tipologi permukiman dan wilayah geografis Kotak 3: Contoh Metode Survei Daerah Pasang-surut dan Non-Pasang-surut untuk Jakarta Survei daerah pasang-surut mengumpulkan data di kawasan tepi laut yang terpengaruh oleh arus pasang-surut di Jakarta Utara. Pengumpulan data meliputi pengamatan langsung dan wawancara dengan responden dari warga setempat. Berdasarkan pemetaan daerah tepi laut menggunakan Google Maps, Smartcity, dan peta daring BPN, daerah survei terpilih adalah Muara Kamal, Pluit/Penjaringan, Kali Baru, dan Cilincing/Cakung. Daerah-daerah ini menyebar dari Barat ke Timur, dan tercirikan dengan keberadaan permukiman informal dan kampung nelayan yang memiliki layanan pengumpulan sampah yang belum teratur secara ideal. Gambar 2: Kawasan Survei Daerah Paang di Jakarta Utara l k Untuk survei daerah non-pasang-surut, pengambilan sampel sampah dilakukan di penghalang (barrier) besar terakhir pada aliran air utama yang memasuki Teluk Jakarta (lihat Gambar 3). Metode yang diterapkan mencakup (i) kajian kuantitatif dan komposisi dari setidaknya tiga jeruji penyaring sampah yang memungkinkan pengambilan sampel rata-rata harian; (ii) pengumpulan data terkait pengoperasian dan perawatan seluruh jeruji penyaring sampah; (iii) identifikasi daerah-daerah yang berpotensi mengalami kebocoran sampah melalui pengamatan langsung; serta (iv) survei terperinci di dua bagian yang dibatasi oleh jeruji penyaring sampah hilir dan hulu: Kali Grogol dan Kali Sunter. L A P O R A N S I N T E S I S | 8 Gambar 3: Jeruji Penyaring Sampah yang Teridentifikasi di Jakarta Survei Terperinci di sebagian Kali Grogol Survei Terperinci di sebagian Kali Sunter (Sumber: http://smartcity.jakarta.go.id/maps/) TPS (Tempat Penampungan Sampah Sementara Heruji Penyaring Sampah (Sumber: http://smartcity.jakarta.go.id/maps/) L A P O R A N S I N T E S I S | 9 3 PENGELOLAAN SAMPAH: KONDISI AWAL 3.1 Instansi Pemerintah yang Bertanggung Jawab untuk Sampah Padat Perkotaan Ada berbagai kementerian yang terkait dengan pengelolaan sampah di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab untuk menentukan kebijakan, menyusun peraturan, dan mengkoordinasikan upaya pengendalian pencemaran (pengumpulan dan daur ulang sampah). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) umumnya sebatas memberikan saran teknis, mengusung proyek percontohan, dan membangun/mengawasi fasilitas sampah padat berskala besar (TPA). Meskipun keterlibatan berbagai kementerian ini menawarkan adanya keterkaitan lintas-sektor lintas-kementerian, selalu terdapat tumpang tindih dalam peran dan tanggung jawab mereka. Hal ini berdampak kurang baik terhadap efisiensi dan keefektifan pelaksanaan mandat dan tanggung jawab kelembagaan. Pengawasan terhadap kinerja pemerintah lokal cukup terbatas (misalnya melalui penghargaan Adipura (KemenLHK), Green Cities Index (Bappenas), Kota Hijau (KemenPUPR)). Penegakan hukum seringkali tidak tampak, baik pada tingkat warga maupun pengelolaan fasilitas sampah. Di Indonesia, terdapat batasan antara tanggung jawab alur pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan antara pemerintah lokal dan warga. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33 tahun 2010 mengatur aspek-aspek administratif dari pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga, kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan industri, serta sarana publik dan sosial. Pemerintah kota dan kabupaten merupakan penanggung jawab utama dalam hal pengelolaan sampah padat (UU No. 18 tahun 2008). Seringkali peraturan-peraturan pada tataran pemerintah lokal belum sepenuhnya berhasil menegakkan undang-undang dan kebijakan pemerintah pusat. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Kebersihan adalah instansi utama pada tataran pemerintah lokal yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sampah padat. Namun, pendanaan yang tersedia bagi pemerintah lokal belum memadai untuk menutup belanja rutin yang cukup tinggi terkait dengan pengumpulan sampah dan perawatan TPA. Selain itu, tanggung jawab pengangkutan sampah padat yang dibebankan kepada pemerintah lokal belum disertai dengan pengalihan keterampilan teknis yang dibutuhkan. Tanggung jawab untuk penyediaan layanan sampah pada setiap tahap tertentu adalah sebagai berikut: • Pengumpulan dan pengangkutan sampah rumah tangga ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) merupakan tanggung jawab RT/RW15 • Pengangkutan dari TPS/TPST ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah tanggung jawab pemerintah lokal • Pengumpulan dan pengangkutan sampah dari suatu kawasan dari sumber ke TPS/TPST, atau langsung ke TPA, merupakan tanggung jawab pengelola kawasan (perumahan, perdagangan, atau industri). 15 RT/RW merupakan organisasi kewargaan dalam perkampungan kota. Kegiatan beberapa Rukun Tetangga (RT) dikoordinasi oleh sebuah organisasi kewargaan Rukun Warga (RW). RT/RW merupakan lembaga sukarela, dibentuk melalui diskusi dan kesepakatan antar warga, dan berperan untuk menjalin kerjasama dengan camat atau lurah dalam mengusung pemberdayaan warga. Setiap RT dan RW memiliki seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Kegiatan petugas RT dan RW tidak berimbalan upah. Pembiayaan operasional dilakukan menggunakan anggaran kecamatan atau kelurahan/desa dan hibah dari pemerintahan tingkat lebih tinggi. L A P O R A N S I N T E S I S | 10 • Pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sarana publik dan sosial merupakan tanggung jawab pemerintah lokal. 3.2 Instansi Pemerintah yang Bertanggung Jawab atas Pengelolaan Sampah di Aliran Air Di Indonesia, terdapat pembedaan antara pengawasan kelembagaan terhadap pengelolaan sampah padat dari rumah tangga dan sampah padat di aliran air. Pengelolaan sampah padat perkotaan (municipal solid waste, MSW) biasanya dilakukan oleh Dinas Kebersihan Temuan kunci: Tanggung jawab setiap kota/kabupaten, sementara pengumpulan pengelolaan sampah di aliran air berbeda sampah pada tingkat rumah tangga didelegasikan ke antara kota satu dengan yang lain – dan tataran pemerintah terendah. Di lain pihak, pengelolaan membutuhkan klarifikasi terkait peran dan MSW pada aliran air ditangani oleh dinas lain, berbeda tanggung jawabnya. untuk masing-masing kota. Berikut beberapa contoh terkait hal tersebut. JAKARTA: Di DKI Jakarta, UPK Badan Air di bawah Seksi Kebersihan bertanggung jawab untuk mengumpulkan sampah yang mengambang di aliran air, termasuk pengelolaan jeruji penyaring air dan lokasi-lokasi penjaring sampah di sepanjang aliran air/sungai. Sampah yang terkumpul dari aliran air kemudian diangkut, menggunakan truk berukuran kecil dan sedang, ke lokasi-lokasi emplasemen (stasiun transfer). Terdapat tiga stasiun transfer di DKI Jakarta, yaitu Emplasemen Waduk Pluit, Emplasemen Perintis Kemerdekaan, dan Emplasemen Marunda. Emplasemen Waduk Pluit menampung MSW dari aliran air di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, sementara Emplasemen Perintis menerima MWS dari aliran air di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. MAKASSAR: Pengelolaan sampah di aliran air Kota Makassar dilakukan oleh Dinas Pertamanan dan Kebersihan (DPK) bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, Peternakan (DKP3). Dinas Pekerjaaan Umum (Bidang Bangunan Air) bertanggung jawab atas pengelolaan sampah di semua aliran dan kanal air – pengumpulan sampah dari aliran air, pengangkutan ke truk-truk Dinas Pekerjaan Umum, dan pengangkutan ke TPA di Tamangapa. DKP3 bertanggung jawab atas pengelolaan sampah di tepi laut – menggunakan 3 kapal Pattasa’ki untuk menyisir dan mengumpulkan sampah, terutama di sepanjang pantai Losari. Sampah perlu dimasukkan ke dalam kantong sebelum diangkut ke titik-titik pengumpulan sampah untuk kemudian diangkut oleh armada DPK ke TPA. BALIKPAPAN: Aliran air Balikpapan memiliki ukuran yang beragam. Walaupun tidak ada tapis mekanik ataupun jeruji penyaring sampah terpasang di aliran-aliran air utama, DPU bertanggung jawab untuk merawat aliran air di kanal-kanal kota dan mengangkut sampah dari aliran air yang dilakukan secara manual menggunakan jaring bergalah. Untuk aliran air dengan lebar kurang dari 1 meter, kegiatan pembersihan dilakukan oleh DKPP, sementara kegiatan pembersihan untuk aliran air dengan lebar lebih dari 1 meter merupakan tanggung jawab DPU melalui UPT Drainase. Sebagian besar kanal utama (yaitu kanal yang mengalir ke laut) memiliki lebar lebih dari 1 meter dan karenanya merupakan tanggung jawab UPT DPU. MANADO: Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Manado memiliki Seksi Kebersihan Pesisir dan Sungai yang bertanggung jawab terhadap drainase, sungai, dan kanal di kota tersebut. Hasil survei menunjukkan belum ada sistem jeruji penyaring sampah yang terpasang di aliran air kota ini. Satu-satunya kegiatan terkait pengumpulan sampah dan pembersihan drainase/sungai tampaknya dilakukan di muara Kuala Jengki, dari hulu di Jembatan Megawati ke hilir ke arah Jembatan Soekarno. Menurut petugas regu lapangan yang diwawancarai, petugas dibagi dalam dua regu. Setiap regu menggunakan sebuah perahu motor yang dilengkapi dengan peralatan tangan (jaring bergalah). Sampah diangkat ke tepi sungai, kemudian dimasukkan ke dalam truk sampah milik DKP Manado dan diangkut ke TPA Sumompo. L A P O R A N S I N T E S I S | 11 3.3 Mempertimbangkan Tingkatan Kota dalam Mendukung Pengelolaan Sampah Padat Sebagai bagian dari persiapan pinjaman Bank Dunia untuk pengelolaan sampah padat mendatang, sebuah evaluasi menyeluruh terhadap 104 kota dan kabupaten dengan kawasan perkotaan berpenduduk di atas 100.000 jiwa telah dilaksanakan untuk mengidentifikasi beragam tingkatan yang akan menjadi fokus dari sumberdaya nasional. Tantangan yang demikian besar, kekurangan pendanaan, serta kinerja dan komitmen terhadap peningkatan pengelolaan sampah padat yang begitu beragam, membutuhkan suatu proses untuk memprioritaskan sumberdaya ke intervensi-intervensi yang paling berdampak. Sejak awal, telah ada konsensus di jajaran pimpinan pemerintah bahwa kegiatan program pinjaman perlu disusun sedemikian hingga berfokus pada sumberdaya-sumberdaya di kota/kabupaten yang paling menjanjikan dalam penerapan sistem pengelolaan sampah, yang nantinya dapat menjadi panutan bagi kota-kota lain di Indonesia. Kota-kota ini dibagi atas tiga tingkatan, tergantung kinerja dan komitmen mereka saat ini terhadap peningkatan pengelolaan sampah padat. Kajian hotspot laut dan persiapan pinjaman tersebut memiliki keselarasan dalam beberapa hal, termasuk fokus pada kota dengan tingkatan berbeda. Sebelas dari 15 kota yang termasuk dalam kajian hotspot dikategorikan sebagai kota tingkat 1 dan 2 dalam hal potensi untuk menerima investasi sebagai bagian dari pinjaman program pengelolaan sampah padat. Kota dan kabupaten tingkat 1 adalah mereka yang menunjukkan rekam jejak kinerja dan komitmen tertinggi. Kota/kabupaten ini dianggap telah terbukti memiliki kapasitas memadai dalam pengelolaan sampah padat untuk menjustifikasi ditanamkannya investasi signifikan guna mendanai pengembangan sistem yang rumit dan teknologi penanganan yang mutakhir. Kota dan kabupaten tingkat 2 adalah mereka yang ditemui memiliki rekam jejak kinerja bertaraf rata-rata dan berpotensi menengah untuk peningkatan pada masa mendatang. Mereka dianggap memiliki potensi kuat untuk investasi dalam jumlah lebih kecil atau berjenjang, tapi belum sistem penuh pada awalnya. Kota dan kabupaten di luar kedua tingkatan di atas dikategorikan sebagai tingkat 3, yang mengindikasikan bahwa dikarenakan rekam jejak kinerja dan komitmen yang ditunjukkan sejauh ini, daerah-daerah ini memiliki prioritas rendah dan kemungkinan kecil untuk disertakan dalam program, menimbang rendahnya sumberdaya yang dimiliki pada saat ini. L A P O R A N S I N T E S I S | 12 Kota 4: Metodologi untuk Menentukan Tingkatan Kota Untuk menentukan tingkatan kota dan kabupaten ini, dilakukan proses seleksi atas-ke-bawah (top-down) dan bawah-ke- atas (bottom-up). Proses seleksi bawah-ke-atas dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang tersedia dari sumber- sumber Pemerintah Indonesia, Bank Dunia, dan sektor swasta. Basis data ini mencakup populasi, alur sampah, perkiraan pengumpulan sampah, prasarana pengelolaan sampah yang ada, aspek pembiayaan, investasi yang telah direncanakan, dan ketersediaan dokumen (misalnya adanya strategi pengelolaan sampah, studi kelayakan, dan rancangan rekayasa (engineering) terperinci). Dari basis data ini, setiap kota dan kabupaten diberikan nilai berdasarkan rekam jejak kinerja dan komitmen. Sementara dalam proses seleksi atas-ke-bawah, KemenPUPR dan KemenLHK secara terpisah memberikan nilai prioritas kepada masing-masing kota dan kabupaten berdasarkan rekam jejak kinerja dan kesiapan saat ini – nilai dihitung dari rata-rata kedua peringkat tersebut. Nilai akhir yang diterima oleh setiap kota dan kabupaten didasarkan baik pada proses seleksi atas-ke-bawah dan bawah- ke-atas. Rincian akhir dari sistem penilaian ini adalah sebagai berikut, dengan bobot ditulis dalam kurung: a) Kapasitas TPA dan/atau Ketersediaan Lahan hingga tahun 2025 (5%) b) Kinerja Pengumpulan Sampah Padat (10%) c) Sumber Pendanaan Alternatif untuk Investasi (Proyek Donor atau Sektor Swasta) (10%) d) Penilaian Adipura KemenLHK (15%) e) Pemeringkatan Prioritas dari Para Pakar di KemenLHK dan KemenPUPR (30%) f) Persentase APBD yang Dialokasikan untuk Pengelolaan Sampah per Ton Sampah (30%) 3.4 Survei Kegiatan Penggunaan Lahan