73504 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur A Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II, Lt. 12-13 Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta – 12190 Telp. (+6221) 5299 3000 Faks (+6221) 5299 3111 Laporan ini dicetak pada Bulan Juni 2012 Foto tengah pada halaman sampul, foto pada halaman Ringkasan Eksekutif, foto pada Bab 4, dan foto pada Bab 5 merupakan Hak Cipta © Guntur Sutiyono; foto kanan pada halaman sampul serta foto pada Bab 1, Bab 2 dan Lampiran merupakan Hak Cipta © Bastian Zaini; foto kiri pada halaman sampul dan foto pada Bab 3 serta Bab 6 merupakan Hak Cipta © World Bank Photo Collection; foto pada Bab 7 merupakan Hak Cipta © Governance and Decentralization Survey 2. Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012. Meningkatkan kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur merupakan kerjasama tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia, maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi Bastian Zaini (bzaini@worldbank.org). Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, CIDA, AUSAid, dan Bank Dunia.  Terima kasih kami ucapkan kepada tim peneliti yang dikepalai oleh A. Madjid Sallatu, beranggotakan Agussalim, Darmawan Salman, St. Bulkis Oesman, Budimawan, Rahim Darma, Nursini, Sultan Suhab, A. Tawakkal, Muhammad Yunus, dan Djunaidi M. Dachlan.  Terima kasih pula kepada tim data P3KM yang beranggotakan Sanusi Fattah, A. Amrullah, Abdullah Sanusi, A.Nixia Tenriawaru, dan A. Abdul Azis Ishak.  Pengelolaan penelitian oleh P3KM dikoordinasi oleh Djunaidi M. Dahlan, dibantu oleh Agussalim sebagai sekretaris, dan Nursini yang membantu untuk administrasi. Tim Bank Dunia dipimpin oleh Guntur Sutiyono dan Bastian Zaini, dibantu oleh Erryl Davy, Ihsan Haerudin, Indira Maulani Hapsari, Chandra Sugarda, Andhika Maulana, dan A. M. Rezky Mulyadi. Terima kasih kepada Luna Vidya yang telah mengkoordinasikan kegiatan komunikasi PEACH di Sulawesi Selatan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada anggota Project Management  Committe (PMC) yang telah aktif berpartisipasi memberi masukan selama proses pembuatan laporan, dinas-dinas dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang berkontribusi dalam pengumpulan data. Tim menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Tan Malaka Guntur sebagai Ketua PMC. Terima kasih dan apresiasi kami berikan kepada Kepala Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Muhammad Firda sebagai Sekretaris PMC, dan Bapak Rusmin dari PMC. Arahan pembuatan laporan ini diberikan oleh Gregorius D.V. Pattinasarany dan Amin Subekti. Terima kasih kepada Cut Dian Rahmi Agustina, Ahmad Zaki Fahmi, serta rekan-rekan dari Bank Dunia dan CIDA atas saran dan masukannya. Terima kasih juga kami berikan kepada Sarah Sagitta Harmoun atas dukungan logistiknya. Tak lupa apresiasi kami sampaikan untuk Caroline Tupamahu dan Yayasan BaKTI yang memfasilitasi PEACH di Sulawesi Selatan.  ii Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Kata Pengantar Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memegang peranan penting di kawasan timur Indonesia. Ibu Kotanya, Makassar sudah menjadi jantung perdagangan dan distribusi di kawasan ini secara turun temurun. Sebagai provinsi yang selama ini berperan sebagai salah satu lumbung pangan nasional dengan produk utama seperti beras, jagung, dan kakao, kini Provinsi Sulawesi Selatan bergerak maju dengan produksi ternak sapi dan rumput lautnya. Dalam lima tahun terakhir, Sulawesi Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional, capaian tersebut didorong oleh pertumbuhan pada sektor konstruksi, Jasa keuangan, dan Pengangkutan. Walaupun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kapasitas fiskal yang semakin besar, Provinsi Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, salah satunya adalah tantangan kemiskinan. Selain itu, pendidikan dan kesehatan juga merupakan tantangan dalam upaya meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusianya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan perlu berupaya keras dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong arus perpindahan sehingga investasi di sektor infrastruktur dan penyediaan layanan dasar akan menjadi sangat penting. Laporan ini merupakan sebuah upaya untuk membantu Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerah, meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran, dan berkontribusi dalam kinerja pembangunannya. Laporan ini merupakan hasil kerjasama yang erat antara Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, serta dukungan dari CIDA, AusAID, dan Bank Dunia. Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan berperan penting dalam memfasilitasi seluruh proses pembuatan laporan ini. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Kami juga berharap laporan ini dapat menjadi sumbangsih pengetahuan bagi pemerintah daerah di provinsi lain, para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, serta pemerhati keuangan dan pembangunan daerah. Di masa yang akan datang, peran Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi semakin penting, dan kami berharap laporan ini dapat berkontribusi kepada pengelolaan keuangan daerah dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH Stefan G. Koeberle Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur iii Daftar Isi Ucapan Terima Kasih ii Kata Pengantar iii Daftar Gambar v Daftar Tabel viii Daftar Kotak ix Daftar Istilah x Ringkasan Eksekutif 1 Bab 1 Pendahuluan 9 1.1 Perkembangan Daerah 10 1.2 Kondisi Perekonomian Daerah 11 1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan 15 1.4 Kondisi Pembangunan Manusia 18 1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah 20 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah 23 2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah 24 2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 27 2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 29 2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah 30 2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah 32 2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah 35 2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi 37 Bab 3 Pendapatan Daerah 39 3.1 Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan 40 3.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 42 3.3 Dana Perimbangan 43 3.4 Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah 45 3.5 Pembiayaan Daerah 45 3.6 Kesimpulan dan Rekomendasi 46 Bab 4 Belanja Daerah 49 4.1 Gambaran Umum Belanja Daerah 50 4.2 Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi 51 4.3 Belanja Menurut Sektor 52 4.4 Belanja Terkait Kesetaraan Gender di Sulawesi Selatan 54 4.5 Kesimpulan dan Rekomendasi 57 Bab 5 Analisis Sektor Strategis 59 5.1 Analisis Sektor Pendidikan 60 5.1.1 Belanja Sektor Pendidikan 60 5.1.2 Kinerja Hasil dan Keluaran Sektor Pendidikan 62 5.1.3 Analisis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 65 5.1.4 Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan 70 5.1.5 Kesimpulan dan Rekomendasi 74 5.2 Analisis Sektor Kesehatan 75 5.2.1 Belanja Sektor Kesehatan 75 5.2.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan 76 iv Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 5.2.3 Analisis Kabupaten/Kota 78 5.2.4 Kebijakan Kesehatan Gratis 81 5.2.5 Kesimpulan dan Rekomendasi 84 5.3 Analisis Sektor Infrastruktur 84 5.3.1 Belanja Sektor Infrastruktur 85 5.3.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur 86 5.3.3 Analisis Kabupaten/Kota 90 5.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi 92 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan 95 6.1 Belanja Sektor Pertanian 96 6.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian 98 6.3 Komoditas Jagung 99 6.4 Komoditas Kakao 101 6.5 Komoditas Sapi 104 6.6 Komoditas Rumput Laut 105 6.7 Komoditas Udang 107 Bab 7 Analisis Isu Spesifik 111 7.1 Analisis Kemiskinan 112 7.1.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan 112 7.1.2 Gambaran Kemiskinan di Kabupaten/Kota 113 7.1.3 Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Sulawesi Selatan 117 7.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi 118 7.2 Analisis Lingkungan Hidup 118 7.2.1 Belanja Urusan Lingkungan Hidup 119 7.2.2 Gambaran Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan 120 7.2.3 Kesimpulan dan Rekomendasi 121 7.3 Analisis Gender 122 7.3.1 Gambaran Umum Gender di Sulawesi Selatan, 122 7.3.2 Perspektif Gender di Wilayah Pesisir 124 7.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi 126 Lampiran 129 Lampiran A. Apakah yang Dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? 130 Lampiran B. Catatan Metodologi 131 Lampiran C. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi 132 Lampiran D. Master Table 141 Daftar Gambar Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (Center Point of Indonesia) 10 Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional 11 Gambar 1.3. PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional 14 Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 14 Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen 15 Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010 16 Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009 18 Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 18 Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD 19 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur v Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di Indonesia Tahun 2009 20 Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra SKPD di Sulawesi Selatan 27 Gambar 2.2. Alur Pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah 29 Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD Menuju RAPBD) 31 Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran 33 Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah 33 Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan 36 Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 40 Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 41 Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 42 Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 42 Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 43 Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 43 Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan 44 Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 44 Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2010 45 Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 46 Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 50 Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan, 2007-2010 50 Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 51 Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 51 Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 52 Gambar 4.6. Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan Berdasarkan Sektor, 2007-2011 53 Gambar 4.7. Belanja Sektor Strategis Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota 54 Gambar 4.8. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 55 Gambar 4.9. Belanja Klasifikasi Ekonomi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Sulawesi Selatan, 2010-2011 56 Gambar 4.10. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi Bervariasi 56 Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 60 Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 61 Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 61 Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 62 Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*) 62 Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 63 Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 64 Gambar 5.8. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010 64 vi Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Gambar 5.9. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) 64 Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 65 Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 66 Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 68 Gambar 5.13. Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 68 Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan 71 Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 75 Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 76 Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Sulawesi Selatan, 2005-2009 76 Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 76 Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009 77 Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per 100.000 Penduduk 77 Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011 78 Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 79 Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 85 Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 85 Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 86 Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar 87 Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010 87 Gambar 5.28. Proporsi Panjang dan Kondisi Jaringan Jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 88 Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 88 Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan 89 Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 89 Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 90 Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 90 Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik 91 Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik 91 Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan 96 Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan, 2005-2011 97 Gambar 6.3. Alokasi Belanja Sektor Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010 97 Gambar 6.4. Belanja Pertanian Riil Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 98 Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 99 Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 100 Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010 101 Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009. 104 Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. Verrucosa dan E. Cottoni, 2006-2010 105 Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. 106 Gambar 6.11. Kontribusi Lima Kabupaten Penghasil Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat di Tahun 2010. 106 Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut Kategori Jenis, 2006-2010 108 Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 112 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur vii Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 112 Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010 113 Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010 113 Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2006-2010 114 Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 114 Gambar 7.7. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 115 Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan 117 Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 120 Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak. 121 Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Selatan, 2005-2010 122 Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005 – 2009 123 Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan 123 Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan 124 Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 124 Daftar Tabel Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat 12 Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah 12 Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan 13 Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 15 Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009 16 Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi Selatan, 2005-2009 17 Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan Keagaman 20 Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia 21 Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 24 Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan 25 Tabel 2.3. Katerkaitan Agenda Pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD Provinsi/Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 26 Tabel 2.4. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dengan Renstra SKPD Dinas Kesehatan dan SKPD Dinas Pertanian 28 Tabel 2.5. Program Prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 32 Tabel 2.6. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 34 Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa 36 Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009 63 Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005-2009 65 Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 67 viii Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 69 Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 70 Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di Sulawesi Tahun 2009 77 Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005-2009 78 Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 80 Tabel 5.9. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 81 Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009-2011 82 Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin Meningkat 86 Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 98 Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 100 Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi 102 Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010 102 Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN 103 Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010 107 Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 115 Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 116 Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan 125 Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011 125 Tabel C.1. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah 132 Tabel C.2. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendapatan dan Belanja Daerah 133 Tabel C 3. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Sektoral 135 Tabel C.4. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Komoditas Unggulan 138 Tabel C.5. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Isu-Isu Strategis 139 Tabel D.1. Penerimaan Berdasarkan Sumber 141 Tabel D.2. Belanja berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 143 Tabel D.3. Belanja berdasarkan Sektor 144 Tabel D.4. Belanja Pemerintah Pusat yang Terdekonsentrasi ke Provinsi Sulawesi Selatan 145 Tabel D.5. Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010 146 Tabel D.6. Belanja per Kapita Urusan Strategis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010 147 Daftar Kotak Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 71 Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 72 Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis 73 Kotak 5.4. Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan 83 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur ix Daftar Istilah ABK Anggaran Berbasis Kinerja AHH Angka Harapan Hidup AKB Angka Kematian Bayi AKI Angka Kematian Ibu AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APS Angka Partisipasi Sekolah COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program BLHD Badan Lingkungan Hidup Daerah BUMN Badan Usaha Milik Negara DAK Dana Alokasi Khusus DAS Daerah Aliran Sungai DAU Dana Alokasi Umum DBH Dana Bagi Hasil DPA Daftar Pengisian Anggaran Gerbang Emas Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Gerhan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gernas Gerakan Nasional. Bagian dari Gerakan Nasional Kakao Grateks-2 Gerakan Ekspor Dua Kali Lipat IPM Indeks Pembangunan Manusia KUA/PPA Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran LKPD Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LSM Lembaga Swadaya Masyarakat Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangungan P3KM Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen PAD Pendapatan Asli Daerah PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto PMA Penanaman Modal Asing PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri x Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 PUG Pengarusutamaan Gender PUN Program Udang Nasional Renja Rencana kerja Renstra Rencana Strategis RKA Rencana Kerja Anggaran RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah RMS Rasio Murid Sekolah RMG Rasio Murid Guru RPJMD/N Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/Nasional SKPD Satuan Kerja Perangkat Dinas SiLPA Sisa Lebih Perhitungan Anggaran SPPD/N Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah/Nasional TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah TKPKD Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPT Tingkat Pengangguran Terbuka UMKM Usaha Masyarakat Kecil Menengah UKL Upaya Pengelolaan Lingkungan UPL Upaya Pemantauan Lingkungan USD United States Dollar (Dollar Amerika Serikat) Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur xi Ringkasan Eksekutif 1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan Sulawesi Selatan semakin memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Indonesia. Provinsi ini terletak di tengah wilayah Indonesia dengan luas 45.764,53 kilometer persegi, jumlah penduduk 8.032.551 jiwa (2010), terdiri dari 21 kabupaten dan tiga kota. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi KTI melalui perhubungan laut (Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar), perhubungan darat (Kota Makassar sebagai titik awal jalur darat trans- Sulawesi kearah Sulawesi Utara), dan perhubungan udara (Bandar udara internasional Sultan Hasanuddin di Makassar). Provinsi ini juga berperan penting sebagai lumbung pangan nasional dan pusat perkembangan kakao di Indonesia. Sulawesi Selatan mengalami perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam lima tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pergeseran struktur PDRB, pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, perbaikan penanaman modal, penurunan angka kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, dalam kondisi pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Perkembangan ini berlangsung dalam kondisi membaiknya pelayanan publik, meningkatnya belanja pemerintah daerah, dan meningkatnya pembangunan infrastruktur. Kualitas manusia merupakan tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia, telah meningkat secara signifikan dan telah bergeser dari urutan 23 ke urutan 19 secara nasional. Capaian ini tetap membutuhkan perbaikan terus menerus, seperti halnya indikator sosial ekonomi yang lain guna mencapai kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Perekonomian Sulawesi Selatan didorong oleh sektor pertanian melalui komoditas unggulannya. Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian menyumbang 27 persen PDRB provinsi dan menyerap separuh tenaga kerja (2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih ditopang oleh produk primer dan sumber daya manusia di pertanian tradisional. Tantangan dalam mengelola komoditas unggulan seperti kakao, komoditas pangan (padi dan jagung), serta komoditas kelautan (perikanan dan rumput laut) harus dihadapi dengan berorientasi pada agro industri dan agribisnis. Konsistensi dan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran menunjukkan arah yang semakin membaik. Secara umum, alokasi anggaran pemerintah daerah sejalan dengan perencanaannya. Meski demikian, beberapa aspek perencanaan dan penganggaran masih perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada aspek penganggaran dibandingkan perencanaan dan konsistensinya. Beberapa inkonsistensi ditemukan pada tingkat yang berbeda, keterlambatan penyusunan RPJPD, dan masih adanya penetapan indikator dan target kinerja yang belum cermat. 2. Pendapatan dan Belanja Daerah Antara tahun 2005 hingga 2010, pendapatan pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) meningkat dua kali lipat, tetapi masih sangat bergantung pada transfer dari pusat.  Selama periode tersebut, pendapatan tumbuh sebesar 76 persen mencapai hampir Rp. 16 triliun. Pendapatan pemerintah kabupaten/kota tumbuh 11 persen per tahun, sementara pendapatan pemerintah provinsi tumbuh 9 persen per tahun. Transfer pusat menyumbang 76 persen pendapatan di Sulawesi Selatan, hingga mencapai Rp. 11 triliun pada tahun 2010. Hanya 7 persen dari pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara 58 persen pendapatan pemerintah provinsi berasal dari PAD. 2 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Ringkasan Eksekutif Sulawesi Selatan perlu meningkatkan kualitas komposisi anggarannya. Hampir separuh belanja pemerintah di Sulawesi Selatan (44 persen) digunakan untuk belanja pegawai, sementara belanja modal menghabiskan 26 persen dari total anggaran. Belanja terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke daerah bawahan (37 persen), belanja ini sebagian besar digunakan untuk Program Kesehatan Gratis dan Pendidikan Gratis. Belanja pendidikan mendominasi belanja pemerintah kabupaten/kota, sebesar 33 persen dari total belanja. Alokasi belanja untuk program-program terkait kesetaraan gender di Sulawesi Selatan juga masih rendah. 3. Kinerja Sektor Strategis Sektor Pendidikan Peningkatan belanja pendidikan diikuti pula dengan peningkatan capaian. Belanja pendidikan tumbuh sebesar 27 persen per tahun, di mana tiga perempatnya digunakan untuk belanja pegawai. Rasio guru-murid dan rasio sekolah-murid telah membaik di semua jenjang pendidikan. Angka melek huruf meningkat dari 85 (2005) menjadi 88 (2010), meskipun masih jauh tertinggal dari angka nasional, 93 (2010). Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih baik dibanding di kabupaten di mana Makassar, Palopo, dan Pare-pare memiliki angka yang tertinggi. Siswa perempuan cenderung memiliki lama sekolah yang lebih sedikit ketimbang siswa laki-laki, meskipun angka partisipasi sekolah perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bawa Sulawesi Selatan menghadapi tantangan dalam penyediaan layanan pendidikan di pedesaan dan kepada siswa perempuan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan sinergi provinsi dengan kabupaten/kota dalam pembiayaan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota dalam bersinergi membiayai pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis, sesuai dengan tujuannya, telah meringankan beban anak usia sekolah yang sudah mengakses pendidikan, meskipun belum efektif menarik yang belum terjangkau untuk masuk ke bangku sekolah. Kebijakan ini telah memenuhi amanah untuk memenuhi hak dasar rakyat atas akses pendidikan, khususnya penduduk usia sekolah yang telah mengakses bangku sekolah, tetapi belum mendorong secara efektif anak usia sekolah yang terhalang ke sekolah karena membantu mencari nafkah keluarga atau karena faktor geografis. Sektor Kesehatan Indikator dasar kesehatan membaik seiring dengan peningkatan belanja kesehatan. Belanja kesehatan di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,7 triliun, di mana 48 persennya digunakan untuk belanja pegawai. Proporsinya terhadap total belanja tidak berubah (9 persen). Beberapa perbaikan telah dicapai. Rasio fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan per 10.000 penduduk meningkat dari 2,2 (2005) menjadi 2,7 (2009) dan dari 15 (2005) menjadi 16,5 (2009). Angka harapan hidup meningkat dari 70,2 (2007) menjadi 70,8 (2010), mendekati angka nasional sebesar 70,9. Angka kematian bayi berhasil diturunkan dari 30 (2005) menjadi 26,6 (2009) per 1.000 kelahiran. Angka kematian ibu turun dari 133 (2006) menjadi 118 (2009) per 100.000 kelahiran. Kebijakan kesehatan gratis, telah berhasil membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Kebijakan kesehatan gratis juga berkontribusi terhadap perluasan cakupan layanan kesehatan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, dan perluasan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Namun kebijakan kesehatan gratis tampak lebih menekankan pada pemberian layanan dan pengobatan penyakit (bersifat jangka pendek) dan belum menyentuh investasi kesehatan secara jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 3 Sektor Infrastruktur Peningkatan belanja infrastruktur juga meningkatkan peran Makassar dalam konektivitas, khususnya di kawasan timur Indonesia. Belanja infrastruktur Sulawesi Selatan tumbuh secara substansial menjelang pembangunan bandar udara baru. Di tahun 2010, belanja infrastruktur mencapai Rp. 2,5 triliun, atau 15 persen dari total belanja. Lebih dari 85 persennya dibelanjakan pada tingkat kabupaten/kota. Sulawesi Selatan memiliki aksesibilitas yang terbaik di kawasan timur Indonesia. Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar melayani hampir semua jalur penerbangan udara yang menuju kawasan timur Indonesia. Pelabuhan laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar adalah pelabuhan peti kemas yang terbesar di KTI. Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan berat. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat. Sektor Pertanian Belanja pertanian meningkat dua kali lipat, walaupun kontribusinya terhadap perekonomian menurun. Belanja pertanian tumbuh sebesar 24 persen per tahun, mencapai Rp. 491 miliar pada tahun 2010. Separuh dari belanja pertanian dialokasikan untuk belanja pegawai. Sulawesi Selatan tetap menjadi lumbung pangan nasional, dengan komoditas utama seperti beras, jagung, ternak, rumput laut, dan kakao. Komoditas tersebut diproyeksikan mampu memenuhi target produksi masing-masing pada tahun 2013. Terlepas dari hal itu, kontribusi pertanian terhadap PDRB turun dari 31 persen (2005) menjadi 28 persen (2009), meski demikian pertanian masih menjadi penyumbang terbesar PDRB di Sulawesi Selatan. 4. Gender dan Isu Strategis Lainnya Performa Sulawesi Selatan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan indikator gender cukup baik. Angka kemiskinan turun dari 15 persen di tahun 2006 menjadi 12 persen di tahun 2010, sebanyak 87 persen masyarakat miskin tinggal di pedesaan. Indeks pembangunan gender (IPG) meningkat dari tahun ke tahun, dari 50 di tahun 2005 menjadi 54 di tahun 2009. Indeks pemberdayaan gender (IDG) meningkat dari 57,4 (2005) menjadi 61,2 (2009). Perbaikan ini perlu dipertahankan, terlebih dikarenakan keberlanjutan program-program terkait gender masih kurang, dan belum konsisten dalam penganggarannya. 5. Rekomendasi Pembangunan Meningkatkan kualitas anggaran lewat perencanaan dan komposisi anggaran yang lebih baik Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian serius pada penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran melalui peningkatan kompetensi aparat tenaga perencana dan pengelola keuangan daerah serta menciptakan kesepahaman persepsi di kalangan para stakeholder pembangunan daerah mengenai proses dan mekanisme perencanaan dan penganggaran. Secara spesifik, pemerintah daerah perlu lebih fokus memberi perhatian pada penyediaan dokumen dan peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran tahunan, baik pada level daerah dan terutama pada tingkat SKPD. 4 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Ringkasan Eksekutif Meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang bersumber dari PAD. Meskipun penerimaan daerah yang bersumber dari PAD memperlihatkan nilai riil yang meningkat, namun kontribusinya terhadap total penerimaan daerah masih lebih kecil dibandingkan dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Untuk itu, upaya peningkatan PAD masih perlu terus dilakukan melalui: (i) pengkajian dan perluasan potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (meskipun nilainya) kecil dengan tetap memperhatikan undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru; (ii) perbaikan sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran; dan (iii) pelatihan aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi. Memperbaiki komposisi dan kualitas alokasi belanja pemerintah untuk sektor-sektor strategis dan gender. Porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah mendominasi jenis belanja lainnya, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Proporsi alokasi belanja untuk sektor strategis (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian) masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pemerintahan umum. Demikian halnya, alokasi belanja untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga masih rendah. Beberapa upaya untuk memperbaiki komposisi dan kualitas belanja pemerintah daerah adalah: (i) melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) dalam 2 - 3 tahun kedepan; (ii) sekiranya harus merekrut pegawai baru, harus diprioritaskan pada pegawai teknis seperti tenaga akuntan, tenaga guru, tenaga kesehatan dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai yang pensiun; (iii) meningkatkan proporsi alokasi belanja untuk sektor kesehatan dan pertanian serta sektor-sektor terkait dengan fungsi ekonomi, (iv) meningkatkan komitmen penentu kebijakan dalam pengimplementasian pengarusutamaan gender; dan (v) merumuskan program dan kegiatan strategis yang responsif gender yang disertai dengan peningkatan alokasi anggaran. Meningkatkan kualitas layanan dasar untuk memperbaiki kualitas capaian Memperbaiki indikator-indikator komposit IPM, terutama indikator pendidikan. Rendahnya angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah berkontribusi besar terhadap rendahnya capaian IPM Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih dengan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf serta mengupayakan peningkatan akses penduduk terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan lokus wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa. Sedangkan upaya peningkatan rata-rata lama sekolah diarahkan pada kabupaten dengan kinerja jauh di bawah rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, Wajo, dan Takalar. Menajamkan alokasi anggaran kesehatan pada investasi kesehatan yang berdimensi jangka panjang. Kebijakan kesehatan selama ini yang lebih bertumpu pada pengobatan (tindakan kuratif ) dengan dimensi jangka pendek perlu diimbangi dengan upaya pencegahan (tindakan preventif ) dengan dimensi jangka panjang. Tindakan-tindakan dimaksud dapat berupa imunisasi, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih. Investasi kesehatan semacam ini potensial meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dalam jangka panjang dan memperbaiki indikator kesehatan IPM secara berkelanjutan. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar. Meskipun secara relatif, infrastruktur dasar (sanitasi, air bersih, dan listrik) di Sulawesi Selatan menempati urutan terbaik kedua di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Utara, namun jika dibandingkan dengan angka nasional, capaian indikator tersebut masih relatif lebih rendah. Pembangunan sanitasi dan peningkatan akses air bersih perlu mendapat perhatian, terutama di kabupaten dengan tingkat capaian yang rendah. Sedangkan untuk peningkatan akses listrik, meskipun kewenangan penyediaan listrik masih melekat di pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu terus mendorong upaya peningkatan kapasitas energi listrik di Sulawesi Selatan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 5 Pembangunan sektor pertanian harus tetap menempatkan peningkatan nilai tambah komoditas unggulan sebagai prioritas utama. Komoditas beras dan jagung harus diarahkan pada perbaikan kualitas melalui pengembangan produk organik. Pengembangan produk pertanian organik dapat dilakukan melalui intergrasi dengan pengembangan ternak. Integrasi padi dan jagung dengan ternak sapi akan menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya produksi ketiga komoditas tersebut dapat ditekan dan akan didapatkan kualitas dan tingkat harga produk yang lebih baik. Untuk komoditas udang, pengembangan udang organik dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan agar kegiatan budidaya udang dapat lestari dan berkelanjutan. Sedangkan pengembangan komoditas kakao dan rumput laut seyogyanya diarahkan untuk menghasilkan produk olahan yang siap dikonsumsi. Memperbaiki indikator pembentuk IPG dan IDG. Dengan mencermati indikator capaian IPG, penyumbang terbesar rendahnya IPG terutama disebabkan oleh rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan laki-laki dan rendahnya angka melek huruf laki-laki dan perempuan. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan terutama terjadi di wilayah pesisir. Upaya untuk lebih meningkatkan peran perempuan baik terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maupun berkiprah di ruang publik, perlu dilakukan beberapa hal seperti: (i) melakukan pendampingan pengelolaan usaha kaum perempuan dan laki-laki untuk meningkatkan kontribusi pendapatan mereka dalam rangka meningkatkan IDG dan IPG; (ii) membina pendidikan keaksaraan fungsional; (iii) Melakukan sosialisai secara intensif dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun dan 12 Tahun yang responsif gender; dan (iv) melakukan pembinaan dan pendampingan kepada perempuan pesisir dalam hal teknis dan manajemen usaha. 6 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Ringkasan Eksekutif Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 7 Bab 1 Pendahuluan 1.1 Perkembangan Daerah Sulawesi Selatan memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan wilayah Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia. Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada titik tengah wilayah Indonesia dengan luas wilayah 45.764,53 km persegi. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi daerah Sulawesi lainnya bahkan KTI melalui perhubungan laut (Pelabuhan Soekarno- Hatta), darat (titik awal trans-Sulawesi) dan udara (Bandara Sultan Hasanuddin). Dimasa lalu, Makassar merupakan pelabuhan internasional baik sebelum maupun pada jaman penjajahan, dan ketika Provinsi Sulawesi terbentuk pada jaman kemerdekaan, Makassar menjadi ibu kota provinsi tersebut. Dengan demikian, dari rentang waktu masa lalu hingga masa kini, posisi sebagai pintu gerbang Sulawesi dan KTI, bahkan posisi sebagai center point of Indonesia, melekat pada provinsi ini. Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (Center Point of Indonesia) Sumber: Peta olahan staf Bank Dunia, 2011. Sulawesi Selatan termasuk daerah yang mengalami pemekaran wilayah secara signifikan pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Sulawesi Selatan awalnya merupakan hasil pemekaran Provinsi Sulawesi pada tahun 1950-an menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara selanjutnya mekar menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat gelombang desentralisasi dan otonomi daerah bergulir di Indonesia pada 2000-an; Provinsi Sulawesi Selatan mengalami pemekaran kabupaten melalui pemecahan Kabupaten Luwu menjadi Kabupaten Luwu sendiri, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur; selain itu Kabupaten Polewali Mamasa termekarkan menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa; serta Kabupaten Mamuju mekar menjadi Kabupaten Mamuju sendiri dan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun 2004, Provinsi Sulawesi Selatan mekar dan melahirkan Provinsi Sulawesi Barat yang didalamnya tergabung Kabupaten Polewali 10 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Pada dasarnya acuan pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada publik, maka demikian pula Sulawesi Selatan sangat berhasrat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat luas di wilayah ini. 1.2 Kondisi Perekonomian Daerah Perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif namun terus meningkat dengan pencapaian di atas rata-rata nasional. Sebagaimana ditunjukkan dalam kurun waktu 2005-2010, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, namun dengan laju yang lebih tinggi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam tahun- tahun terakhir ini menjadikan perekonomian wilayah ini akan memburu ketertinggalannya. Disamping itu, dengan pertumbuhan tinggi tersebut, Sulawesi Selatan diharapkan mampu menghela perekonomian wilayah Pulau Sulawesi dan KTI. Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional 9 8 8,08 7,78 6,8 7 6,84 6,72 6 6,1 6,2 5,7 5,9 5,2 5,19 Persen 5 4,5 4 3 2 1 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sulsel Indonesia Sumber: Diolah dari data BPS. PDRB Sulawesi Selatan menurut lapangan usaha ditandai oleh pertumbuhan nilai yang signifikan dan masih didominasi oleh sektor pertanian. Nilai PDRB Sulawesi Selatan tumbuh signifikan selama periode 2005-2010, tetapi transformasi struktur perekonomian belum berjalan signifikan. Ini ditandai oleh masih tertingginya kontribusi bidang usaha pertanian dibanding bidang usaha lainnya terhadap PDRB meskipun pertumbuhannya sudah relatif melambat. Di sisi lain, kontribusi bidang usaha industri pengolahan masih kecil dan pertumbuhannya juga lambat. Lambatnya transformasi pertanian menuju industri di Sulawesi Selatan disebabkan oleh kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang memang lebih mengutamakan pertanian dibanding industri mengingat posisi provinsi ini sebagai lumbung pangan nasional. Transformasi perekonomian dari pertanian ke industri yang berjalan lambat tersebut, berakibat pada lambatnya penyerapan tenaga kerja di industri. Lambatnya pergeseran dari pertanian ke industri pada struktur PDRB Sulawesi Selatan berimplikasi pada lambatnya pergeseran serapan tenaga kerja dari pertanian ke industri manufaktur. Ini mengakibatkan transformasi sumber daya manusia dari ciri sosial- ekonomi tani-tradisional menjadi industrial-modern juga berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh kurang berkembangnya agroindustri, hasil-hasil tani lebih banyak terpasarkan dalam bentuk produk primer. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 11 Kebijakan untuk mendorong agroindustri yakni “petik-olah-jual�, “gerakan ekspor dua kali lipat/Grateks-2�, “Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)� dan “pengembangan industri lokal� telah dijalankan dalam 20 tahun terakhir tetapi dampaknya belum signifikan. Dengan kurang berkembangnya agroindustri, masyarakat perdesaan tidak memiliki wahana sosial-ekonomi untuk beralih dari pertanian tradisional ke industri terlatih/terdidik, dan ini berarti pula bahwa sumber daya manusia perdesaan tidak memiliki wahana pembelajaran untuk transformasi kapasitas dari menjadi tenaga kerja yang lebih terlatih atau terdidik. Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 11.337,55 11.802,56 12.181,82 12.923,42 13.528,69 13.809,80 2 Pertambangan dan Penggalian 3.649,05 3.891,34 4.157,15 4.034,94 3.852,79 4.491,34 3 Industri Pengolahan 5.112,43 5.481,51 5.741,39 6.241,44 6.468,79 6.869,43 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 342,43 368,27 400,88 451,00 490,45 529,82 5 Bangunan 1.712,29 1.787,87 1.942,09 2.328,42 2.656,77 2.900,27 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.386,35 5.770,90 6.322,43 7.034,56 7.792,10 8.698,81 7 Pengangkutan dan Komunikasi 2.757,78 2.945,64 3.244,61 3.651,37 4.023,68 4.619,93 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 2.152,68 2.340,47 2.610,48 2.881,07 3.203,98 3.742,09 9 Jasa-jasa 3.970,80 4.479,10 4.731,58 5.003,60 5.308,83 5.535,55 PDRB DENGAN MIGAS 36.421,36 38.867,66 41.332,43 44.549,82 47.326,08 51.197,03 Sumber: Diolah dari data BPS. Catatan: Angka dalam miliar rupiah. PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan penggunaan ditandai oleh dominasi konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selama periode 2005-2010 penggunaan PDRB Sulawesi Selatan signifikan untuk konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, sementara konsumsi swasta masih sangat rendah. Ini berarti pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan masih lemah dari sisi peran dunia usaha dan entrepreneurship yang mengkondisikan inovasi-teknologi dan efektivitas-efisiensi. Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Konsumsi Rumahtangga 20.707,93 22.145,28 22.263,51 24.344,17 25.877,60 27.475,81 2 Konsumsi Lembaga Swasta 222,64 236,58 259,66 274,58 316,43 341,38 Konsumsi Pemerintah dan 3 5.427,12 5.834,15 6.075,87 6.740,98 7.087,11 7.466,20 Pertahanan Pembentukan Modal Tetap 4 6.168,58 6.304,06 6.973,39 8.414,11 9.783,91 11.142,66 Bruto 5 Perubahan Stok 407,04 200,53 332,84 649,62 734,74 64,13 Ekspor Luar Negeri dan Antar 6 15.019,83 15.629,99 19.988,89 19.706,96 15.656,04 23.535,45 Pulau Impor dari Luar Negeri dan 7 11.531,36 11.482,91 15.561,74 15.580,60 12.141,81 18.828,59 Antar Pulau PDRB 36.421,79 38.867,68 41.332,43 44.549,82 47.314,02 51.197,03 Sumber: Diolah dari data BPS. Catatan: Angka dalam miliar rupiah. 12 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan PDRB per kapita di Sulawesi Selatan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. Kabupaten dengan PDRB per kapita tertinggi adalah Luwu Timur yang terdampak dengan nilai kontribusi pertambangan nikel. Secara nominal, nilai PDRB Kota Makassar adalah yang tertinggi di Sulawesi Selatan, tetapi PDRB per kapitanya berada di urutan kedua, dengan nilai separuh dari PRDB per kapita Luwu Timur. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara Luwu Timur dengan kabupaten/kota lainnya, PDRB per kapita terendah di provinsi terdapat di Jeneponto yang nilainya sepersepuluh dari Luwu Timur. Kabupaten Pangkep yang juga memiliki pertambangan semen berada di posisi ketiga. Ini memperlihatkan bahwa sektor pertambangan tidak terbarukan memegang peranan besar dalam PDRB kabupaten/kota. Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Luwu Timur 19,5 19,6 20,2 19,2 17,9 20,3 Makassar 8,8 9,3 9,9 10,9 11,6 12,1 Pangkep 6,6 6,8 7,2 7,6 7,9 8,2 Pinrang 5,6 5,8 6,1 6,4 6,8 7,2 Wajo 5,0 5,2 5,5 5,9 6,1 6,4 Palopo 5,1 5,2 5,4 5,6 5,9 6,2 Pare Pare 4,6 4,9 5,3 5,6 6,0 5,9 Sidrap 4,5 4,9 5,1 5,5 5,8 5,6 Soppeng 3,9 4,2 4,4 4,7 5,0 5,4 Luwu Utara 3,7 3,9 4,1 4,3 4,5 5,3 Luwu 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,1 Sinjai 3,6 3,8 4,0 4,3 4,5 4,7 Bone 3,3 3,5 3,7 4,0 4,2 4,5 Bulukumba 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2 4,4 Barru 3,5 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4 Bantaeng 3,2 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2 Enrekang 3,2 3,3 3,4 3,6 3,8 4,0 Kep. Selayar 3,0 3,0 3,2 3,3 3,5 3,8 Maros 3,0 3,1 3,2 3,4 3,5 3,6 Takalar 2,7 2,8 3,0 3,1 3,3 3,4 Tana Toraja 2,4 2,4 2,5 1,3 2,6 3,0 Gowa 2,4 2,5 2,6 2,7 2,9 2,9 Jeneponto 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6 Sumber: Diolah dari data BPS. Catatan: Kabupaten Toraja Utara yang baru mekar tahun 2008 tidak diikutsertakan. Angka dalam tabel adalah dalam juta rupiah. PDRB per kapita memperlihatkan peningkatan yang relatif stabil, namun masih berada jauh di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2006, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan mencatat angka Rp 8 juta, dan kemudian meningkat menjadi Rp 12,6 juta pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata 19 persen per tahun. Namun angka ini masih jauh di bawah angka nasional. Laju pertumbuhan pendapatan per kapita nasional pun bergerak lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan per kapita Sulawesi Selatan. Nasional bergerak dengan rata-rata 20,5 persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya 19,4 persen per tahun. Kondisi ini secara implisit mengesankan: (i) secara rata-rata, provinsi lainnya Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 13 mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan; (ii) pendapatan per kapita Sulawesi Selatan akan terus berada di bawah angka nasional dengan jarak (gap) yang semakin lebar; dan (iii) di masa depan, kontribusi pendapatan per kapita Sulawesi Selatan terhadap perbaikan posisi relatif IPM, sulit diharapkan. Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional 30 26,90 25 24 22 20 Rp. Juta 18 15 15 14,67 13 10 11 8 9 5 0 Sumber: Diolah dari data BPS, Tahun 2009 angka sementara; tahun 2010 angka sangat sementara. Laju inflasi perekonomian Sulawesi Selatan Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi cukup tinggi dengan komponen utama harga Selatan dan Nasional, 2005-2010 bahan makanan dan sandang. Laju inflasi Sulawesi 18 17,11 Selatan berfluktuasi mengikuti tren inflasi nasional. 16 Inflasi nasional tahun 2005 salah satunya diakibatkan 14 kenaikan harga bahan bakar, tampak tidak terlalu 11,79 mempengaruhi inflasi Sulawesi Selatan. Komponen 12 11,06 tertinggi pembentuk inflasi Sulawesi Selatan adalah 10 Persen 7,45 pangan dan sandang. Kondisi ini menjadikan 8 7,21 6,59 6,96 6,60 6,82 pendapatan per kapita masyarakat selalu berkorelasi 5,71 6 dengan daya beli yang turun karena direduksi oleh 4 3,24 inflasi yang cukup tinggi tersebut. 