dan Pola Pembuangan Sampah Hotspot diidentifikasi pada daerah dengan tiga jenis penggunaan lahan: kawasan pantai dan rekreasi; permukiman warga; serta kawasan industri ringan dan kawasan perkotaan. Setiap jenis penggunaan lahan dan lokasi hotspot memiliki pola pembuangan sampah berbeda. Kawasan pantai dan rekreasi. Daerah ini merupakan destinasi lokal yang populer, kebanyakan untuk rekreasi warga setempat, dimana warga kota tersebut menghabiskan waktu, terutama pada akhir pekan dan hari libur. Hampir semua kota yang disurvei memiliki kawasan rekreasi. Umumnya kawasan ini memiliki jumlah tempat sampah terbatas, seringkali jumlahnya kurang memadai, diletakkan di lokasi yang kurang strategis, dan/atau tidak dikosongkan sesering yang dibutuhkan sesuai timbulan yang ada. Dengan demikian, kebanyakan sampah yang dihasilkan tidak dibuang ke tempat yang semestinya, yang seringkali luber. Di beberapa lokasi, petugas kebersihan setempat menguburkan sampah ke dalam pasir, yang kemudian digali oleh anjing yang berkeliaran di tempat itu atau tersibak oleh arus pasang-surut, dan hanyut ke laut. Permukiman warga. Di semua kota yang disurvei, hotspot sampah plastik ditemui di permukiman di daerah pasang surut. Lokasi-lokasi ini umumnya padat penduduk, berupa perumahan warga berpendapatan rendah dan/atau kawasan perumahan informal dengan rumah semi permanen dan sarana terbatas. Di kompleks perumahan elite yang terletak di beberapa daerah tepi laut (misalnya kawasan Pluit di Jakarta Utara), penyediaan layanan pengelolaan sampah di lokasi-lokasi tersebut terlihat memadai. Sementara permukiman miskin disekitarnya yang lebih menjamur, berkepadatan penduduk lebih tinggi, dan timbulan sampah lebih banyak – mereka lebih jarang menikmati penyediaan layanan pengangkutan sampah. Hotspot-hotspot yang teridentifikasi seringkali terletak di pinggir permukiman ini, yaitu di lokasi-lokasi yang mudah dicapai warga dan yang bisa jadi atau bisa pula tidak terlihat jelas, seperti di balik parit atau di bawah jembatan. Permukiman terapung – kawasan perumahan yang mengambang di atas air – ditemukan di berbagai kota dan, walaupun mungkin jelas bisa dianggap hotspot karena warga dapat membuang sampah rumah tangga mereka L A P O R A N S I N T E S I S | 13 langsung melalui papan lantai mereka ke laut, permukiman ini ternyata seringkali memiliki layanan pengumpulan sampah yang memadai. Daerah industri ringan dan daerah perkotaan umum. Di sepanjang tepi laut, di kebanyakan kota, ada bagian-bagian yang diperuntukkan bagi industri ringan, dengan akses publik terbatas atau tertutup sama sekali, dan dikelola oleh entitas swasta atau pemerintah, seperti otorita pelabuhan. Pasar ikan kerap terletak di daerah ini. Survei juga menemukan daerah-daerah umum yang diperuntukkan bagi kebutuhan publik dalam kawasan perkotaan, tempat warga berkumpul, bersantap, dan berdagang. Kawasan industri lebih sulit diakses dan dapat memiliki hotspot. Tetapi hal tersebut sulit dipastikan akibat terbatasnya akses selama survei. Sebaliknya, kawasan umum terbuka mudah diakses dan tidak ditemukan penumpukan sampah berjumlah besar. Namun, survei mengkonfirmasi adanya pembuangan sampah dari papan pejalan kaki langsung ke laut. Walaupun jumlah hotspot yang teridentifikasi lebih sedikit di daerah-daerah ini, lokasi-lokasi tersebut diakui sebagai salah satu penggunaan lahan utama di daerah pasang-surut di kota-kota yang disurvei. 3.5 Prasarana Pengelolaan Sampah di Kota Sasaran Temuan-temuan yang disampaikan dalam laporan ini adalah suatu sintesis dari kota-kota sasaran yang disurvei, disertai contoh-contoh untuk menggarisbawahi hal-hal umum yang diidentifikasi di semua kota dan fitur-fitur unik yang dapat direplikasi. 3.5.1 Bank Sampah16 Bank sampah adalah bentuk usaha informal berbasis masyarakat untuk mengumpulkan sampah non- organik yang telah dipilah dan bernilai Kotak 5: Apakah Bank Sampah? ekonomi. Bank sampah didirikan di Bank Sampah adalah sebuah konsep baru pengelolaan permukiman yang umumnya berukuran sampah yang menjanjikan. KemenLHK mengusung Bank 1.000 penduduk dan biasanya dijalankan Sampah sebagai suatu program strategis untuk oleh warga kurang mampu yang ingin melibatkan upaya informal berbasis masyarakat dalam meningkatkan pendapatan mereka. mengumpulkan sampah non-organik yang telah dipilah Pelanggan bank membawa semua dan bernilai ekonomi. Menurut KemenLHK, dampak- dampak positif program pengembangan bank sampah sampah non-organik mereka ke bank. tidak terlepas dari keterlibatan warga, terutama pada Sampah ini diperlakukan sebagai tataran akar rumput. tabungan. Transaksi dicatat seyogianya dalam buku tabungan yang dipegang oleh pelanggan atau dalam daftar yang disimpan oleh bank. Beberapa bank juga menerima sampah organik, tapi kebanyakan tidak, karena ruang fisik yang mereka miliki terlalu terbatas. Bank sampah menjual barang tabungan ini ke agen bergerak untuk pemakaian kembali atau untuk di daur ulang. Dengan demikian, tabungan sampah dialihkan menjadi uang yang dapat ditarik ketika Catatan: Dari 15 kota sasaran, Kota Manado adalah satu-satunya yang belum memiliki Bank Sampah. Selama kajian 16 cepat, sebuah program bank sampah telah diperkenalkan di Manado, namun belum beroperasi. L A P O R A N S I N T E S I S | 14 diperlukan setelah dikurangi kontribusi sebesar sekitar 15% untuk biaya operasional bank. Kajian ini mengidentifikasi beberapa contoh praktik baik, seperti dipaparkan di bawah ini, yang dapat direplikasi untuk mengusung upaya pengurangan, daur ulang, dan penggunaan kembali sampah berbasis masyarakat yang lebih berkelanjutan di Indonesia. PRAKTIK BAIK DI LAMPUNG: KEMITRAAN DENGAN LSM UNTUK KAMPUNG HIJAU Saat ini, terjadi kemitraan antara dinas Lingkungan Hidup Lampung dengan Yayasan Mitra Bentala. Yayasan tersebut mengawasi jalannya empat Bank Sampah (yang secara keseluruhan menangani sekitar 0,05 ton sampah per hari). Pendekatan kolaboratif antara LSM dan pemerintah ini telah menghasilkan hal yang hasil positif. Inisiatif bank sampah di Lampung tersebut kemudian berlanjut ke arah pengembangan dan pengusungan “kampung hijau”, yang memberikan dukungan kepada masyarakat dalam memprioritaskan kawasan warga yang bersih dan praktik-praktik pembuangan dan daur ulang sampah yang patut. Secara khusus, Mitra Bentala bertujuan untuk: – Memasyarakatkan praktik terbaik pengelolaan sampah berbasis masyarakat; – Mendirikan bank sampah; – Menyediakan program pendidikan dan pelatihan tentang pengelolaan sampah bagi pemerintah, sektor swasta, dan sekolah; – Bekerja sama dengan pemerintah lokal untuk menyusun kebijakan- kebijakan guna meningkatkan pengelolaan sampah di Lampung; serta – Membantu kelompok-kelompok masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang praktik-praktik pengelolaan sampah yang patut dan pentingnya kesehatan lingkungan hidup. L A P O R A N S I N T E S I S | 15 PRAKTIK BAIK DI MAKASSAR: PROGRAM LONGGAR Kota Makassar meluncurkan beberapa inisiatif yang saling terkait guna meningkatkan pengelolaan sampah dengan memanfaatkan keberhasilan bank sampah di kota tersebut. Pertama, Kota Makassar melarang perusahaan swasta dan warga kota untuk: – Mencampur sampah rumah tangga dengan sampah berbahaya dan beracun; – Membakar sampah plastik dan sampah yang mengandung elemen plastik; – Membuang sampah ke sungai, selokan, kanal irigasi, taman, ruang terbuka, sarana publik, dan jalan raya; – Membakar sampah secara terbuka yang dapat menyebabkan pencemaran; dan/atau – Menggunakan lahan kosong sebagai tempat pembuangan terbuka. Kedua, Kota Makassar menghapuskan TPS. Sebagai gantinya, DPK Makassar telah menaruh tempat-tempat sampah di setiap kelurahan dan kecamatan serta menyediakan armada pengangkut sampah dari rumah tangga menggunakan truk sampah, gerobak bermotor, dan kotak sampah. Ketiga, Walikota Makassar meluncurkan program LONGGAR untuk mendorong terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat di lorong-lorong kota dengan pembersihan gerbang lorong, penghapusan grafiti, pemasangan pergola, pengecatan tembok, dan tanaman hortikultura, selain menempatkan tempat sampah berukuran 90 x 40 cm dengan kaki baja. Program ini telah berhasil diterapkan di 42 lorong di 14 kecamatan sejak 2015; Pada saat kajian ini dilaksanakan, 28 lorong tambahan sedang dikembangkan pada tahun 2016. Keempat, program LONGGAR Pengurangan Sampah melalui Bank Sampah di diselaraskan dengan program LISA (Lihat Makassar Sampah Ambil). Kedua program ini Periode Kategori terbukti efektif dalam mempromosikan Plastik (Kg) Kertas Logam (Kg) program Walikota ‘Makassar Tidak (Kg) Rantasa’ (Makassar Tidak Jorok), sehingga Jul - Des 2015 22.002 27.014 7.691 semakin melengkapi upaya yang diusung Jan - Agt 2016 152.689 206.148 21.287 oleh bank sampah kota tersebut. Jumlah 174.691 233.163 28.978 Sumber: DPK Kota Makassar L A P O R A N S I N T E S I S | 16 3.5.2 Prasarana dan Pengoperasian Pengelolaan Sampah di Aliran Air Pemanfaatan prasarana aliran air merupakan suatu langkah penting untuk menghentikan Kotak 6: Apakah JERUJI PENYARING SAMPAH? kebocoran sampah ke lingkungan pesisir dan Jeruji penyaring sampah adalah struktur kayu atau logam, laut. Kajian ini berupaya mengidentifikasi seringkali ditopang oleh dinding, yang menghalangi beragam serpihan di aliran air (seperti sampah, batang kayu, prasarana dan layanan pengelolaan perahu, hewan, sekumpulan gulma air, dsb) sehingga tidak pengumpulan sampah perkotaan yang terkait bisa masuk ke kilang air, stasiun pompa air, atau armada dengan aliran air kawasan perkotaan. Hal ini pengangkut di air. dilakukan untuk memastikan apakah kota Pada aliran air yang memiliki banyak sampah mengambang, tersebut memiliki sistem pengumpulan sejumlah jeruji penyaring sampah permanen perlu dipasang sampah di aliran air, termasuk petugas, guna meringankan upaya untuk melakukan pembersihan prasarana, dan perangkat yang sesuai untuk rutin. mengambil sampah dari aliran air dan mengangkutnya ke TPA. Fungsionalitas dan keefektifan prasarana dan metode yang diterapkan oleh kota-kota tersebut untuk menghentikan kebocoran sampah ke lingkungan pesisir penting untuk dipahami melalui survei lapangan. Survei khusus ke kota-kota tersebut juga merekam hambatan sedimentasi di aliran air, yang bila dipadu dengan sampah, akan mengakibatkan banjir yang sering (seperti di Jakarta dan Pontianak) dan mempertinggi kebocoran sampah ke kawasan pesisir. Jakarta adalah satu dari sedikit kota yang disurvei yang secara aktif mengukur volume sampah yang diangkat dari aliran airnya. Data Kota Jakarta menunjukkan sekitar 165 ton sampah diangkat dari aliran air utama kota Jakarta setiap harinya, 41 ton (25%) di antaranya adalah plastik. Pencatatan data tersebut dan penggunaannya untuk memantau kemajuan dalam upaya menurunkan konsumsi dan pembuangan plastik ke aliran air kota adalah suatu langkah efektif untuk menghentikan kebocoran sampah dan plastik dari daratan, terutama ke kawasan pesisir dan laut. Di Pontianak, kota lain yang secara sistematis mengumpulkan data tentang sampah yang diangkat dari aliran airnya, dipastikan 24 m3 sampah diangkat per harinya dari aliran air kota tersebut dan diangkut ke TPA Batu Layang. Petugas Pemkot mengangkat sampah dari aliran air menggunakan jaring penangkap sampah atau sarana penghambat seperti bar screens, jaring penangkap, atau sarana perangkap sampah dari bambu. Dengan rata-rata 283 hari kerja per tahun, jumlah sampah yang dikumpulkan dari aliran air Pontianak dan diangkut ke TPA mencapai 6.792 m3 per tahun. Di Manado dan Balikpapan, dua kota yang belum memiliki prasarana jeruji penyaring sampah di aliran air mereka, sampah di aliran air dikumpulkan secara manual dengan menggunakan kapal, namun volume maupun komposisinya belum tercatat. Di kota-kota lain yang belum memiliki atau mengoperasikan jeruji penyaring sampah, seperti Yogyakarta, Medan, Bitung, dan Batam 17 , kebocoran sampah mengalir langsung ke pesisir, sementara petugas kota hanya memiliki peluang terbatas untuk mengangkat sampah tersebut sebelum mencapai pesisir. Catatan: Batam hanya memiliki satu rotary screen terpasang, tetapi baru pada tahap uji coba dan terletak di kawasan 17 permukiman swasta. Sehingga untuk keperluan kajian ini, hal tersebut tidak dianggap sebagai jeruji penyaring sampah yang berfungsi utuh dan dikelola oleh Pemerintah Kota untuk aliran air utamanya. L A P O R A N S I N T E S I S | 17 Masing-masing laporan kota, yang terdapat dalam laporan teknis mencakup kajian terhadap status dan kondisi semua jeruji penyaring sampah yang terpasang di aliran air utama masing-masing kota. Sebagai contoh, di Jakarta, data tentang lokasi, kondisi, dan fungsi jeruji penyaring sampah yang terkumpul dipaparkan pada Tabel 6. Data ini digunakan untuk membantu pemerintah lokal memahami pekerjaan perawatan yang diperlukan guna memastikan bahwa semua jeruji penyaring sampah Jakarta dapat difungsikan secara optimal dalam mendukung pencegahan kebocoran sampah ke kawasan pesisir Jakarta dan Laut Jawa. Tabel 6: Lokasi, Kondisi, dan Fungsi Jeruji Penyaring Sampah Jakarta – KALI SUNTER Daerah Kondisi Jeruji % Fungsi # Lokasi Penyaring Sampah Kelurahan Kecamatan 1 Pintu Air dan Jeruji Kelapa Kelapa 2 Robot MEH, Robot MEH:50% Penyaring Sampah IKIP Gading Gading Beroperasi: 1, Bambu Layar Bambu: 70% (Pintu Air 8) Barat 2 Pasar Ular Rawa Badak Koja 6 Robot MEH, Robot MEH: 16.7% Utara Beroperasi: 1 3 Sunter Kresek Koja Koja 18 jeruji penyaring Layar: 80% sampah, Tidak ada Robot 4 Emplasemen Perintis Kelapa Kelapa Bar screen, Ekskavator Layar: 50% Gading Gading Amfibi Timur Sumber: Disadur dari Kajian Hotspot Sampah Laut di Indonesia: Survei Lapangan Daerah Non-Pasang, 2016 Metode yang Teramati untuk Mengumpulkan Sampah pada Aliran Air Eskavator Standar Truk Sampah Pengumpulan dengan perahu Jeruji Penyaring Sampah Perangkap sampah dari bambu Jeruji penyaring sampah Untuk kota-kota yang belum memanfaatkan prasarana aliran air, pengawasan volume sampah yang bocor ke aliran air dan mengalir ke kawasan pesisir dapat digunakan untuk menentukan apakah pemasangan jeruji penyaring sampah atau berinvestasi dalam praktik pengumpulan dan pembuangan sampah yang lebih baik terutama di lokasi-lokasi hotspot yang teridentifikasi adalah suatu investasi jangka pendek yang baik untuk mengurangi kebocoran ke lingkungan pesisir mereka. L A P O R A N S I N T E S I S | 18 4 PERKIRAAN VOLUME SAMPAH YANG DIHASILKAN 4.1 Tingkat Volume Sampah Padat Perkotaan yang Dihasilkan: Pemodelan Tingkat volume yang dihasilkan, sumber, dan komposisi sampah padat perkotaan (municipal solid waste, MSW) dipengaruhi oleh beberapa variabel, termasuk pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto, jenis kegiatan perekonomian, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk. Pendekatan standar untuk menghitung tingkat volume MSW yang dihasilkan di Indonesia untuk kota kecil dan sedang diuraikan secara ringkas pada Standar Nasional Indonesia (SNI) (Tabel 3). Untuk kota-kota besar, tingkat sampah yang dihasilkan diperkirakan lebih dari 0,80 kg/kapita/hari. Sebuah studi oleh Benno et al (2015) menyatakan bahwa tingkat volume sampah yang dihasilkan dapat diperkirakan melalui pemodelan variabel-variabel yang sudah disebutkan sebelumnya untuk masing-masing kota di Indonesia (Gambar 9). Untuk kajian ini, perkiraan tingkat volume sampah yang dihasilkan di kota- kota sasaran menggunakan 3,57 liter/kapita/hari atau setara dengan 0,87 kg/kapita/hari18. Angka ini berbeda dengan yang digunakan atau diacu oleh kajian-kajian lain, seperti Jambeck et al (2015) dalam studi Bank Dunia What a Waste. Tabel 3: Tingkat MSW yang Dihasilkan untuk Kota Kecil dan Menengah di Indonesia menurut SNI Tingkat MSW yang Dihasilkan Klasifikasi Kota Volume (L/kapita/hari) Berat (kg/kapita/hari) Menengah (pop. 100.000 hingga 2,75 - 3,25 0,70 - 0,80 500.000) Kecil (pop. < 100.000) 2,5 - 2,75 0,625 - 0,70 Sumber: SNI (1995) Gambar 9: Pemodelan Tingkat MSW yang Dihasilkan di Jawa and Sumatera Klaster Rendah Klaster Menengah Klaster Tinggi 18 Faktor konversi 0,246 kg/liter, SNI (1995) L A P O R A N S I N T E S I S | 19 Sumber MSW: MSW rumah tangga umumnya membentuk Tabel 4: Sumber MSW Umum hingga 75% sampah perkotaan yang dihasilkan di Indonesia di Indonesia (Tabel 4). Di kota-kota yang lebih besar, seperti Jakarta dan Surabaya, sampah rumah tangga diperkirakan lebih sedikit Sumber % dibanding sumber-sumber perdagangan atau industri. Sampah rumah tangga 60 – 75 Pasar 5 – 10 Untuk kota-kota yang lebih kecil, seperti Manado dan Perdagangan 4 – 12 Padang, diperkirakan sebaliknya terjadi; volume sampah Kelembagaan 1 – 6 rumah tangga lebih tinggi sementara perdagangan lebih Penyapuan jalan 0,5 – 2 rendah. 4.2 Tingkat Timbulan Sampah yang Dihasilkan dan Dikumpulkan: Hasil Survei Data tentang tingkat pengumpulan sampah dikompilasi menggunakan perpaduan pengamatan lapangan dan informasi yang disediakan oleh Dinas Kebersihan. Di beberapa kota, Dinas Kebersihan menangani pengumpulan sampah ke TPA serta pembuatan kompos dan bank sampah; sementara di kota-kota lain, dinas ini hanya menangani pengumpulan sampah ke TPA. Tabel 5 memaparkan data tentang sampah yang dihasilkan dan dikumpulkan oleh pemerintah kota, bank sampah, pengumpul sampah; dan perkiraan oleh tim survei. Tabel 5: Sampah yang Dihasilkan dan Dikumpulkan di 15 Kota Sasaran Kota Jumlah Sampah yang Sampah Sampah Sampah % Sampah penduduk(i) Dihasilkan(ii) terangkut Lain yang Tidak Tidak (ton/hari) ke TPA(iii) Tertangani(iv) Tertangani(v) Tertangani Tingkat 1 Balikpapan 615.574 535,6 375,7 26,9 133,0 24,80% Bitung 205.675 178,9 133,1 0,1 45,8 25,60% Surabaya 2.853.661 2.482,7 1.477,7 84,5 920,5 37,10% Makassar 1.449.401 1.261,0 1.163,9 1,6 95,5 7,60% Jakarta 10.075.310 8.765,5 6.484,7 - 2.280,8 26,00% Tingkat 2 Denpasar 880.600 766,1 638,5 - 127,6 16,70% Padang 902.413 785,1 375,4 8,1 401,7 51,20% Manado 425.634 370,3 326,6 - 43,7 11,80% Medan 2.210.624 1.923,2 1.564,7 0,3 358,2 18,60% Lainnya Pontianak 607.438 528,5 371,5 4,8 152,2 28,80% Semarang 1.595.267 1.387,9 1.087,2 - 300,7 21,70% Yogyakarta 412.704 359,1 267,2 30,4 61,5 17,10% Batam 1.037.187 902,4 798,0 3,3 101,1 11,20% Mataram 450.226 391,7 230,6 2,3 158,8 40,50% Bandar Lampung 979.287 852,0 789,1 1,3 61,6 7,20% (i) (ii) (iii) Sumber: Dari Data BPS; Diperkirakan menggunakan Tingkat Sampah yang Dihasilkan 0,87 Kg/Kapita/Hari; Data (iv) (v) DKP/DK/DPK Pemkot; Data yang tersedia dari bank sampah, pengumpul sampah; Dihitung oleh tim survei Keterbatasan data: Perlu dicatat bahwa metode pengumpulan dan pelaporan data berbeda antar kota (seperti satuan pengukuran dan sumber data, misalnya perkiraan berdasarkan besaran muatan truk atau pos timbangan). Hal ini mempersulit pembandingan agregat. Keakuratan data pemerintah setempat, dalam beberapa kasus, sulit dipastikan dan, karenanya, temuan-temuan ini perlu digunakan dengan kehati-hatian (misalnya tingkat pengumpulan sampah di beberapa kota tampak lebih tinggi daripada yang diindikasikan oleh data/studi resmi lain). Dalam kajian cepat ini, angka- angka yang tertera perlu dimaknai lebih sebagai suatu indikasi dari timbulan sampah yang dihasilkan, yang tidak tertangani, dan potensi kebocoran ke lingkungan laut, ketimbang sebagai perkiraan akurat. L A P O R A N S I N T E S I S | 20 5 PENGAMBILAN SAMPEL DAN KARAKTERISASI SAMPAH 5.1 Komposisi Sampah Padat Perkotaan Komposisi sampah padat perkotaan di Gambar 10: Komposisi MSW Rata-Rata di Indonesia Indonesia sebagian besar adalah organik, Styrofoam, 0,07% Gelas, 0,99% Logam, 1,06% dan besarannya tergantung pada variabel Lain-lain, 3,71% Tekstil, 2,03% ekonomi dan sosial kunci. Kota-kota dengan PDB dan pertumbuhan perekonomian tinggi Karet, 0,01% diperkirakan memiliki komposisi organik Kertas, 8,75% yang lebih rendah (55-60%) serta sampah plastik dan kertas yang lebih banyak. Sebaliknya, untuk kota-kota dengan PDB dan pertumbuhan yang lebih rendah, komposisi Plastik, 13,16% organik diperkirakan lebih tinggi (65-75%) disertai dengan sampah plastik dan kertas yang lebih sedikit. Kayu, 6,97% Organik (Mudah Terurai) Meskipun tidak memberikan rincian bauran 63.17% komposisi MSW untuk setiap kategori, survei ini menunjukkan bahwa MSW yang tertangani (sampah yang terangkut ke TPS/TPA), baik oleh pemerintah lokal maupun petugas warga, untuk penduduk kawasan perkotaan hanyalah 48,38%. Rencana ambisius Pemerintah Indonesia untuk peningkatan pengelolaan sampah padat sangat bergantung pada partisipasi rumah tangga guna Temuan kunci: Terdapat potensi untuk mencapai sasaran penurunan 30% (melalui menangani sampah melalui pengurangan, pemakaian kembali, dan daur ulang atau peningkatan kapasitas/kesadaran “kebijakan 3R”) untuk sampah yang terkumpul hingga tentang daur ulang, penggunaan tahun 2019. Dengan hanya 1,6% rumah tangga yang kembali, dan pengurangan, serta menunjukkan partisipasi aktif dalam kegiatan 3R – dan perbaikan sistem pengumpulan dari jumlah ini, kurang dari 0,5% adalah daur ulang atau sampah rumah tangga. penggunaan kembali sampah plastik, pencapaian sasaran RPJMN akan membutuhkan keterlibatan yang jauh lebih tinggi pada tingkat rumah tangga. 5.2 Pengambilan Sampel dan Karakterisasi Sampah di Aliran Air Untuk melengkapi upaya tinjauan meja tentang pengambilan sampah di aliran air, survei lapangan melakukan pengambilan sampel sampah dari aliran-aliran air utama di daerah non-pasang. Pengambilan sampel dari beragam sampah perkotaan dari aliran air dilakukan untuk menghitung komposisi sampah, terutama komposisi sampah plastik. Sampel sampah diambil dari jeruji penyaring sampah terakhir di sepanjang aliran air yang berlokasi terdekat dengan pesisir, atau dari lokasi terdekat daerah pasang-surut untuk kota-kota yang tidak memiliki jeruji penjaring sampah maupun jenis penghalang lainnya. Sampelvolume sampah sekitar 1 m3 diambil dari jeruji penyaring sampah dan dipilah menjadi 65 jenis sampah berbeda, termasuk beberapa jenis sampah plastik. Sampah secara manual dipilah dan setiap jenisnya ditimbang untuk menentukan berat tiap-tiap jenis komposisi. Hasilnya yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan seperti juga yang tertera pada laporan- laporan kota adalah rata-rata dari seluruh sampel yang dikumpulkan di setiap kota. L A P O R A N S I N T E S I S | 21 Kandungan Sampah Plastik yang ada dalam Arus Sampah pada Aliran Air Kota: Studi oleh Jambeck et al (2015) mengasumsikan komposisi plastik pada sampah untuk Indonesia sebesar 11%, sementara studi Bank Dunia What a Waste (2012) memperkirakan persentase sampah plastik di kawasan Asia Timur dan Pasifik sebesar 13% dan 12% di Indonesia. Data statistik Indonesia untuk komposisi sampah di Jakarta menunjukkan kandungan plastik sebesar 14,5% (berdasarkan berat), termasuk karet dan kulit buatan. Temuan-temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa kandungan plastik di aliran air kota memiliki komposisi rata-rata plastik dalam arus sampah perkotaan di atas 31%, berkisar dari 20% hingga 38% (Tabel 7). Namun, perkiraan ini didasarkan pada sampel yang diambil pada penghalang fisik terakhir di aliran air kota yang mendekati pesisir pantai dan bukan dari sumber penghasil sampah, sarana TPS, ataupun TPA. Dikarenakan konsentrasi plastik pada sampah yang diambil dari aliran air (sampah dari bahan berat cenderung tenggelam, sementara sampah organik terurai), angka-angka ini tidak bertentangan dengan persentase plastik sebesar 11-15% yang ditemukan dalam bauran sampah yang dihasilkan. Kantong, kemasan dan jenis-jenis sampah Gambar 12: Rata-rata Komposisi Sampah di Aliran Air plastik lain, seperti sandal karet, mainan, dan pada Hotspot Sampel di Kota gelas, teridentifikasi dalam sampel sampah yang Plastik lain diambil dari aliran air, dengan jenis plastik 9& Kemasan Plastik Popok terbanyak yang ditemukan berupa kantong 5% 21% plastik, rata-rata 16% di semua kota (lihat Kantong Plastik Gambar 12). Persentase yang tinggi ini sebagian 16% dikarenakan sampah seringkali dimasukkan ke dalam kantong plastik sebelum dibuang. Botol Botol Plastik 1% plastik rata-rata hanya membentuk 1% dari Gelas, Logam Sampah Organic lain sampah plastik yang diambil sampelnya, yang 4% 44% kemungkinan dikarenakan nilai daur ulangnya yang lebih tinggi ketimbang kantong plastik - sekali pakai. Balikpapan, Makassar, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta memiliki persentase tertinggi dalam hal kandungan plastik di sampah aliran air mereka ketimbang kota lain yang juga diambil sampelnya. Temuan lain yan menarik adalah timbulan popok sekali pakai yang signifikan dalam sampel sampah yang diambil. Secara rata-rata, 21% dari kandungan sampah terdiri dari popok sekali pakai, yang meskipun tidak dikategorikan sebagai “plastik” dalam kajian ini, juga mengandung komponen plastik. Makassar, Manado, dan Surabaya menunjukkan kecenderungan persentase tinggi hingga dua kali lipat atau lebih dibanding rata-rata persentase kandungan popok yang ditemui pada arus sampah di aliran air kota-kota lain. L A P O R A N S I N T E S I S | 22 Tabel 7: Temuan Komposisi Sampah Survei Daerah Non-Pasang surut Bandar Lampung Balikpapan Pontinanak Yogyakarta Semarang Makassar Denpasar Rata-rata Surabaya Mataram Manado Padang Jakarta Medan Batam Bitung Kategori/ Kota Popok 12,9 23,7 26,4 7,7 31.1 10,2 14,9 0,4 16,3 15,9 11,9 0.8 8,7 12,8 9,5 13,5 Sampah organik 52,1 29,9 50,4 55,4 33,3 54,2 57,9 60,9 45,4 49,5 59,4 83,0 55,2 64,1 50,6 53,4 lain Gelas, logam, 5,39 1,7 4,7 2,9 2,1 0,2 4,6 4,4 13,0 7,8 4,6 2,6 3,5 2,6 1,7 4,1 bahan lembam Botol plastik 2,4 0,3 3,1 1,0 0,4 0,6 0,4 0,0 2,3 0,6 1,2 0,6 0,4 0,6 0,1 0,9 Gelas pastik 0,6 2,6 1,6 0,5 0,6 1,3 0,7 0,0 1,4 2,2 0,93 1,1 0,3 0,7 0,1 1,0 Kantong plastik 21,6 25,4 7,6 14,1 17,9 14,0 6,3 7,2 9,4 15,2 13,4 4,1 12,4 10,8 22,5 13,5 Kemasan plastik 4,1 14,4 3,3 10,7 14,2 17,1 12,4 3,3 7,4 6,4 7,1 6,3 13,5 6,3 2,3 8,6 Plastik lainnya 0,9 2,1 3,2 7,8 0,5 2,4 2,9 23,8 4,8 2,5 1,7 1,6 6,0 2,2 22,9 5,7 % Plastik 29,5 44,7 18,5 38,8 33,5 35,3 22,7 39,3 25,3 26,7 24,2 13,6 32,6 20,6 29,4 29,0 Validasi perkiraan Jambeck: Cukup sulit untuk sekadar mengandalkan data yang ada maupun data yang terkumpul untuk menentukan keseluruhan volume sampah plastik yang masuk ke laut dari pesisir dan aliran air di Indonesia. Jambeck memperkirakan untuk Indonesia timbulan sampah mencapai 0,48-1,29 juta ton per tahun. Kajian hotspot memperkirakan angka ini, berdasarkan penilaian para pakar, mencapai 55.000 ton untuk Jakarta (12% dari keseluruhan sampah plastik). Ekstrapolasi jumlah ini untuk keseluruhan penduduk perkotaan di Indonesia akan menghasilkan angka nasional pada tingkat sekitar 900.000 ton/tahun. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah di Indonesia rata-rata sekitar 30% sampah perkotaan (total 105.000 ton/tahun) tidak terkumpul. Sehingga mengakibatkan kebocoran sebesar 15-20%, karena 10-15% sampah yang tak terkumpul tersebut belum tersentuh oleh sistem resmi akibat adanya pengumpulan sampah daur ulang secara informal. Penilaian para pakar menentukan 30-50% sampah tak terkumpul dibuang ke aliran air. Bila demikian, dengan persentase plastik dalam bauran sampah sekitar 11-14% untuk penduduk perkotaan di Indonesia, maka timbulan sampah plastik ke aliran air diperkirakan mencapai 400.000 ton/tahun. Angka ini masih berada dalam kisaran perkiraan Jambeck. Perhitungan tersebut tidak menyertakan timbulan sampah di kawasan perdesaan. Namun kawasan ini memiliki volume sampah per kapita yang jauh lebih rendah dan, selain itu, persentase sampah plastik yang lebih sedikit pula. L A P O R A N S I N T E S I S | 23 CONTOH: PEMROSESAN SAMPAH PLASTIK BANDAR LAMPUNG Terkait pengumpulan dan daur ulang sampah, di Kota Bandar Lampung, survei lapangan menemukan sebuah contoh unik berupa para pengumpul sampah berskala kecil dan menengah mengagregasi sampah plastik ke pengumpul sampah berskala besar yang mengoperasikan pabrik pengolah untuk memadatkan dan mencacah plastik. Pabrik ini bisa menangani 1,2 ton sampah plastik/hari dan, setelah pemrosesan, mengirimkannya ke pembeli plastik kulakan di Jakarta. Mesin Pemadat Botol plastik yang sudah Mesin Pencacah Plastik dipadatkan Plastik yang Plastik telah dicacah yang dan sudah dikarungkan dicacah siap dikirim ke dan pabrik tengah dikeringkan pemrosesan berikut. Temuan Kunci: Temuan-temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa plastik memiliki persentase signifikan dari sampah yang diambil dari aliran air di semua kota, berkisar dari 20 hingga 38 persen (lebih terkonsentrasi bila dibandingkan dengan persentase sampah sebelum masuk ke aliran air, dengan persentase plastik berkisar 11-15 persen). Jenis plastik terbanyak yang ditemukan dalam sampel sampah yang diambil dari aliran air adalah kantong plastik, rata-rata 16% di semua kota. Perlu dicatat bahwa persentase popok sekali pakai, yang juga mengandung komponen plastik, mencapai 21% dari seluruh bauran sampah. L A P O R A N S I N T E S I S | 24 6 PEMETAAN HOTSPOT DI ALIRAN AIR Kajian ini mengidentifikasi titik-titik kebocoran sampah utama atau ‘hotspot’ di sepanjang aliran air utama di tiap-tiap kota. Pemetaan hotspot di masing-masing kota mencakup pendokumentasian prasarana pengumpulan sampah dan tanda petunjuk pembuangan sampah di sepanjang rute tersebut serta titik-titik dimana – meski dengan semua upaya yang telah dilakukan – sampah masih dibuang ke dalam atau sekitar aliran air. Untuk setiap kota yang disurvei, peta-peta hotspot terperinci disertakan dalam laporan teknis yang menyertai laporan ini. Secara keseluruhan, data survei menunjukkan bahwa meskipun tersedia tempat sampah dan tanda petunjuk praktik pembuangan sampah yang sepatutnya, kesenjangan yang cukup signifikan tetap terjadi di beberapa lokasi di semua kota, dimana wadah pengumpulan sampah (dan seberapa sering layanan tersedia) serta papan tanda terkait belum tersedia atau memadai, dan dimana upaya peningkatan kesadaran warga dan perubahan perilaku dibutuhkan untuk menghentikan pembuangan sampah secara ilegal dan timbulnya hotspot-hotspot sampah sepanjang aliran air. Temuan-temuan ini juga menegaskan pentingnya pengembangan strategi perbaikan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing kota. 6.1 Ringkasan Hotspot Daerah Pasang-surut Di kota-kota sasaran yang disurvei, terdapat Tabel 11: Hotspot di Aliran Air (Daerah Pasang- berbagai begitu banyak hotspot kebocoran surut) yang Teridentifikasi yang diidentifikasi – kebanyakan berlokasi di sepanjang tepi sungai. Selain itu, terdapat pula Kota # Hotspot Kota # Hotspot hotspot di kawasan permukiman dengan Jakarta 3 Makassar 9 saluran drainase yang terhubung dengan aliran Balikpapan 10 Surabaya 3 sungai atau kanal. Tabel 11 menunjukkan Denpasar 3 Semarang 4 jumlah hotspot yang teridentifikasi tepat di Mataram 5 Manado 4 daerah pasang setiap kota. Beberapa lokasi Bitung 6 Batam 9 hotspot lain ditemukan di daerah non-pasang Pontianak 10 Padang 6 surut. Permukiman di tepi sungai dan kanal Bandar Lampung 13 Medan 10 Catatan: Tidak semua merupakan hotspot, tapi semua kemungkinan besar akan mencemari aliran air adalah titik-titik yang diyakini oleh tim survei memerlukan sungai dan kanal dengan sampahnya, yang perhatian serius ditilik dari timbulan dan seberapa pada akhirnya akan bermuara ke laut. Rincian lokasi hotspot dan berbagai foto dapat ditemukan di laporan-laporan teknis kota; mereka mengindikasikan tingkat pengelolaan sampah yang kurang mumpuni di kalangan warga, dan keterbatasan pihak otorita setempat terkait dalam menangani masalah ini. Berikut dipaparkan beberapa contoh: Di Jakarta, hotspot aliran Kali Sunter ditemukan di sepanjang kanal, dari jeruji penyaring sampah Pasar Ular (hulu) ke jeruji penyaring sampah Sunter Kresek/Koja (hilir). Hotspot utama kebocoran sampah plastik ke lingkungan laut di daerah pasang-surut Jakarta berlokasi di Kamal Muara di Barat, Kali Baru- Cilincing dan Marunda di Timur. Di Makassar, hotspot yang teridentifikasi paling kritikal adalah CPI (muara kanal Jongaya dan kanal Rajawali yang mengalir dari pasar ikan dan kawasan permukiman berpendapatan rendah-menengah di Rajawali, kawasan permukiman perkotaan Pannambungan); Pelabuhan Paotore dan jalan Sabutung (muara kanal Pannampu, dimana warga membuang sampah langsung ke kanal); serta permukiman Pattingalong dan Tallo (hilir dari jeruji penyaring sampah dimana cukup banyak warga tepi sungai yang membuang sampah ke sungai Tallo). L A P O R A N S I N T E S I S | 25 STUDI KASUS: kota Bitung Kota Bitung memiliki dua sungai – Girian dan Sagerat – dalam daerah administratifnya. Survei ini meneliti kondisi kebocoran sampah dari kedua Pertemuan dua sungai kecil, Duasudara dan Klabat, di Sungai Girian sungai, sekaligus kanal Sungai Segerat drainase di pusat kota. Sungai Girian: Secara umum, kondisi sungai Girian cukup bersih, tetapi ditemukan beberapa hotspot dalam bentuk pembuangan sampah secara ilegal dan pembakaran sampah (di Lingkungan 1 Girian Weru) serta adanya sedimentasi. Daerah hotspot dipenuhi oleh tanaman air yang lebat sehingga menutupi permukaan sungai dan semakin menghambat arus sampah dari hilir. Warga di sepanjang Sungai Girian Bagian yang bersih dari Sungai Girian tercatat mempercayai bahwa sungai adalah tempat yang terbuka dan lumrah sebagai lokasi pembuangan sampah secara langsung. Tidak tersedianya TPS di dekat sebagian besar rumah dan tidak memadainya layanan pemungutan sampah pada tingkat rumah tangga semakin mendorong praktik pembuangan Lokasi pembuangan sampah illegal, pembakaran sampah sampah langsung ke sungai yang di sungai Girian dilakukan oleh para warga Sungai Girian. Selain itu, tampak jelas para warga juga melakukan Lokasi pembuangan sampah ilegal di dekat jembatan atau tepi jalan sepanjang Sungai Girian praktik pembakaran sampah. Pada bagian Sungai Girian yang - melewati Kelurahan Manembo- Nembo, Kecamatan Matuari, terdapat satu buah TPS. Namun warga masih membuang sampahnya ke sungai karena TPS berlokasi di kawasan yang terlalu curam bagi warga untuk mengaksesnya secara rutin. Sementara di bagian Sungai Girian yang melewati Kelurahan Pinokalan, Kecamatan Ranowulu, tidak ada TPS dan warga membakar sampahnya di tepi sungai. Selain itu, saat hujan lebat, permukaan sungai naik dan menyapu sampah di tepi sungai ke dalam sungai dan akhirnya ke laut. L A P O R A N S I N T E S I S | 26 Sungai Sagerat: Pengambilan sampel dilakukan di bagian Sungai Sagerat pada Lingkungan 5 RT 02 Kelurahan Manembo-Nembo, Kecamatan Matuari. Tampak bahwa warga terbiasa membakar sampah dan membuang sampah ke sungai pada saat TPS dan layanan pengumpulan sampah terkait tidak tersedia. Kanal-kanal Drainase Bitung: Sebagian besar kanal drainase Kota Bitung berada di Kelurahan Bitung Timur, Kecamatan Maesa. Survei menemukan bahwa warga di daerah ini cenderung membakar dan membuang sampah ke tanah kosong sepanjang kanal. Meskipun pemerintah kota menyediakan sebuah TPS di depan SDN 2 Bitung, TPS tersebut berlokasi 200 meter dari kawasan permukiman dan warga cenderung untuk membuang sampah mereka ke tanah kosong dekat rumah mereka ketimbang ke TPS. Lingkungan 1, Kecamatan Bitung Lebar kanal drainase [+/-] 50-60 cm Timur, Kecamatan Maesa. Banyak Kedalaman [+/-] >> 1m, banyak sedimen Sampah terjebak dan menumpuk di Lumpur di kanal kanal Kanal drainase gabungan sungai Kedalaman drainase: << 1m, penuh dengan sedimen lumpur di dasarnya Tempat tinggal resmi dari cukai Lebar kanal: [+/-] 1 m Kedalaman: [+/1] 10 cm Kedalaman air: + 10 cm Jeruji penyaring sampah SDN 2 TPS dan jeruji Bitung penyaring saluran Lebar kanal: [+/-] 1 m Kedalaman kanal [+/-] 1 m Ukuran kasa jeruji penyaring sampah: [+5/-] 5 cm Jeruji penyaring sampah di depan Ruko MM Lebar kanal: [+/-] 4,5 m Jeruji penyaring sampah Kedalaman kanal: [+/-] 80 cm Setiabudi Kedalaman air: [+/-] 10 cm Lebar kanal: [+/-] 1,5 m Kanal drainase yang ditutup Kedalaman kanal: [+/-] 80 cm Kedalaman air: [+/-] 10 cm Ukuran kasa jeruji penyaring sampah: [+/-] 10 cm Kota Bitung tampak telah menyediakan tanda dan spanduk di lokasi-lokasi yang mudah terlihat oleh warga untuk menjabarkan aturan yang melarang pembuangan sampah secara ilegal dan jam-jam khusus para warga dapat membuang sampah. Namun, survei mengkonfirmasi bahwa tanda-tanda tersebut hampir tak berdampak terhadap perilaku terkait sampah para warga. Selain itu, pemerintah kota juga telah memasang jeruji penyaring sampah di kanal-kanal untuk mencegah terjadinya sumbatan sampah dan banjir yang diakibatkannya. Sarana ini terlihat cukup terpelihara baik. Dinas Kebersihan Kota Bitung adalah satu-satunya instansi pemerintah yang menangani pengelolaan sampah. Instansi ini memiliki perangkat terbatas untuk melaksanakan mandat mereka. Meskipun survei mendokumentasikan beberapa upaya untuk menekan angka kebocoran sampah ke laut melalui pemasangan jeruji penyaring sampah di kanal-kanal drainase yang dibersihkan secara rutin, tetapi secara keseluruhan jumlah dan lokasi penempatan TPS tersebut maupun pelayanannya belum optimal dan cenderung menjadi hotspot untuk kebocoran sampah ke aliran air di dekatnya. L A P O R A N S I N T E S I S | 27 Survei menemukan bahwa peraturan setempat belum ditegakkan dan kebiasaan yang telah membudaya di kalangan warga memainkan peran penting dalam perilaku pembuangan sampah serta kebiasaan membuang sampah secara ilegal ke aliran-aliran air kota. Langkah- langkah mengajak warga untuk mendukung dan mengusung pembuangan sampah secara patut serta investasi untuk menyediakan TPS tambahan dan meletakkannya di lokasi yang tepat akan membantu mengatasi tantangan sampah laut Kota Bitung. STUDI KASUS: SUNGAI WAIN DAN SOMBER DI KOTA BALIKPAPAN DI Balikpapan, survei yang terperinci berfokus pada dua sungai utama, Wain dan Somber, mengingat bahwa sungai-sungai di sistem drainase barat di kota tersebut tidak dapat diakses (Gambar 14). GAMBAR 14: SKEMA ALIRAN SUNGAI UTAMA DI KOTA BALIKPAPAN. Sungai-sungai di Drainase Barat Sungai Wain Sungai Sober Tempat sampah perkotaan di Pelabuhan Ferry Sungai Kariangau terlihat berada dalam kondisi tidak layak, sehingga mendorong perilaku pembuangan sampah yang tidak patut di hotspot ini. Selain itu, kondisi TPS di pelabuhan tersebut sering dikelilingi oleh sampah. Selain hotspot yang teridentifikasi di pelabuhan, survei juga menemukan pembuangan sampah secara ilegal di jalan masuk ke Jetty Coral Barge. Survei menemukan bahwa walaupun Sungai Wain tampak bersih, sampah terapung seperti kantong plastik, kemasan plastik, dan popok sekali pakai juga tercermati di sepanjang aliran air dari Jembatan Sungai Wain. L A P O R A N S I N T E S I S | 28 Hotspot di Sungai Wain River Jembatan Sungai Wain Lokasi Pembuangan Sampah Ilegal di Jetty Coral Barge Corral Barge Jetty TPS di Pelabuhan Ferry Kariangau, Balikpapan Pelabuhan Ferry Kanriangau Di Pusat Bakau (Mangrove Center), kondisi Sungai Somber tampak bersih. Survei mencatat bahwa pada lokasi ini, para relawan yang bertanggung jawab untuk mengelola pelestarian hutan-hutan bakau (di Perumahan Graha Indah) secara aktif mengumpulkan sampah di kawasan hutan bakau. Di daerah ini, satwa liar, seperti buaya dan kera proboscis, juga terlihat. Selain itu, tersedia dua jenis tempat sampah untuk pengunjung Pusat Bakau, satu untuk sampah basah (organik) dan satu untuk sampah kering (non-organik). Kondisi pengelolaan sampah Pusat Bakau patut menjadi panutan. Namun, beberapa daerah survei lain di sepanjang Sungai Somber tercatat sebagai hotspot, termasuk lokasi-lokasi dimana sampah dibuang secara ilegal ke Sungai Somber atau di hotspot sepanjang tepi sungai yang mengakibatkan kebocoran sampah ke sungai. Mengutamakan perhatian pada investasi untuk penyediaan pelayanan pengumpulan sampah serta layanan pengumpulan dan pengangkutan sampah yang lebih sering, maupun untuk kegiatan pembersihan dan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan mendukung pembuangan sampah sepatutnya di lokasi-lokasi ini tentu akan membantu menghentikan kebocoran sampah dari daratan ke kawasan pesisir Balikpapan. L A P O R A N S I N T E S I S | 29 6.2 Ringkasan Karakteristik Hotspot Sebuah analisa karakteristik utama yang teridentifikasi pada setiap kota yang disurvei Prasarana Prasarana Aliran Sampah: Air: Jenis, menunjukkan beberapa elemen yang sama, yaitu Kemudahan berfungsi/ akses yang kurang memadai ke layanan Akses Kekerapan tidak pengumpulan sampah atau pengumpulan sampah yang tidak cukup sering; prasarana aliran air yang kurang memadai atau tidak berfungsi optimal; kurangnya