2,78 2 Kondisi investasi Sulawesi Selatan berfluktuasi 0 tetapi cenderung meningkat dalam dua tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 terakhir. Meskipun terjadi fluktuasi dalam hal jumlah Indonesia Sulsel investor dan nilai investasi, dalam tiga tahun terakhir Sumber: Diolah dari data BPS. terdapat kecenderungan perbaikan pada investasi di Sulawesi Selatan, baik dalam Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Lapangan usaha yang banyak menyerap PMDN adalah pertanian, peternakan, industri makanan, bangunan serta pengangkutan dan telekomunikasi; sedangkan yang menyerap PMA adalah pertanian, perkebunan, industri makanan, industri kayu, listrik, gas dan air bersih serta bangunan. Hal ini terkait dengan daya saing daerah yang semakin membaik khususnya dalam hal keamanan, selain itu pelayanan investasi tingkat provinsi dan kabupaten/ kota juga mengalami kemajuan, sementara promosi investasi terus didorong. 14 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 Tahun Nilai PMDN (Ribu Rp) Nilai PMA (US $) 2010 3.212.295.181 441.796.125 2009 1.137.863.414 76.982.850 2008 110.524.937 27.696.510 2007 244.670.640 141.430.870 2006 2.362.627.000 679.965.000 2005 940.544.000 53.558.000 Sumber: Diolah dari data BPS. 1.3 Kondisi Demogra� dan Ketenagakerjaan Kondisi demografi Sulawesi Selatan ditandai pertumbuhan penduduk yang positif dan populasi yang terus bertambah. Dalam enam tahun terakhir pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan rata-rata di atas satu persen kecuali pada tahun 2007 (0,92 persen). Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan rata-rata sebesar 1,3 persen. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sulawesi Selatan mencapai 8 juta jiwa, terdiri atas 3,9 juta penduduk laki-laki dan 4,1 juta penduduk perempuan. Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen 8.100.000 8.032.551 8.000.000 7.908.519 7.900.000 7.805.024 7.800.000 7.700.255 Jiwa 7.700.000 7.595.000 7.600.000 7.489.696 7.500.000 7.400.000 7.300.000 7.200.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Diolah dari data BPS. Catatan: 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk. Penduduk usia produktif lebih besar dibanding usia tidak produktif dan populasi perempuan lebih besar dari populasi laki-laki. Pada tahun 2009, jumlah penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 14 tahun ditambah usia diatas 65 tahun) sebesar 2,9 juta jiwa (36 persen dari populasi), sementara jumlah penduduk usia produktif (usia 15 sampai 64 tahun) sebesar 5 juta jiwa (64 persen dari populasi). Rasio beban tanggungan sebesar 0,57 yang berarti satu orang usia tidak produktif ditanggung oleh dua orang usia produktif. Jumlah perempuan usia produktif lebih besar dari laki-laki usia produktif, yang berarti jumlah perempuan pada angkatan kerja di Sulawesi Selatan lebih besar. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 15 Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009 Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin 0-4 375.198 352.040 727.238 106,58 5-9 447.014 407.851 854.865 109, 60 10-14 431.498 409.938 841.437 105, 26 15-19 351.712 362.508 714.220 97, 02 20-24 291.052 309.477 600.529 94, 05 25-29 301.980 343.087 645.067 88, 02 30-34 275.764 311.959 587.723 88, 40 35-39 296.539 327.183 623.722 90, 63 40-44 237.824 266.303 504.127 89, 31 45-49 210.957 228.271 439.227 92, 42 50-54 168.401 195.258 363.660 86, 25 55-59 135.327 144.647 279.973 93, 56 60-64 106.189 144.438 250.627 73, 52 65+ 207.515 268.586 476.104 77, 26 Total 3.836.971 4.071.548 7.908.519 94, 24 Sumber: Diolah dari data BPS. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) terus meningkat dibalik pertumbuhan angkatan kerja yang fluktuatif. Pada tahun 2010, TPAK mencapai 64 persen ketika angkatan kerja sebesar 3,6 juta jiwa dari 5,6 juta jiwa penduduk usia kerja. Angka ini meningkat dari kondisi 2005 dimana TPAK sebesar 54 persen ketika angkatan kerja hanya 3,2 juta jiwa dan penduduk usia kerja sebanyak 6 juta jiwa. Peningkatan TPAK ini lebih disebabkan oleh kecenderungan penduduk usia produktif untuk memasuki dunia kerja dibanding masuk bangku sekolah mengingat porsi TPAK cukup banyak pada usia 15-20 tahun. Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010 66 64,14 64 62,48 62,02 62 61,07 60 Persen 58 57,17 56 54,20 54 52 50 48 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Data BPS. 16 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan Terdapat kesenjangan antara TPAK perempuan dengan TPAK laki-laki. TPAK perempuan di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 hanya 45 persen sementara TPAK laki-laki sebesar 82 persen. Kondisi ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun 2000 di mana TPAK perempuan hanya sebesar 28 persen sedang laki-laki 70 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun telah terjadi perbaikan tetapi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam akses lapangan kerja masih jauh dari ideal. Mayoritas angkatan kerja masih terserap di sektor pertanian meskipun persentasenya cenderung menurun. Pada tahun 2009, angkatan kerja yang bekerja pada bidang usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan mencapai 49 persen turun dari 55 persen pada tahun 2005. Porsi ini sangat besar dibanding serapan tenaga kerja bidang usaha lain, terutama industri pengolahan yang hanya 7 persen pada tahun 2009 dan hanya sedikit meningkat dari 6 persen pada tahun 2005. Bertahannya tenaga kerja pada sektor pertanian terutama dikontribusi oleh berkembangnya aktivitas budidaya rumput laut, revitalisasi kakao yang, serta agribisnis jagung yang menyerap tenaga kerja perdesaan atau pesisir, selain yang secara tradisional telah diserap oleh kegiatan padi sawah. Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi Selatan, 2005-2009 No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian, Kehutanan, 1.678.884 1.469.418 1.580.962 1.613.949 1.588.626 1. Perburuan dan (54,70%) (55,76%) (53,78%) (51,46%) (49,30%) Perikanan 197.729 128.966 147.391 183.430 214.668 2. Industri Pengolahan (6,44%) (4,89%) (5,01%) (5,85%) (6,66%) Perdagangan Besar, 457.530 439.047 566.397 578.961 636.714 3. Eceran, Rumah Makan (14,91%) (16,66%) (19,27%) (18,46%) (19,76%) dan Hotel Jasa Kemasyarakatan, 361.471 302.040 170.135 352.573 362.460 4. Sosial dan Perorangan (11,78%) (11,46%) (5,79%) (11,24%) (11,25%) 373.607 295.943 374.578 407.198 419.788 5. Lainnya* (12,17%) (11,23%) (12,74%) (12,98%) (13,03%) 3.069.221 2.635.414 2.939.463 3.136.111 3.222.256 Jumlah (100%) (100%) (100%) (100%) (100%) Sumber: Diolah dari data BPS. Lainnya*: Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan. Dari total tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan, hampir setengahnya bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan mencapai 1,1 juta orang atau 88 persen dari total angkatan kerja perempuan. Proporsi ini sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 yang baru mencapai 71 persen. Peningkatan ini menunjukkan semakin besarnya keterlibatan perempuan dalam berbagai jenis pekerjaan. Jika diamati berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti perempuan, tampak bahwa sektor pertanian masih sangat dominan (48 persen), disusul sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (30 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perseorangan (12 persen). Di Sulawesi Selatan, hampir tidak ditemukan perempuan yang bekerja di sektor listrik, gas, dan air minum. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 17 Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan 0,96% Pertambangan dan Penggalian 12,32% 2,44% Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Minum 47,96% Konstruksi 29,91% Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Lembaga Keuangan, Real Estat, Usaha 5,56% Persewaan, dan Jasa Perusahaan 0,45% Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 0,00% 0,39% Sumber: Diolah dari Sakernas 2009. Tingkat Pengangguran Terbuka Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi (TPT) di Sulawesi Selatan cenderung Selatan dan Nasional, 2005-2010 terus menurun. Meskipun TPT di 20 18,64 Sulawesi Selatan masih lebih tinggi 18 dibandingkan dengan angka nasional, 16 namun penurunannya berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan nasional. 14 12,76 Penurunan TPT ini menunjukkan adanya 12 10,30 10,40 11,25 Persen perbaikan pada penyerapan tenaga 9,75 10 9,04 8,74 kerja. Angka pengangguran tersebut 8,39 7,87 8,37 terutama diisi oleh penganggur terbuka 8 7,14 usia 15-24 tahun, yakni sekitar 20 persen. 6 Meskipun terjadi penurunan, kondisi 4 ini harus menjadi perhatian karena pengangguran usia muda berarti bahwa 2 banyak penduduk usia sekolah yang yang 0 terpaksa masuk dunia kerja. 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia Sulsel Sumber: Badan Pusat Statistik. 