kesadaran warga dan rumah tangga Mekanisme Perilaku, Praktik serta perilaku yang tidak sepatutnya; serta belum Pendanaan, Wargam Rumah adanya mekanisme pendanaan dan kelembagaan Kelembagaan Tangga yang memadai. Contoh-contoh dari 15 kota diringkas dalam paragraf-paragraf berikut. Prasarana Sampah: Kemudahan Akses dan Kekerapan Di beberapa kota yang disurvei – seperti di Makassar – tampak kurang tersedia perangkat pengelolaan sampah (tempat sampah, gerobak sampah), sementara sarana pada tingkat rumah tangga pun belum memadai. Di kebanyakan kota, TPS terletak jauh dari kawasan permukiman dan akibatnya rumah tangga membuang sampah mereka dengan cara lain, seringkali secara ilegal, dengan dibakar atau membuang sampah ke aliran air di sekitar rumah mereka. Sebagai contoh, kota-kota Jakarta, Makassar, Balikpapan, dan Surabaya melaporkan bahwa jarak TPS ke permukiman lebih dari 100 meter, dan karenanya tidak digunakan secara optimal. Beberapa kawasan permukiman di daerah pasang-surut (seperti Terboyo Wetan di Semarang) belum memiliki akses ke TPS. Warga membuat tempat-tempat pembuangan sampah informal yang kemudian bocor ke aliran air. Pada kasus lain, permukiman terutama yang berlokasi di tepi sungai (seperti Sungai Tondano, Manado) atau daerah pesisir (seperti Malayu Bangsa di Mataram) tidak dapat dilewati oleh gerobak atau motor sampah. Warga kemudian membuang sampah mereka langsung ke aliran air. Permukiman terapung (seperti Segara Pasar Baru, Kampong Baru Ulu di Balikpapan) memiliki tantangan pengelolaan sampah yang unik. Selain tantangan akses, pengumpulan sampah yang tidak terlalu sering juga tercatat sebagai hambatan. Di permukiman- permukiman padat penduduk, seperti Kali Anak di Surabaya, pengumpulan sampah dilakukan hanya dua kali seminggu, sementara pada hari lain warga membuang sampah langsung ke aliran air. Prasarana Aliran Air: Jenis dan Kondisi Jenis prasarana untuk mengambil sampah dari aliran air mencakup penghalang, jeruji penyaring sampah, dan bentuk-bentuk perangkap lain. Survei di banyak kota mengungkap bahwa beberapa sungai belum memiliki penghalang atau jeruji penyaring sampah, misalnya di sungai utama Medan, Sungai Deli, atau di keenam sungai di Padang. Manado merupakan satu-satunya kota yang disurvei yang belum memiliki jeruji penyaring sampah atau penghalang sampah di kelima sungainya yang L A P O R A N S I N T E S I S | 30 mengalir ke laut; sampah di semua aliran air mengalir langsung ke pesisir dan lingkungan laut Manado. Kalaupun ada prasarana sampah untuk aliran air, prasarana tersebut terlihat belum memadai atau belum berfungsi secara efektif. Sebagai contoh, beberapa sungai di Pontianak tidak memiliki jeruji penyaring sampah atau perangkap; dan hanya memiliki penghalang bertali nilon (dan dalam kondisi yang kurang patut) yang kurang memadai untuk timbulan sampah yang bocor ke aliran- aliran air ini. Bila pun ada, beberapa jeruji penyaring sampah tampak tidak beroperasi secara penuh; beberapa beroperasi dengan kapasitas 50%, sehingga mengakibatkan kebocoran sampah ke laut (seperti di Rangda, Denpasar). Dalam beberapa kasus, jeruji penyaring sampah tidak terpasang secara optimal untuk benar-benar bisa mencegah kebocoran sampah ke laut. Di Makassar, jeruji penyaring sampah di aliran air kerap berlokasi jauh di hulu dari permukiman, sehingga kebocoran sampah ke aliran air terjadi di daerah hilir dari jeruji tersebut; di Surabaya, jeruji-jeruji tersebut terletak di aliran air samping, sehingga mereka menghentikan kebocoran untuk masuk ke sungai utama. Namun mereka tidak dipasang di sungai-sungai utama. Beberapa kota menyatakan bila jeruji penyaring sampah di aliran-aliran air ini dipasang di aliran-aliran air tersebut, maka akan menghambat akses perahu nelayan yang merapat di daerah muara. Perilaku Warga dan Praktik Rumah Tangga Dari berbagai segi, terdapat peluang yang signifikan untuk meningkatkan kesadaran warga dan kapasitas setempat terkait praktik-praktik pembuangan sampah. Pembakaran sampah rumah tangga jamak terjadi di sepanjang tepi sungai di Manado dan Padang, sementara sampah yang tidak terbakar bocor ke sungai- sungai dan kemudian ke pesisir dan laut. Di Medan, misalnya, warga tampak kerap membakar sampah di tepi sungai dan mengakibatkan kebocoran ke aliran air. Terdapat banyak permukiman di sepanjang Sungai Kapuas, Pontianak, dimana warga membuang sampah mereka ke sungai akibat kurangnya kesadaran (dan akses ke) praktik-praktik pembuangan sampah yang sepatutnya. Survei-survei, seperti yang dilakukan di Lampung, juga mencermati bahwa warga enggan membayar pungutan dan memilih untuk membuang sampah langsung ke laut. Prioritas warga dan pemerintah berfokus pada isu-isu yang dirasa lebih mendesak seperti banjir. Selain itu, belum terdapat cukup insentif untuk mengubah persepsi, sikap, dan perilaku rumah tangga dan warga. Mekanisme Pembiayaan dan Kelembagaan Beberapa alasan yang melandasi kurang mumpuninya pengelolaan sampah di kota-kota sasaran adalah kurang tersedianya peraturan dan/atau belum terciptanya koherensi dan kekhususan dalam peraturan atau antar peraturan yang ada. Seperti yang telah disampaikan, terdapat pula kurang koordinasi dalam pengelolaan sampah antar pihak-pihak yang bertanggung jawab pada tingkat lokal – dengan mekanisme kelembagaan yang berbeda-beda antar kota. Pengelolaan yang kurang mumpuni terlihat di banyak survei. Di Denpasar, pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam mendapatkan lahan untuk membuat TPS. Warga setempat bertanggung jawab atas pengelolaan sampah, tapi banyak yang tidak memiliki anggaran atau sistem yang mumpuni untuk melaksanakan peran ini secara efektif. Selain itu, karena kurang tersedianya lahan di Pontianak, TPS diletakkan di tepi sungai dan menjadi titik-titik kebocoran sampah yang cukup tinggi. Kelemahan dalam hal penegakan hukum juga mengakibatkan kebocoran ke laut. Di Pontianak, misalnya, kebocoran juga terjadi akibat layanan pengelolaan sampah yang kurang mumpuni di Pasar Dalam L A P O R A N S I N T E S I S | 31 Bugis dan Pelabuhan Kapuas Indah; di Bitung, sistem-sistem pengelolaan sampah belum ditegakkan di pelabuhan tradisional dan pasar pesisir Pasar Ruko – sehingga titik-titik ini rawan kebocoran ke laut. Pembiayaan yang belum memadai dan kurang adanya insentif merupakan hambatan penting. Di Kampung Rawa Laut, Lampung, misalnya, pendapatan para pengumpul sampah dianggap kurang memadai dan tidak dapat memotivasi terciptanya layanan pengumpulan sampah di daerah-daerah pesisir. Harga barang-barang daur ulang yang cenderung terus rendah semakin memperburuk kondisi ini. Sebagai akibatnya, warga cenderung menggunakan tempat-tempat sampah ilegal untuk membuang sampah mereka. Di beberapa daerah (seperti Rengas Pulau di Medan), petugas TPS tidak resmi menuntut pungutan ke para warga yang mau membuang sampahnya di TPS. Persaingan antara bank sampah resmi dan tidak resmi juga mengakibatkan insentif yang semakin rendah. L A P O R A N S I N T E S I S | 32 7 TEMUAN PERILAKU-SOSIAL Wawancara perilaku-sosial kualitatif yang diselenggarakan di kota-kota sasaran dianalisa untuk memperjelas praktik-praktik yang menghasilkan sampah dan pembuangan sampah, serta menelaah persepsi warga tentang pengelolaan sampah. Masukan warga didapat melalui wawancara semi- terstruktur dengan sasaran responden tertentu, menerapkan kerangka kerja standar yang digunakan untuk survei BPS tahun 2015. 19 Temuan-temuan yang disampaikan dalam laporan ini merupakan sebuah sintesis dari semua kota yang disurvei, dan menyertakan contoh-contoh untuk menggarisbawahi beberapa hal-hal umum yang terjadi di semua atau kebanyakan kota. 7.1 Profil Warga Penduduk di daerah hotspot cenderung beragam, baik dari segi etnis, pekerjaan, maupun jangka waktu tinggal. 20 Pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pendapatan para responden survei beragam, mayoritas ibu rumah tangga, nelayan, pedagang kecil, pengumpul sampah, dan pegawai negeri pemerintah lokal. Di semua kota, kebanyakan daerah pasang surut ditemui memiliki sistem pengumpulan dan pembuangan sampah – namun, warga dari kalangan ekonomi lebih rendah dikaitkan dengan sarana yang lebih buruk dan penyediaan layanan sampah yang kurang memadai. Di daerah-daerah ini, prasarana dan layanan pengelolaan sampah tersedia tapi terbatas, dan warga tidak memiliki akses ke informasi ataupun kesadaran membuang sampah yang sepatutnya. Pada hampir semua kasus, layanan dikelola secara lokal, dengan pemerintah tingkat terendah, yaitu RT/RW atau asosiasi warga dan lingkungan, bertanggung jawab untuk menyediakan dan mengawasi pengelolaan sampah. Lingkungan- lingkungan warga memiliki sistem yang beragam tergantung karakteristik mereka dengan akses sebagai pertimbangan utama – lebar jalan antar rumah rumah – dan kemampuan warga untuk membayar layanan pengumpulan sampah. Di daerah-daerah dengan kesulitan akses, pendekatan yang umum diterapkan adalah menaruh tempat sampah bersama di daerah tersebut dan mengharuskan rumah tangga untuk membuang sampah mereka di sana. Tempat sampah ini harus dikosongkan pada jadwal yang telah ditentukan oleh pemerintah tingkat berikutnya (desa, kelurahan, atau kecamatan), tergantung sistem pengelolaan sampah di kota tersebut. Di daerah-daerah dimana terdapat akses yang bisa dilalui gerobak sampah manual (ditarik oleh petugas), sistem pengumpulan diatur berdasarkan upah-untuk- layanan yang dipungut oleh ketua RT atau RW setiap minggu atau bulan. Tetapi, meskipun berbagai upaya ini telah ditempuh, di semua daerah yang disurvei, selalu terdapat kepemimpinan lokal, sistem pengawasan, dan penegakan hukum yang belum memadai untuk menghentikan pembuangan sampah secara ilegal dan tercatat pula perilaku pembakaran sampah. Secara teknis, peran pemimpin setempat dalam menentukan sistem pengumpulan sampah pada 19 BPS 2013, Survei Indikator Perilaku Peduli Lingkungan 20 Data kependudukan terperinci dari kecamatan dan kelurahan di daerah-daerah pasang yang disurvei dipaparkan pada laporan teknis. Namun, data tersebut lebih merupakan acuan umum, karena data kependudukan dari kelurahan merepresentasikan kelurahan secara keseluruhan dan tidak sekadar sebagian penduduk yang tinggal di daerah survei hotspot. L A P O R A N S I N T E S I S | 33 tataran warga berada dalam cakupan sistem resmi. Keputusan-keputusan tentang pengumpulan pada tataran rumah tangga pada tingkat lokal tergantung pada para pemimpin yang paham situasi, perhatian, dan andal. Warga setempat menyadari bahwa pada saat pemimpin lingkungan warga memiliki inisiatif dan menunjukkan komitmen, warga akan lebih mematuhinya dan mengurangi insiden pembuangan terbuka. Layanan dan sistem berkualitas lebih baik membutuhkan individu- individu menonjol yang dapat dikedepankan. Secara keseluruhan, hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali informasi maupun kampanye publik yang konsisten tentang pengelolaan sampah di daerah pasang-surut maupun non-pasang- surut dengan titik-titik hotspot. Ada upaya menaruh papan tanda di beberapa lokasi tertentu, namun penegakan peraturan dan upaya membersihkan lokasi tersebut jarang dilakukan. Pada tingkat kota yang lebih luas, upaya peningkatan kesadaran publik tentang pengelolaan sampah sangatlah terbatas dan inisiatif yang ditemui hanya sebatas menaruh spanduk larangan pembuangan sampah terbuka disertai kutipan tentang peraturan dan denda. Kurangnya kesadaran secara umum, dan peraturan tanpa disertai tindakan penegakan tampak jelas di semua lokasi yang disurvei. Baik di daerah pasang-surut maupun non-pasang-surut, kesadaran tentang daur ulang serta keberadaan dan tujuan bank sampah terbatas. Daur ulang dan pemilahan sampah di rumah tangga belum menjadi praktik standar, meskipun survei menemukan beberapa kasus dimana warga setempat menyimpan sampah yang dinilai berharga dari badan sungai dan aliran air untuk kemudian ditukar sebagai kredit di bank sampah atau dijual ke pengumpul. Warga di daerah pasang-surut maupun daerah non-pasang surut tidak memilah sampahnya, karena kurangnya informasi atau kesadaran; terdapat persepsi bahwa sampah yang telah dipilah akan dicampur kembali oleh para pengumpul sampah; kekhawatiran bahwa barang yang ditumpuk akan mengundang hama; dan persepsi bahwa harga beli sampah yang bisa didaur ulang terlalu rendah dan karenanya tidak setimpal dengan upaya yang dikeluarkan. 7.2 Perilaku dan Praktik pada Tingkat Warga Praktik pembuangan sampah beragam tergantung situasi di lingkungan warga tersebut, sistem pengelolaan sampah, serta faktor-faktor lain seperti ekonomi dan pendidikan. Nilai-nilai budaya dan tradisi kerap memainkan peran dalam membentuk perilaku terkait pembuangan sampah. Beberapa anekdot dari survei: • Contoh-contoh dari daerah permukiman Cumpat in Surabaya Utara, misalnya, warga masih membuang sampah mereka ke laut, terutama sampah rumah tangga dan sisik ikan, karena pengumpul sampah mereka hanya beroperasi setiap empat hari sekali. Menurut beberapa responden, membuang sampah mereka ke lautan jauh lebih efektif karena sampah akan dihanyutkan oleh ombak. • Di Jakarta, warga di daerah perumahan padat dan miskin umumnya suka menjaga agar daerah kecil tepat di sekitar mereka sebersih mungkin, sering menyapu dan menjaga agar jalan ke pintu mereka bersih. Tetapi, tidak terdapat banyak ruang di gang-gang sempit di kawasan kumuh. Sehingga warga tetap tinggal di antara sampah yang mereka coba sapu dan rapikan, kecuali, atau hingga, sampah tersebut diangkut. Sampah sering disapu ke selokan atau aliran air terdekat agar daerah di depan rumah atau pintu mereka lebih bersih. • Tempat sampah daur ulang di tepi jalan disediakan di kawasan perumahan perkotaan Margasari, Balikpapan Barat. Namun warga tetap mencampur sampahnya, karena tempat sampah tersebut terlalu kecil dan cepat penuh sebelum sempat dikosongkan. Selain itu, pengumpul sampah yang ditugaskan oleh warga selalu mencampur sampah ketika mengosongkan tempat sampah tersebut, sehingga pemilahan oleh warga dianggap tak berguna. L A P O R A N S I N T E S I S | 34 Kotak 6: Membangun Modal Sosial untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah Peluang peningkatan kondisi pengelolaan sampah di daerah-daerah pasang dengan membangun modal sosial mencakup: memperluas keberhasilan organisasi warga yang telah ada dalam bidang pengelolaan sampah (misalnya Asosiasi Perempuan dan LSM di Semarang dan Mataram) dan mulai terbentuknya bank-bank sampah seperti di Medan; menguatkan lembaga yang telah ada sebagai pintu masuk dalam peningkatan kesadaran dan tindakan masyarakat; sebagai contoh, Pagubuyan Warga Stren Kali di Surabaya dan relawan sampah di Padang. Peluang modal sosial juga termasuk: menentukan dan mendukung individu-individu yang menonjol; memperbanyak kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran setempat; meningkatkan skala dan mereplikasi kegiatan rutin yang telah ada, seperti: (i) ‘Jumat Keliling” di Mataram untuk mengawasi sampah, dan (ii) kewajiban bagi para lurah Makassar untuk mencatat aspirasi warga dan menyelaraskan aspirasi tersebut dengan sasaran dan kerangka waktu yang ditetapkan oleh Walikota. Peluang lain meliputi: memaksimalkan penggunaan media sosial guna mendukung koordinasi dan pelaporan (misalnya di Pontianak dan Makassar). Kolaborasi dengan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dapat ditingkatkan dan diterapkan pada sektor sampah. L A P O R A N S I N T E S I S | 35 8 DISKUSI DAN REKOMENDASI Kajian ini telah menjadi langkah awal yang penting dalam mendapatkan landasan bukti untuk kebocoran sampah dan keterkaitan antara pengelolaan sampah dan sampah laut di kota-kota kunci di Indonesia. Temuan-temuan dari kajian ini dapat memberikan masukan penting bagi program- program pengelolaan sampah padat pada tingkat nasional, dan rencana tindak sampah laut. Berdasarkan temuan-temuan kajian tersebut, pintu masuk jangka pendek untuk menangani tantangan sampah laut Indonesia telah teridentifikasi dan akan dipaparkan pada bagian ini. Pintu masuk yang teridentifikasi disusun berdasarkan kebijakan tingkat nasional dan rekomendasi investasi yang dapat diterapkan secara umum, dan tindakan khusus untuk kota-kota tertentu yang disesuaikan untuk menangani kondisi yang tertelaah selama survei lapangan dan diarahkan untuk melengkapi dan memperkuat layanan pengelolaan sampah padat perkotaan di tiap-tiap kota. 8.1 Tautan ke Program-Program Pemerintah Terkait 8.1.1 Program Pemerintah untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah Padat: Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyiapkan program nasional untuk meningkatkan pengelolaan sampah padat yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas. Dukungan terhadap kota-kota di Indonesia akan mencakup perencanaan investasi, perbaikan sistem, pengembangan kapasitas operasional, pengelolaan keuangan, dan dukungan investasi untuk mencapai akses layanan pengumpulan dan pembuangan 100%, serta pengurangan volume sampah dengan menggunakan teknologi yang lebih mutakhir. Hal ini juga membutuhkan pengembangan berbagai model dan metode inovatif dan inklusif nasional untuk pengumpulan berbasis masyarakat dan perbaikan pengurangan sampah (3R/Bank Sampah). Sejalan dengan hal ini, perlu pula dikembangkan beberapa mekanisme insentif dan penegakan guna memperbaiki kinerja sektor pada tataran pemerintah lokal. Selain itu, diperlukan pengembangan kebijakan dan program untuk “sampah-menjadi-energi”, daur ulang/pembuatan kompos, dan sampah laut dari daratan. Kotak 7: Investasi pelengkap yang dipertimbangkan dalam usulan pinjaman Bank Dunia PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PADAT UNTUK MENDUKUNG KOTA-KOTA DI DAERAH DAN METROPOLITAN Termaktub dalam usulan pinjaman ($100 juta) yang tengah disiapkan, terdapat investasi-investasi bernilai lebih dari $ 1,0 milyar untuk dimanfaatkan yang memungkinkan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah padat, termasuk kegiatan-kegiatan yang menyasar daur ulang dan kebocoran sampah plastik. Objektif Pengembangan Proyek (Project Development Objective, PDO) dari pinjaman ini adalah untuk memperbaiki layanan-layanan pengelolaan sampah padat bagi penduduk perkotaan di kota-kota terpilih di seluruh Indonesia dan proyek ini akan memiliki indikator hasil khusus untuk penurunan kebocoran sampah ke aliran air. Studi-studi strategis akan menekankan pada halangan-halangan kunci dalam meningkatkan kinerja sektor sampah padat secara keseluruhan. Studi yang telah teridentifikasi untuk pelaksanaan program: (a) dukungan pengurangan sampah rumah tangga (termasuk pengurangan pemakaian, pemakaian kembali, dan daur ulang (reduce, reuse, recycle, 3R) dan “Bank Sampah” ; (b) berbagai mekanisme untuk menyertakan petugas sampah informal dan masyarakat lebih luas dalam sistem- sistem pengumpulan dan daur ulang sampah resmi; (c) sebuah peta jalan untuk proses transisi kelembagaan Dinas Kebersihan ke BLUD; (d) kerangka kebijakan dan hukum untuk mengusung investasi sampah-menjadi-energi; (e) strategi- strategi untuk mengoptimalkan pembiayaan tambahan baik swasta maupun publik untuk pengelolaan sampah padat; serta (f) pengembangan langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi pencemaran laut dari daratan dan mencegah sampah plastik memasuki aliran air dan lautan. L A P O R A N S I N T E S I S | 36 Kajian hotspot sampah laut membantu menerangkan jenis-jenis kebijakan dan investasi, serta kebutuhan tingkat kota akan prasarana aliran air, perbaikan pengelolaan sampah, serta berbagai strategi dan tindakan untuk perubahan perilaku. L A P O R A N S I N T E S I S | 37 8.1.2 Rencana Tindak Sampah Laut Pemerintah Indonesia Pada bulan Juni 2017, Indonesia Kotak 8: Sebuah Strategi Eropa untuk Plastik dalam “Ekonomi meluncurkan Rencana Aksi untuk Melingkar” Sampah Laut, yang menuntut adanya Pada bulan Desember 2015, Komisi mengadopsi sebuah Rencana berbagai upaya untuk mengendalikan Tindak UE untuk ekonomi melingkar. Dalam hal ini, Komisi kebocoran sampah plastik/sampah laut menentukan plastik sebagai suatu prioritas kunci dan menyatakan dan meningkatkan kesadaran akan isu komitmen untuk ‘menyiapkan sebuah strategi guna menangani tersebut. Rencana ini memperhitungkan tantangan-tantangan terkait plastik dalam seluruh rangkaian rantai nilai dan mempertimbangkan keseluruhan siklus hidupnya’. bahwa perbaikan dalam hal sampah padat perkotaan di daerah pesisir dapat Pada tahun 2017, Komisi mengkonfirmasi bahwa pihaknya akan mengurangi kebocoran sampah plastik menekankan pada produksi dan penggunaan plastik, serta ke lautan hingga sebesar 80%, dan bertindak memenuhi tujuannya guna memastikan bahwa pada tahun 2030 semua kemasan plastik yang digunakan akan bisa memprioritaskan upaya-upaya untuk didaur ulang. Untuk bergerak ke arah visi ini, strategi tersebut mengumpulkan dan secara aman mengusulkan sebuah rangkaian langkah UE yang ambisius. membuang sampah padat, termasuk Meningkatkan sisi ekonomi dan kualitas dari proses daur ulang melalui sebuah Program Pengelolaan plastik Sampah Padat Nasional (National Solid Rancangan yang berkemampuan daur ulang Waste Management, NSWM) (lihat Meningkatkan kebutuhan akan plastik daur ulang Kotak 7), dibiayai utamanya dengan Pengumpulan terpisah dan pemilahan yang lebih baik dan lebih selaras sumberdaya nasional dan ditunjang oleh Menahan timbulan sampah plastik dan pembuangan ilegal pendanaan Bank Dunia. Mencegah sampah plastik di lingkungan. Rencana Aksi Sampah Laut memiliki Menetapkan kerangka kerja kebijakan yang jelas untuk plastik yang mudah terurai empat pilar – yang secara singkat akan Masalah plastik mikro yang meningkat dipaparkan di bawah ini. Paparan Mengarahkan inovasi dan investasi ke solusi-solusi melingkar ringkas setiap pilar juga disertai dengan Bersinergi dengan tindakan global tautan khusus ke temuan-temuan pada kajian hotspot sampah laut. Mengurangi kebocoran sampah dari daratan: Khususnya, kegiatan dalam pilar ini akan mencakup dukungan terhadap persiapan dan pelaksanaan bertahap dari suatu Strategi dan Rencana Tindak Terpadu Pengelolaan Sampah Laut Nasional, termasuk perancangan dan pelaksanaan dari sebuah Kerangka Kerja Pengawasan Sampah Laut Nasional dan dimulainya pelaksanaan sebuah Kampanye Kesadaran Masyarakat dan Perubahan Perilaku Rumah Tangga Nasional. Kajian hotspot laut memberikan informasi dan data kunci terkait perilaku dan kesadaran masyarakat di lokasi-lokasi hotspot kunci untuk kebocoran dari daratan ke sungai, kanal, dan pada akhirnya ke laut. Hasil-hasil ini dapat digunakan untuk membantu memberikan masukan bagi usulan Kampanye. Selain itu, program terpadu pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan sampah padat juga akan secara langsung mendukung pilar ini. Penting untuk memastikan keselarasan antara Strategi dan Rencana Tindak ini dengan Program Sektor Sampah Padat Nasional dan strategi-strategi sektor yang disiapkan oleh KemenPUPR dan KemenLHK. Mengurangi kebocoran sampah padat dan pencemar lain dari laut: Guna menangani aspek kebocoran sampah ini, perlu dipastikan tercukupinya investasi yang diperlukan dalam pembangunan “pelabuhan hijau” (Greenports) dan penegakan Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal 73/78 (Konvensi MARPOL) di seluruh pelabuhan di Indonesia. Tujuan dari upaya ini adalah mengurangi pembuangan sampah secara ilegal dari kapal di laut dan merancang sistem penanganan sampah kapal yang efisien di setiap pelabuhan. Upaya-upaya tambahan juga perlu L A P O R A N S I N T E S I S | 38 ditempuh melalui kerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menangani jaring ikan tak bertuan dan perlengkapan perikanan yang terbengkalai. Kajian hotspot laut tidak mencakup kebocoran sampah dari laut – yang diperkirakan mencapai 20% dari sampah yang bocor ke lingkungan laut Indonesia. Tetapi dari survei ini dihasilkan informasi dari beberapa kota yang menunjukkan adanya isu pada pengelolaan sampah di kawasan pelabuhan, dan perlunya upaya pembersihan. Mengurangi pencemaran pesisir dan laut yang Kotak 9: Program Pembelian Kembali untuk Peralatan menumpuk: Di bawah pilar ini, Rencana Aksi Penangkapan Ikan dan Sampah Laut dari Kegiatan bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari Perikanan di Korea sampah laut yang menumpuk atau terakumulasi Program pembelian kembali sampah laut Korea terhadap kesehatan penduduk, pariwisata, Selatan adalah suatu program insentif untuk perkapalan, perikanan, dan ekosistem pesisir dan mendorong para nelayan untuk membawa ke laut. Investasi khusus akan mencakup kajian dan pelabuhan alat-alat penangkap ikan dan sampah laut lain yang terbengkalai dan terjerat ketika mereka promosi teknologi-teknologi terkait dan berbiaya menangkap ikan. Program ini memberikan upah sepadan untuk mengangkut atau membuang secara insentif secukupnya untuk sampah laut yang dibawa patut sampah yang menumpuk di kawasan pesisir ke pelabuhan. dan laut serta menerapkan mekanisme untuk Sejak dimulainya program tersebut pada tahun 2003 memfasilitasi pengangkutan sampah, dan mulai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (sekarang melaksanakan kampanye pendidikan tentang Kementerian Pertanahan, Transportasi dan dampak sampah laut bagi kesehatan dan lingkungan. Kelautan), hingga tahun 2009, program ini telah dilaksanakan di 51 daerah lokal di 38 kota di Korea Kajian hotspot laut memberikan bukti adanya Selatan. kebutuhan perluasan tindakan yang dipimpin oleh warga terkait berbentuk upaya-upaya pembersihan untuk semakin mengusung kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap pembuangan sampah yang layak. Selain itu, kajian juga mengindikasikan arah penelitian pada masa depan terkait biaya manusia, lingkungan, ekonomi dari sampah laut, seperti kajian dampak sampah akibat perbuatan manusia terhadap pasokan makanan hasil laut Indonesia. Langkah ini ditempuh untuk memahami risiko kesehatan masyarakat dan pertimbangan keselamatan makanan hasil laut terkait bioakumulasi pencemar dan zat kimiawi berbahaya. Memangkas produksi dan penggunaan plastik: Kegiatan dalam pilar ini utamanya menekankan keterlibatan dan tanggung jawab sektor swasta dalam membantu menangani tantangan sampah laut Indonesia. Tindakan yang dapat dilakukan dalam pilar ini mencakup peningkatan skala percontohan pajak kantong plastik ke tingkat nasional untuk menyertakan botol dan kemasan plastik serta mengusung kebijakan pengadaan hijau. Tindakan lebih lanjut yang disarankan meliputi dimulainya penerapan prinsip tanggung jawab produsen ‘cradle to cradle’, peningkatan skala dan dorongan untuk melakukan tindakan pengurangan plastik yang diprakarsai oleh sektor swasta. Kajian hotspot laut memerinci beberapa inisiatif praktik baik dalam pengelolaan sampah, termasuk inisiatif yang bekerja sama dengan sektor swasta dan LSM. Penelitian pada masa depan yang diusulkan di bawah ini mengarah kepada kebutuhan akan kebijakan dan investasi terkait pengurangan plastik, dan eksplorasi tentang penggantinya. Analisa aliran sampah juga akan membantu mengidentifikasi produk-produk spesifik (seperti jenis-jenis plastik sekali pakai) sebagai prioritas utama. L A P O R A N S I N T E S I S | 39 8.2 Rekomendasi untuk Menangani Sampah Plastik di Indonesia Berdasarkan hasil-hasil kajian cepat ini, terdapat beberapa rekomendasi untuk menangani masalah sampah plastik/sampah laut yang semakin menggunung di Indonesia. Dengan 80% kebocoran berasal dari sumber-sumber di daratan, kebanyakan rekomendasi bersifat sistemik – dan menjadi bagian (atau perlu menjadi bagian) dari strategi pengelolaan sampah padat secara keseluruhan (seputar perbaikan pengumpulan, segregasi sumber, dan opsi-opsi pembuangan akhir). Bagian ini mencakup beberapa rekomendasi sistemik untuk penyertaan dan penekanan lebih lanjut dalam agenda SWM terpadu, tetapi juga mengerucut ke pencemaran sampah laut/sampah plastik yang belum tentu sepenuhnya dicakup oleh strategi sektor sampah saat ini. Pada kasus lainnya, rekomendasi terkait teknologi, kebijakan hulu, dsb, dikhususkan untuk menangani sampah plastik. 