1.4 Kondisi Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan, dan telah mencapai kategori nilai IPM “menengah atas�. Peningkatan IPM adalah visi utama RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Pada tahun 2008 angka IPM Sulawesi Selatan telah memasuki kategori “menengah atas� (di atas nilai 70), dan dalam perkembangannya selama 2006-2010 angka tersebut telah meningkat sebesar 3,44 point, yang merupakan peningkatan tertinggi ketiga secara nasional, sesudah Lampung dan Papua Barat. Bahkan pada tahun 2008-2009 peningkatan IPM Sulawesi Selatan paling tinggi di Indonesia. Meningkatnya nilai 18 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan IPM Sulawesi Selatan selama periode 2006-2010 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang meningkat secara signifikan serta inflasi yang relatif terkendali telah mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Kedua, perbaikan pada bidang pendidikan, yakni angka melek huruf penduduk yang meningkat dari 85,7 persen pada 2006 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010; begitu pula angka rata-rata lama sekolah yang meningkat dari 7 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Ketiga, perbaikan pada bidang kesehatan, dimana angka harapan hidup naik dari 69,2 tahun pada tahun 2006 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010. IPM Sulawesi Selatan juga menunjukkan perbaikan posisi secara nasional, namun masih angkanya jauh dari target RPJMD. Pada tahun 2006 Sulawesi Selatan berada pada posisi 23 dari 33 provinsi di Indonesia, kemudian naik ke peringkat 19 pada tahun 2010. Apabila diasumsikan IPM meningkat dengan tren yang sama, maka pada akhir periode RPJMD (tahun 2013) peringkat paling tinggi yang bisa dicapai oleh Sulawesi Selatan adalah posisi 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Posisi ini masih relatif jauh dari target RPJMD, yaitu masuk dalam kelompok 10 besar provinsi dalam hal pemenuhan hak dasar masyarakat yang salah satu indikatornya adalah IPM. Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD 74 73,40 73 72,25 71,76 72 71,17 70,59 70,94 71 70,10 70,22 70 69,62 68,81 69 68 67 66 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Menkokesra, UNDP. Tidak signifikannya peningkatan peringkat IPM Sulawesi Selatan secara nasional disebabkan oleh akselerasi nilai IPM yang tidak cukup cepat. Bahkan beberapa komponen pembentuk IPM menunjukkan nilai yang lebih rendah serta peningkatan yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan capaian nasional. Misalnya, angka melek huruf secara nasional pada tahun 2009 sudah mencapai 92,6 persen, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 87 persen. Rata-rata lama sekolah secara nasional sudah mencapai 7,7 tahun, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 7,4 tahun. Kedua indikator tersebut juga mengalami pergerakan yang relatif lambat dibandingkan dengan nasional. Akibatnya, peran dan kontribusinya terhadap peningkatan IPM Sulawesi Selatan relatif kecil. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 19 Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di Indonesia Tahun 2009 80 75 71,76 70,94 70 65 60 55 Sumber: Badan Pusat Statistik. 1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Pembangunan jangka panjang (2005-2025) Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi sebagai wilayah terkemuka di Indonesia dengan mengandalkan kemandirian lokal dan bernafas keagamaan. Visi ini selain menunjukkan kondisi yang dituju yakni terkemuka dalam berbagai indikator pembangunan, juga menunjukkan cara mencapainya yakni mengandalkan potensi lokal, serta menunjukkan landasan nilai atas hubungan antara tujuan yang mau dicapai dan cara mencapainya yakni bernafas keagamaan. Arah umum pembangunan jangka panjang ini, selain berkontribusi terhadap arah umum jangka panjang pembangunan nasional, juga menjadi payung bagi arah umum jangka penjang pembangunan kabuten/kota di Sulawesi Selatan, dalam suatu konsistensi misi dan kebijakan umum untuk mengoperasionalkannya. Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan Keagaman Visi 2005-2025: Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Terkemuka di Indonesia dengan pendekatan kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan Misi Kebijakan Umum 1. Mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi 1. Mengupayakan peningkatan kualitas manusia Selatan. Sulawesi Selatan. 2. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas 2. Menjadikan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pembelajar. komunitas pembelajar. 3. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang 3. Mengupayakan Sulawesi Selatan sebagai wilayah kondusif. yang kondusif. 4. Mewujudkan Sulawesi Selatan satu kesatuan sosial 4. Menjadikan wilayah Sulawesi Selatan sebagai satu ekonomi yang berkeadilan. kesatuan sosial-ekonomi yang berkeadilan. 5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai 5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional. memperkuat ketahanan nasional Sumber: RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025. 20 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 1 Pendahuluan Pembangunan jangka menengah Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi Sulawesi Selatan sebagai 10 besar di Indonesia dalam pemenuhan hak dasar. Itu berarti bahwa pada periode 2008-2013, visi terkemuka secara jangka panjang diterjemahkan pada fokus untuk terkemuka dalam hal pemenuhan hak dasar masyarakat secara jangka menengah. Visi ini difokuskan indikatornya pada akselerasi proses pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Selatan. Misi dan kebijakan umum pembangunan jangka menengah Sulawesi diarahkan bagi perwujudan visi tersebut. Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia Visi 2008-2013: Sulawesi Selatan Sebagai Provinsi Sepuluh Terbaik dalam Pemenuhan Hak Dasar Misi Kebijakan Umum 1. Meningkatkan kualitas pelayanan untuk 1. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan pemenuhan hak dasar masyarakat. masyarakat. 2. Mengakselerasi laju peningkatan dan pemerataan 2. Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan kesejahteraan melalui penguatan ekonomi berbasis masyarakat. masyarakat. 3. Mewujudkan keunggulan lokal untuk memicu laju 3. Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi wilayah  pertumbuhan  perekonomian. 4. Menciptakan iklim kondusif bagi ke-hidupan yang 4. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas inovatif. sosial ekonomi yang berkeadilan. 5.  Penciptaan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif. 5. Menguatkan kelembagaan dalam perwujudan 6. Penguatan kelembagaan masyarakat. tatakelola yang baik.  7. Penguatan kelembagaan pemerintah.  Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 21 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Keterkaitan dan konsistensi perencanaan pembangunan daerah dan penganggaran (APBD) berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Selain melakukan analisis isi (content analysis) pada sejumlah dokumen perencanaan pembangunan, juga dilakukan analisis pada proses dan mekanisme penyusunan dan implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah pada setiap tingkatan pemerintahan. Analisis isi, proses dan mekanisme tersebut dicermati mulai dari perencanaan pembangunan jangka menengah tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/kota, hingga pada perencanaan dan penganggaran tahunan tingkat provinsi serta kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Selain itu, disajikan gambaran umum pengelolaan keuangan daerah. 2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah Periode waktu yang berbeda menjadi salah satu kendala dalam sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Hal ini terlihat pada periode RPJMN 2004-2009 yang memiliki intercept waktu yang singkat dengan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Artinya, awal periode RPJMD 2008- 2013 berada pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Periode waktu yang lama justru nampak pada RPJMN periode 2010-2014, tetapi tidak dapat dikatakan RPJMD memperhatikan RPJMN tersebut karena RPJMD terbit lebih awal daripada RPJMN 2010-2014. Pemerintah Provinsi perlu untuk lebih ketat lagi mengevaluasi RPJMD kabupaten/kota sebelum disahkan agar secara substansi telah merujuk kepada RPJMD Provinsi. Demikian pula dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Bappenas dalam konteks mengevaluasi keterkaitan atara RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan Agenda Pembangunan pada Agenda Pembangunan pada RPJMN 2004-2009 RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 � Mewujudkan Indonesia yang aman dan � Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif damai � Mewujudkan Indonesia yang adil dan � Penguatan kelembagaan masyarakat; demokratis � Penguatan kelembagaan pemerintahan. � Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat; � Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat; � Meningkatkan Kesejahteraan � Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju Masyarakat pertumbuhan ekonomi; � Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan Sumber: Diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. RPJMD Sulawesi Selatan 2008-20013 sudah menjabarkan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN 2004-2009. Tabel 2.1 menunjukkan penjabaran dari Agenda Pembangunan pada RPJMN kepada Agenda Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan. Dilihat dari prioritas pembangunan, mayoritas prioritas pembangunan nasional telah sinkron dengan prioritas pembangunan Sulawesi Selatan seperti yang terlihat pada Tabel 2.2. Prioritas pembangunan daerah yang dianggap paling populer bersinergi dengan prioritas pembangunan nasional terutama pada bidang kesehatan dan bidang pendidikan, melalui program pembangunan kesehatan gratis dan pendidikan gratis. 