1. MENGURANGI FRAGMENTASI KELEMBAGAAN Dikarenakan sifatnya yang lintas sektor dan Kotak 10: Sistem Pengelolaan yang Bertanggung Jawab lintas lembaga, agenda sampah plastik sangat untuk Menangani Sampah dari Daratan di Lembah Sungai membutuhkan kejelasan dalam tanggung Nakdong jawab kelembagaan. Utamanya, kerangka Kebanyakan sampah laut di Korea Selatan berasal dari kerja kelembagaan untuk tindakan pemerintah sumber-sumber di daratan melalui sungai-sungai besar terkait sampah laut perlu secara tegas pada musim hujan. Mayoritas kerusakan yang diakibatkan disertakan dalam strategi dan rencana tindak sampah dari daratan terjadi setelah sampah mencapai pengelolaan sampah padat nasional. Bukti lingkungan laut dan pesisir. yang dipaparkan dalam kajian cepat ini Beberapa pemerintah kota sepanjang Sungai Nakdong mengarah kepada beberapa langkah River serta kementerian di pemerintah pusat bergabung untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka setuju untuk penguatan kelembagaan dalam pengelolaan secara bersama menanggung biaya penanganan sampah sampah secara keseluruhan pada tataran kota. di muara sungai. Berbagai studi dilakukan terhadap Langkah ini mencakup: timbulan sampah dari setiap kawasan perkotaan. Dengan memanfaatkan hasil-hasil studi tersebut dan beberapa • Menguatkan perencanaan utama pada variabel lain, persentase bagi-biaya dihitung untuk setiap tataran kota untuk menyertakan lokasi- kota. lokasi kebocoran tinggi, termasuk Pada bulan Mei 2009, jenis sistem pengelolaan permukiman informal. Hal ini mencakup bertanggung jawab ini telah diterapkan di lima sungai pembentukan tim lintas dinas untuk utama di Korea Selatan. Prinsip-Pencemar-Membayar berhasil diterapkan melalui sistem ini. Selain itu, sistem ini mengelola sampah secara terpadu dan menghasilkan kendali secara sukarela terhadap sampah menyeluruh. Karena strategi sampah dari daratan di kota-kota non-pesisir. sekarang menekankan pada kawasan perkotaan, mungkin saja daerah yang lebih perdesaan di sepanjang aliran air belum terperhatikan. Padahal daerah ini bisa jadi merupakan penyumbang yang cukup signifikan terhadap masalah plastik di lautan. • Menentukan tanggung jawab yang jelas terhadap pengumpulan dan pembuangan sampah serta perawatan prasarana. Memastikan lembaga sanitasi publik dan Dinas Kebersihan memiliki kapasitas memadai dalam pengumpulan dan pembuangan sampah (akses ke TPA sanitasi). Untuk sampah plastik, hal ini mencakup, misalnya, perhatian terhadap tanggung jawab untuk merawat jeruji penyaring sampah di aliran-aliran air, dan mendirikan bank-bank sampah tambahan. L A P O R A N S I N T E S I S | 40 2. MENERAPKAN KEBIJAKAN HULU DAN MENGUATKAN PERATURAN PERUNDANGAN Begitu banyak langkah yang dapat diterapkan di Indonesia untuk mengurangi sampah plastik yang tak perlu, terutama sampah dari barang-barang sekali pakai atau kemasan berlebihan, dan untuk mendorong penggunaan kembali kemasan. Dengan bukti-bukti anekdot dari beberapa kota dan masyarakat di Indonesia, terdapat potensi untuk menguatkan cakupan dan mandat dari peraturan perundangan tentang pencemaran, di samping kebijakan hulu terkait untuk rancangan produk dan kemasan plastik. Menilik hasil dari kajian cepat, jelas terdapat kebutuhan pada tingkat nasional untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme fiskal dan insentif yang bisa membantu mengurangi tingkat sampah dan pencemaran plastik di pengecer menjual produk laut. Mekanisme ini mencakup berbagai kebijakan seperti skema “Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas” – sebuah pendekatan dimana perusahaan barang konsumen produsen atau pemilik merek memproduksi dan mengemas produk membayar sebagian atau seluruh biaya Konsumen membeli produk untuk mengelola bahan kemasan. Opsi tambahan seperti skema setoran Sampah plastik terhasilkan dengan sasaran tertentu dapat membantu mengurangi sampah dan mendorong daur ulang, dan sudah terbukti membantu beberapa negara Pembuangan sampah plastik untuk menghasilkan tingkat Program pengambilan kembali: pengecer mengambil pengumpulan sampah yang tinggi kembali, pengiriman kembali melalui pos, lokasi-lokasi pengumpulan, pengangkut, pemerintak lokal. untuk kontainer minuman. 3. MEMPERBAIKI UKURAN DALAM PENGHITUNGAN Kajian cepat telah membuktikan kerumitan dalam mengembangkan ukuran-ukuran untuk mengawasi dan memperkirakan besaran dan lokasi kebocoran sampah plastik. Perkiraan kasar menghasilkan kisaran angka antara 500.000 dan 1.000.000 ton/tahun untuk Indonesia, sejalan dengan perkiraan di literatur internasional berdasarkan jumlah penduduk dan indikator-indikator luas (Jambeck). Penentuan ukuran untuk kajian kebocoran sampah dan plastik ke aliran air dan lautan tetap menjadi sebuah pekerjaan rumah dan masih terus perlu memperbaiki metodologinya, memperkuat keandalannya, menentukan parameter standar untuk sampah plastik yang menjadi tolok ukur, dan mengembangkan indikator-indikator untuk memantau kemajuan yang telah dicapai. Bahkan ketika pemerintah – baik di tingkat kota maupun pusat – berupaya untuk meningkatkan pengelolaan sampah padat terpadu secara keseluruhan (pengumpulan, daur ulang, pembuangan), sangat penting untuk menangani bagian sampah plastik melalui strategi bertahap melalui pengurangan penggunaan , penggunaan kembali dan pendauran ulang plastik, penemuan bahan pengganti plastik, dan inovasi dalam solusi paska-pakai. 4. MENYASAR INVESTASI PADA TINGKAT KOTA Kajian cepat menyoroti perlunya memprioritaskan SWM dimana terdapat titik-titik hotspot kebocoran di suatu kota. Penerapan sistem peringkat kota seperti dalam usulan pinjaman Pengelolaan Sampah Padat terhadap masalah sampah laut, akan membantu mengidentifikasi jenis dan lokasi untuk investasi kritikal ini. Hal ini dapat mencakup tindakan sebagai berikut. L A P O R A N S I N T E S I S | 41 • Mendirikan titik-titik pengumpulan sampah yang mudah dicapai di semua lingkungan warga dan mempertimbangkan penambahan jadwal pengumpulan sesuai kebutuhan. Bekerja sama dengan lingkungan warga dan LSM setempat untuk menentukan titik pengumpulan dan rancangan mekanisme pengumpulan yang paling efektif. Memindahkan TPS yang ada di sekitar aliran air untuk mengurangi kebocoran sampah ke aliran air, memperbaiki rancangan dan fungsionalitas sarana TPS untuk menghentikan kebocoran, dan menyertakan praktik-praktik pemilahan/daur ulang di sarana TPS. • Meningkatkan perawatan dan pengoperasian jeruji penyaring sampah dan perangkap sampah yang sudah ada di aliran air. Kajian menemukan bahwa kebanyakan kota memiliki beberapa jenis prasarana yang ditempatkan di aliran air utama untuk menangkap dan menghentikan kebocoran sampah – termasuk plastik – ke daerah pesisir. Kajian juga menemukan bahwa meskipun beberapa kota memiliki sarana serupa di sepanjang aliran air mereka, banyak di antaranya yang belum berfungsi secara penuh maupun dirawat secara rutin. 5. MENYESUAIKAN TEKNOLOGI YANG DIGUNAKAN Di berbagai belahan dunia, teknologi-teknologi baru menawarkan beragam solusi baru untuk pencemaran plastik dalam berbagai area seperti rancangan bahan, teknologi pemilahan, dan plastik yang dapat diperbaharui atau mudah terurai. Teknologi ini seringkali disesuaikan dengan jenis-jenis plastik, komposisi, tingkat aditif, serta tingkat kontaminasinya. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, plastik bernilai tinggi sering diangkut dari aliran air oleh sektor informal berskala besar. Kebanyakan sampah plastik yang tersisa dan bernilai rendah (seperti kemasan layanan makanan sekali pakai, barang-barang menggunakan film tipis, dan rancangan kemasan canggih yang sulit untuk dibongkar) belum memiliki nilai yang memadai di pasar lokal untuk menjustifikasi pengumpulannya, jika ditinjau dari harga bahan dasar plastik dan prasarana pengelolaan sampah yang ada sekarang. Menyadari besarnya skala pencemaran plastik, Indonesia tengah membuat percontohan solusi-solusi dan langkah-langkah teknologi potensial – mulai dari mendorong produsen untuk memaksimalkan plastik daur ulang sebagai bahan baku, hingga memproduksi plastik yang mudah terurai dari singkong, rumput laut, dan kelapa sawit; eksperimen dengan jalan aspal/tar plastik, hingga opsi-opsi sampah- menjadi-energi. Namun, mengingat begitu beragamnya kota di Indonesia – terkait sampah, kapasitas, pembiayaan mereka, dll – tidak bisa dihindari bahwa solusi teknologi perlu disesuaikan dengan konteks setiap kota (dan sampah plastiknya). 6. MENGEKSPLORASI PEMBIAYAAN INOVATIF Pada tataran sistem, perlu dipastikan alokasi anggaran untuk pengumpulan memadai; dan juga untuk perawatan dan perbaikan perlengkapan agar fungsi sistem pengumpulan dan pembuangan sampah di aliran air di kota-kota sasaran berlangsung optimal. Hal ini akan membantu menemukan solusi guna memastikan bahwa (i) pungutan atau pajak setempat dapat menutup biaya pengumpulan dan pembuangan sampah padat; atau ii) terdapat transfer dari pemerintah pusat atau provinsi yang memadai. L A P O R A N S I N T E S I S | 42 • Meningkatkan upaya dan alokasi keuangan Kotak 11: Perjanjian Pengemasan Berkelanjutan Singapura untuk sarana pengumpulan TPS; memperbaiki Pada tahun 2007, Badan Lingkungan Nasional (National jeruji yang rusak dan pasang penghalang di Environment Agency, NEA) Singapura meluncurkan aliran air yang belum dilengkapi penghalang, Perjanjian Pengemasan Singapura (Singapore Packaging dan melembagakan peraturan untuk tingkat Agreement, SPA). SPA merupakan inisiatif bersama antara pungutan yang sepatutnya dan pengumpulan pemerintah, perusahaan sektor swasta, dan CSO untuk mengurangi sampah kemasan. Perjanjian bersifat sukarela, pungutan secara rutin guna menutup biaya untuk memberikan kelenturan bagi industri dalam layanan yang lebih baik dan lebih sering. menerapkan solusi-solusi berbiaya efektif untuk • Menetapkan pembiayaan dan kapasitas yang mengurangi sampah. memadai untuk pengawasan dan penegakan Hingga bulan Juli 2016, 177 penanda tangan telah secara proaktif terkait denda pembuangan menandatangani perjanjian tersebut. Melalui SPA, NEA sampah secara ilegal. Bekerja sama dengan telah berkonsultasi dengan lebih dari 140 perwakilan dari 100 organisasi lintas sektor, termasuk manufaktur, kelompok masyarakat dan LSM, terapkan makanan dan minuman, dan sektor lainnya. Penanda sistem pengawasan lingkungan sehingga tangan SPA diundang untuk menghadiri berbagai warga enggan melakukan pembuangan pertemuan, acara, dan sesi-sesi berbagi untuk mengenal sampah secara ilegal atau tidak selayaknya. lebih lanjut praktik-praktik terbaik kemasan dan Tindakan ini akan membantu meningkatkan memahami bagaimana perusahan lain telah memangkas biaya usaha mereka dengan mengurangi sampah kemasan. penegakan peraturan anti-buang sampah Perusahaan yang mencetak kemajuan signifikan dalam ilegal. mengurangi sampah kemasannya juga berpeluang mendapatkan salah satu Penghargaan Kemasan 3R, dan • Menjajaki i peluang untuk melakukan berpeluang untuk diangkat profilnya di media berkat pendanaan campur (blended finance). Peran inisiatif pengurangan kemasan mereka. sektor keuangan swasta sangat penting dalam hal teknologi, penelitian dan pengembangan, dan inovasi, selain juga solusi pengelolaan sampah. Beragam jenis model pembiayaan – yang menyertakan pembiayaan dari sektor publik maupun swasta – dapat digunakan untuk menyuntikkan dana pada titik-titik kritikal dalam rantai nilai sampah untuk menstimulasi perilaku pasar dan hasil pengelolaan sampah yang diinginkan. 7. MENGUATKAN PENDIDIKAN, KESADARAN MASYARAKAT: Menguatkan upaya-upaya komunikasi dan pendekatan untuk meningkatkan kesadaran, dengan menyasar daerah-daerah hotspot dan masyarakat lebih luas menggunakan strategi yang berbeda- beda. • Meluncurkan serangkaian kampanye peningkatan kesadaran masyarakat berskala nasional dan lokal untuk meningkatkan pemahaman dan memastikan adanya keterlibatan pemerintah lokal, LSM, pemuka masyarakat, warga dan pengusaha setempat, serta sekolah-sekolah untuk memperbaiki praktik-praktik sampah yang sepatutnya. Melibatkan LSM setempat untuk mendukung pengembangan dan promosi kampanye-kampanye serupa. • Meluncurkan program-program praktik pengelolaan sampah yang baik di sekolah pada tingkat SD dan SMP. Sebagai bagian dari upaya peningkatan kesadaran masyarakat, mengembangkan program belajar terstruktur bagi siswa tentang praktik pembuangan sampah yang baik. Menyertakan perilaku dan sikap yang baik terhadap sampah dan daur ulang pada tingkat akar rumput. L A P O R A N S I N T E S I S | 43 • Memulai gerakan pembersihan sukarela secara rutin yang dipimpin oleh masyarakat di pantai, Kotak 12: Kampanye yang Mendidik: Menyelami Pendidikan Sampah Laut tepi sungai, dan hutan bakau setempat untuk mengurangi penumpukan sampah di daerah- Menanggapi mandat dari Marine Debris Research, daerah tersebut. Hal ini tidak hanya akan Prevention and Reduction Act of 2006, Program Sampah Laut (Marine Debris Program, MDP) dari mengurangi kebocoran sampah ke laut, tetapi National Oceanic and Atmospheric Administration juga akan bersinergi dengan upaya peningkatan (NOAA) telah bekerja sama dengan para mitranya kesadaran masyarakat dan menguatkan untuk membuat kampanye pendidikan berbasis web program-program sekolah tentang pengelolaan tentang kesadaran akan sampah laut dan sampah yang sepatutnya. Inisiatif pada tingkat pencegahannya. warga untuk melindungi dan melestarikan Kampanye ini mencakup berbagai sumberdaya yang lingkungan, yang telah ada di beberapa kota, dirancang khusus untuk beberapa sasaran khalayak dapat didukung oleh pemerintah. tertentu, termasuk awak kapal/pelaut, siswa/pendidik, pengunjung pantai, pemancing, dan • Memperluas diseminasi peraturan setempat masyarakat umum. Setiap produk memberikan tentang pengelolaan sampah (lebih dari sekadar informasi tentang dampak sampah laut dan saran- tanda dan spanduk peringatan di berbagai saran bagaimana menjadi bagian dari solusi. kawasan kota); penegakan denda penalti telah dimulai, namun kekurangpedulian dan kekurangsadaran juga melandasi belum efektifnya penerapan peraturan. 8.3 Memberikan Masukan bagi Peta Pengelolaan Sampah Plastik di Laut Temuan-temuan dari kajian ini serta masukan-masukan yang diterima pada saat kegiatan atau acara- acara besar dalam rangka berbagi pengetahuan, baik di tingkat nasional maupun internasional21 telah membantu memberikan berbagai masukan pada peta jalan yang disusun pemerintah tentang pengelolaan sampah plastik di laut. Hal ini termasuk pada upaya analisa kritikal, dialog kebijakan, rancangan dan cetak biru komunikasi, rencana pembiayaan, dan rencana kota percontohan yang mendukung pengurangan sampah di laut. Kegiatan-kegiatan yang dipaparkan dalam rancangan peta lima tahun ini akan ditangani melalui berbagai langkah, termasuk dukungan dari proyek SWM Bank Dunia yang tengah disiapkan, serta pembiayaan melalui MDTF Lautan, Sampah Laut, dan Pesisir Indonesia (Indonesia Oceans, Marine Debris and Coastal MDTF). 8.3.1 Dukungan Sistemik melalui Proyek Pengelolaan Sampah Padat Proyek ini akan mendukung 30 atau lebih kota dalam meningkatkan layanan pengelolaan sampah dan memperkenalkan sistem terpadu (sepenuhnya) yang memadukan pengumpulan sampah pada tingkat warga dan sistem yang dikelola oleh pemerintah kota untuk mengangkut, mengolah, dan membuang sampah. Kebanyakan penekanan diberikan pada penguatan kapasitas pengelolaan untuk melaksanakan dan secara berkelanjutan membiayai pengoperasian pengelolaan sampah. Diharapkan tingkat pengumpulan sampah di kota-kota ini – yang sekarang berada pada angka rata-rata 70% – akan meningkat hingga menjadi 90% atau lebih, dan karenanya akan mengurangi kebocoran sampah dari daratan ke aliran air. Agar perhatian terarahkan secara khusus pada pengurangan kebocoran, sebuah indikator hasil pun disertakan. Salah satu dampak menarik dari langkah tersebut adalah dibentuknya sistem akuntansi dan metrik khusus sampah yang akan dikembangkan dalam proyek ini untuk memantau kinerja pengelolaan sampah dalam keseluruhan rantai sampah dari dihasilkannya 21 Misalnya Lokakarya Sampah Laut Nasional di Makassar pada Mei 2016, Pertemuan Tingkat Tinggi Lautan Dunia di Bali pada Februari 2017, dan Konferensi Lautan PBB di New York pada Juni 2017. L A P O R A N S I N T E S I S | 44 sampah pada tataran rumah tangga hingga pendaurulangan pada sistem pengolahan dan pembuangan pusat, termasuk (pengurangan) kebocoran sampah ke aliran air. Proyek ini sangat menekankan pada perbaikan pengumpulan sampah primer pada tingkat rumah tangga, partisipasi warga baik dalam pengumpulan sampah maupun daur ulang sampah, serta pelibatan warga untuk mengurangi dan pada akhirnya meniadakan kebocoran sampah. 8.3.2 Dukungan dengan Sasaran Khusus melalui MDTF Lautan, Sampah Laut, dan Pesisir Indonesia Melalui MDTF, Komponen 2 tentang sampah laut akan mendanai dukungan investasi analisa dan percontohan – diselaraskan terutama untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan Rencana Tindak Nasional tentang Sampah Laut, dan bertujuan untuk mengurangi sampah plastik di kawasan pesisir Indonesia, mengelola sampah plastik di laut, serta meningkatkan penelitian dan inovasi dalam menangani sampah laut. Dalam rancangan rencana kerja tersebut terdapat beberapa kegiatan berikut: Studi-Studi Penelitian dan Analisa • Mereplikasi dan memperluas Kajian Cepat Hotspot: kekhususan dari kajian ini tampak jelas dalam beragam hasil dari masing-masing kajian kota dan pembelajaran lebih luas secara keseluruhan. Temuan- temuan tersebut memungkinkan pengembangan tanggapan nasional yang menyeluruh dengan kekhasan lokal. Upaya mereplikasi kajian untuk kota-kota pesisir, terutama di Kawasan Timur Indonesia, akan membantu menciptakan landasan dasar (baseline) nasional tentang kebocoran sampah ke lingkungan pesisir, dan menjadi kerangka kerja pengawasan nasional yang berfungsi sebagai pendamping untuk melacak kemajuan pada skala nasional maupun lokal. • Pengarusutamaaan Kajian Hotspotdan Pendalamannya: Mengembangkan sebuah studi lanjutan untuk mengkaji fluktuasi musiman atau tahunan dalam kebocoran sampah dari aliran air ke kawasan pesisir. Merancang protokol dan pemodelan yang kokoh untuk memperkirakan timbulan kebocoran sampah; dan untuk mengukur/mengawasi sampah laut di pantai pesisir dan mendokumendasikan sumber-sumbernya. Melaksanakan kajian mendalam tentang berbagai solusi untuk mengurangi kebocoran sampah untuk bagian-bagian sungai tertentu. • Kajian Kandungan Plastik dalam Rantai Pasokan Makanan Hasil Laut: Memperluas penelitian awal tentang kandungan plastik di pasokan ikan domestik. Indonesia menargetkan peningkatan konsumsi ikan sebagai sebuah sumber protein utama; memahami seberapa kritikal kontaminasi plastik dalam makanan hasil laut yang dikonsumsi domestik harus menjadi bagian penting dari strategi ini, termasuk di dalamnya meneliti kepatuhan keselamatan makanan hasil laut secara lebih luas. • Teknologi Pembersihan Sampah yang Menumpuk: Melakukan penelitian tentang biaya dan manfaat dari beragam teknologi pembersihan sampah pesisir dan laut untuk menentukan teknologi yang paling pantas untuk Indonesia dan untuk kota/kawasan pesisir tertentu tergantung volume sampah, biaya, dan keberlangsungan operasional (pengoperasian, perawatan, pengangkutan, perlengkapan terkait, dan kebutuhan prasarana). Komunikasi/Perubahan Perilaku: Merancang dan menguji pelaksanaan kampanye-kampanye peningkatan kesadaran, komunikasi dan perubahan perilaku untuk pengumpulan sampah primer dan daur ulang di kota-kota prioritas (“kota-kota unggulan” untuk berperang melawan sampah laut setempat). Bekerja sama dengan warga setempat untuk menyesuaikan kampanye pada tingkat lokal. Kebijakan, Peraturan, Mekanisme Insentif: Kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan masukan guna memperkuat kebijakan, mekanisme insentif, dan peraturan pada tingkat nasional untuk menghentikan kebocoran sampah di perairan dan lautan. Analisa potensi pengenaan pajak untuk kantong/kemasan plastik; pelarangan plastik sekali pakai; penelitian yang lebih baik untuk bahan L A P O R A N S I N T E S I S | 45 alternatif yang mudah terurai; sistem deposit untuk botol dan wadah plastik; serta peraturan untuk tanggung jawab produsen atas pengemasan produk. Dukungan Teknis, Percontohan, Investasi: Menggunakan sistem tingkatan untuk usulan kota yang disertakan dalam proyek SWM yang didanai Bank Dunia, mengidentifikasi daerah-daerah penerima dukungan teknis guna mendukung perencanaan tingkat-kota untuk pengurangan sampah laut, termasuk pengembangan konsep, basis data, strategi, pengawasan, dan evaluasi; mengembangkan sebuah model yang dapat direplikasi. Memanfaatkan informasi dari studi-studi teknologi dan keefektifan biaya, memberikan masukan untuk studi-studi kelayakan guna menciptakan proyek percontohan dan investasi yang disesuaikan. L A P O R A N S I N T E S I S | 46 DAFTAR ACUAN APEC (2009) Understanding the Economic Benefits and Costs of Controlling Marine Debris in the APEC Region, APEC Marine Resources Conservation Working Group. BPS (2015a) Indikator Perilaku Peduli Lingkungan Hidup2014 (Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014, Modul Ketahanan Sosial), Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta-Indonesia. BPS (2015b) Statistik Indonesia, 2015, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta-Indonesia. BPS-Jkt (2015) Jakarta Dalam Angka – 2015, Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. BAPPENAS (2015) Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia2014, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Indonesia. (Millennium Development Goals (MDG)), Laporan MDGs 2014 Final.pdf. Benno R. et al (2015) The Influence of Economic and Demographic Factors to Waste Generation in Capital City of Java and Sumatera. The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia. Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – 25 November 2015. Eriksen M. et al. (2014) Plastic Pollution in the World’s Oceans: More than 5 Trillion Plastic Pieces Weighing over 250,000 Tons Afloat at Sea. PloS ONE 9(12):e111913. EU (2013) Guidance on Monitoring of Marine Litter in European Seas, European Commission, Joint Research Centre, Institute for Environment and Sustainability. Giri et al. (2011) Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, (2011), 20, 154-159. GOI (UU 18 – 2008) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pemerintah Republik Indonesia GOI (PP 81-2012) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012, Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pemerintah Republik Indonesia. Gordon M. (2006a) Municipal Best Management Practices For Controlling Trash and Debris In Stormwater And Urban Runoff, California Coastal Commission. Gordon M. (2006b) Eliminating Land-based Discharges Of Marine Debris In California: A Plan of Action from The Plastic Debris Project California Coastal Commission. IPRC (2008) Tracking Ocean Debris. International Pacific Research Center IPRC Climate Newsletter, Volume 8, Nomor 2. J. Raynaud (2014) Valuing plastic: The business case for measuring, managing and disclosing plastic use in the consumer goods industry, UNEP Rep., 2014. L A P O R A N S I N T E S I S | 47 Jambeck et. al. (2015a) Plastic waste inputs from land into the ocean, Science, 13 Februari 2015 Volume 347, Issue 6223. Jambeck et. al. (2015b) Supplementary Materials for: Plastic waste inputs from land into the ocean, Science, 13 Februari 2015, VOL 347 Issue 6223. www.sciencemag.org/content/347/6223/768/suppl/DC1 MARPOL 73/78 Annex V (prevention of pollution by garbage from ships) McKinsey (2015) Stemming the Tide: Land-based strategies for a plastic - free ocean, McKinsey & Company and Ocean Conservancy, September 2015. McKinsey (2016) Managing Waste in Emerging Markets. Mugabi, J. (2014) How to Finance Solid Waste Management – Starting from Results. World Bank. Obbard, R.W., et al. (2014) Global Warming Releases Microplastic Legacy Frozen in Artic Ice, Earth’s Future, Volume 2, Issue 6, halaman 315-320 (2014). Gourmelon, G. (2015) Global Plastic Production Rises, Recycling Lags. Vital Signs. World Watch Institute. Citation of Plastics Europe, op. cit. note 1: European House Ambrosette, op. cit. Note 7. Rahim, I. R. et. al. (2012) Cost Analysis of Municipal Solid Waste Management in Major Indonesian Cities, Journal of Japan Society of Civil Engineers, Ser. G (Environmental Research) Vol. 68(2012) No. 6p. II_79-II_88, https://www.jstage.jst.go.jp/article/jscejer/68/6/68_II_79/_pdf. Sesini M. (2011): The Garbage Patch in the Oceans: The Problem And Possible Solutions, Earth Institute, Columbia University. SNI (1995) SNI 19-1983-1995. Spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia, Standar Nasional Indonesia. SNI (2002) SNI 19-2454-2002. Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan, Standar Nasional Indonesia. SNI (2008) SNI 3242 -2008 Pengelolaan sampah di permukiman, Standar Nasional Indonesia. UNEP (2005) Marine Litter, an analytical overview. UNEP (2009a) Marine Litter: A Global Challenge. UNEP (2009b) UNEP/IOC Guidelines on Survey and Monitoring of Marine Litter, Regional Seas Reports and Studies o. 186 IOC Technical Series No. 83. UNEP (2015) Global Waste Management Outlook. Watkins E. et al (2015) Marine litter: socio-economic study Scoping report, Institute for European Environmental Policy, 2 Juni 2015. Woodward D. (2013) Institutional Development and Cost Recovery Study Final Report, prepared for the World Bank’s “Indonesia Solid Waste Management Improvement Project for Regional and Metropolitan Cities”, Bank Dunia Jakarta. World Bank (2012) What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management. L A P O R A N S I N T E S I S | 48 World Economic Forum, Ellen “The new plastics economy: Rethinking the future of plastics,” 19 Jan Macarthur Foundation, and 2016. McKinsey & Company (2016) L A P O R A N S I N T E S I S | 49