24 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan Prioritas Pembangunan pada Prioritas Pembangunan pada RPJMN 2004-2009 RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 �Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan �Pemberdayaan perempuan perlindungan anak �Peningkatan kinerja SKPD; �Peningkatan kualitas profesionalisme aparatur �Penciptaan tata pemerintahan yang bersih pemerintah; dan berwibawa �Kepenataan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah. �Pembinaan kehidupan sosial politik; �Perwujudan lembaga demokrasi yang �Pembinaan kesatuan bangsa; makin kokoh �Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat; �Peningkatan kualitas informasi dan komunikasi �Penanggulangan kemiskinan �Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin �Peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan; �Revitalisasi pertanian �Peningkatan akses masyarakat kepada aset produktif dan kegiatan produksi. �Pemberdayaan koperasi dan UMKM �Revitalisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil �Penciptaan lapangan kerja dan usaha; �Perbaikan iklim ketenagakerjaan �Penempatan dan perluasan kesempatan kerja; �Pembinaan dan pengawasan tenaga kerja �Pengembangan industri strategis; �Pemantapan stabilitas ekonomi makro; �Pengembangan kerjasama regional dan promosi �Peningkatan daya saing industri perdagangan; manufaktur �Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai destinasi pariwisata terkemuka di Indonesia �Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan; �Pembangunan perdesaan �Pemberdayaan komunitas desa �Pengurangan ketimpangan pembangunan �Perencanaan dan pengendalian penataan ruang; wilayah �Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah �Pendidikan gratis; �Peningkatan akses masyarakat terhadap �Peningkatan kualitas layanan pendidikan; pendidikan yang berkualitas �Pemberantasan buta aksara �Kesehatan gratis; �Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; �Peningkatan akses masyarakat terhadap �Perbaikan gizi masyarakat; layanan kesehatan yang lebih berkualitas �Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan pemukiman, sanitasi dan air bersih. �Peningkatan perlindungan dan �Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan. kesejahteraan sosial �Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda �Pemberdayaan organisasi pemuda dan olahraga dan olahraga �Peningkatan kualitas kehidupan beragama �Pemberdayaan organisasi keagamaan; Sumber: diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 25 Tidak seluruh prioritas pembangunan nasional menjadi prioritas pembangunan Sulawesi Selatan. Ada dua prioritas pembangunan nasional yang tidak menjadi prioritas Sulawesi Selatan, yaitu Pengembangan IPTEK dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Sementara Sulawesi Selatan memiliki empat prioritas khusus yaitu Pembangunan Perkotaan, Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Lokal, Penguatan Kualitas Teknostruktur Komunitas serta Pemberdayaan Organisasi Profesi. Beberapa kabupaten/kota memiliki sinkronisasi Agenda Pembangunan dengan tingkat Provinsi. Tim peneliti PEA mengambil sampel RPJMD pada Kota Makassar dan Kabupaten Luwu Utara. Tabel 2.3 menunjukkan penjabaran Agenda Pembangunan Nasional kepada RPJMD Makassar dan Luwu Utara. Tabel 2.3. Katerkaitan Agenda Pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD Provinsi/Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Agenda Pembangunan Agenda Pembangunan Agenda Pembangunan Agenda Pembangunan RPJMN 2004-2009 RPJMD Sulawesi Selatan RPJMD Kota Makassar Kabupaten Luwu Utara 2008-2013 2009-2014 2005-2010 � Mewujudkan � Menciptakan Indonesia yang aman lingkungan kondusif dan damai bagi kehidupan inovatif; � Mewujudkan � Penguatan � Desentralisasi � Pemantapan Indonesia yang adil kelembagaan penyelenggaraan pelaksanaan dan demokratis masyarakat; pemerintahan yang otonomi daerah � Penguatan baik dan bebas korupsi dan kemandirian kelembagaan pembangunan daerah; pemerintahan. � Penegakan supremasi hukum, politik dan pemerintahan. � Meningkatkan � Peningkatan kualitas � Peningkatan kualitas � Peningkatan Kesejahteraan pendidikan dan manusia; keunggulan dan daya Masyarakat kesehatan masyarakat; � Pengembangan tata saing wilayah; � Peningkatan ruang dan lingkungan; � Pengentasan dan pemerataan � Penguatan struktur kemiskinan dengan kesejahteraan ekonomi sistem ekonomi masyarakat; kerakyatan dalam � Perwujudan meningkatkan keunggulan lokal kesejahteraan untuk memicu laju masyarakat; pertumbuhan ekonomi; � Pembangunan � Mewujudkan Sulawesi perdesaan dan Selatan sebagai entitas infrastruktur wilayah; sosial ekonomi yang � Peningkatan dan berkeadilan pengembangan sumberdaya manusia; � Upaya penanganan dan mitigasi bencana alam. Sumber: Diolah dari RPJMN 2004-2009, RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013, RPJMD Kota Makassar 2009-2014 dan RPJMD Kabupaten Luwu Utara 2005-2010. Pemerintah kabupaten kota masih memiliki kendala dalam sinkronisasi agenda pembangunan dengan level nasional. Selain karena kemampuan sumberdaya manusia aparatur yang belum optimal, hal ini juga karena perhatian pemerintah daerah terhadap perencanaan makro ekonomi nasional dan daerah yang lemah. Penyebab utamanya adalah lahirnya sejumlah peraturan-perundangan yang sering tidak sejalan. Salah satu contohnya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, 26 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah RPJMD provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebaliknya, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diterbitkan oleh Bappenas/Kementerian PPN mengatakan penetapan RPJMD dengan peraturan kepala daerah, sebagaimana juga dipertegas dengan penetapan RPJMN dengan peraturan presiden. Faktanya, semua RPJMD di Sulawesi Selatan ditetapkan dengan peraturan daerah, di samping melayani kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri juga dimaksudkan agar memiliki kekuatan mengikat stakeholder pembangunan yang lebih kuat. Di sisi lain, fleksibilitas substansi perencanaan pembangunan daerah terhadap lingkungan strategisnya justru lebih baik jika dokumen perencanaan pembangunan daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. 2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Masih ada kabupaten yang belum memiliki konsistensi antara prioritas pembangunan di dalam RPJMD dan prioritas pembangunan dalam Renstra-SKPD. Namun untuk pemerintah provinsi, keduanya sudah dapat disinkronkan. Hal ini menggambarkan ketimpangan pemahaman terhadap proses dan mekanisme penjabaran dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD pada setiap daerah, terutama antara provinsi dengan kabupaten atau antara daerah perkotaan dengan daerah yang bercirikan perdesaan. Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat tenaga perencana menjadi kendala utama dalam mengatasi ketimpangan tersebut, terutama antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antara perencana daerah dengan perencana pada tingkat SKPD. Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra SKPD di Sulawesi Selatan (1) Visi, Misi, Program Kepala Daerah Terpilih (2) SKPD Menyusun Renstra SKPD Bappeda menyusun Rancangan Awal RPJMD (3) Program SKPD a. Visi, Misi, Kepala Daerah b. Strategi Bangda c. Kebijakan Umum d. Kerangka ekonomi makro Bappeda menyelengarakan daerah MUSRENBANG RPJMD e. Program SKPD (4) Bappeda menyusun Rancangan (5) Akhir RPJMD a.Visi, Misi Kepala Daerah b. Strategi Bangda Penetapan RPJMD c. Kebijakan Umum (6) d. Kerangka ekonomi makro daerah (7) e. Program SKPD Digunakan sebagai pedoman penyusunan Rancangan RKPD Sumber: Diolah dari UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 27 Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses dan tahapan penyusunan dokumen-dokumen perencanaan masih rendah. Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program-program pembangunan daerah dalam RPJMD yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun) dokumen Renja-SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja-SKPD. Tantangan yang dihadapi oleh SKPD dalam menyusun Renstra SKPD cukup beragam. Salah satunya adalah sulitnya SKPD menjabarkan prioritas RPJMD menjadi prioritas SKPD. Prioritas dalam RPJMD sering bersifat umum dan lintas sektoral. Misalnya prioritas di sektor pertanian yang membutuhkan keterlibatan Dinas Perindustrian, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan lainnya. Sementara untuk sektor tertentu, misalnya kesehatan, Dinas Kesehatan lebih bisa menempatkan prioritasnya sesuai dengan prioritas RPJMD. Tabel 2.4 mengilustrasikan perbandingan prioritas Renstra antara SKPD Kesehatan dan SKPD Pertanian. Tabel 2.4. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dengan Renstra SKPD Dinas Kesehatan dan SKPD Dinas Pertanian Prioritas RPJMD Sulawesi Selatan Bidang Prioritas Renstra SKPD Kesehatan Kesehatan �Kesehatan gratis; �Kesehatan gratis; �Peningkatan kualitas pelayanan �Peningkatan kualtas pelayanan kesehatan; kesehatan; �Peningkatan gizi masyarakat; �Perbaikan gizi masyarakat; �Pencegahan dan pemberantasan penyakit; �Peningkatan pelayanan perumahan, �Promosi kesehatan; lingkungan pemukiman, sanitasi dan �Peningkatan layanan perumahan, lingkungan pemukiman, air bersih. sanitasi dan air bersih. Prioritas RPJMD Luwu Utara Bidang Prioritas Renstra SKPD Pertanian Pertanian �Program pembangunan yang dapat �Peningkatan ketahanan pangan; mendorong tumbuhnya kegiatan �Pengembangan agribisnis; sektor-sektor usaha yang ada di �Peningkatan SDM Aparat dan Petani-Nelayan; perdesaan. �Peningkatan sarana dan prasarana pertanian dan kelautan; �Pembangunan dan peningkatan �Kewaspadaan rawan pangan. sarana dan prasarana jalan desa penghasil produk pertanian menuju kota-kota kecamatan dan sentra- sentra pasar. �Percepatan upaya untuk memperlancar pergerakan arus barang hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan menuju pusat-pusat perekonomian wilayah. Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2008-2013. Ketidakmampuan mengintegrasikan program prioritas antar SKPD menjadi kendala utama dalam penjabaran prioritas pembangunan daerah menjadi prioritas pembangunan masing-masing SKPD. Masing-masing SKPD cenderung parsial dengan menonjolkan ego-sektoral dalam penjabaran prioritas program pembangunan daerah, terutama jika telah bersentuhan dengan penganggaran. Pada sejumlah daerah, saling mengklaim tanggungjawab terhadap implementasi program pembangunan lebih menonjol dibandingkan upaya-upaya nyata untuk mengintegrasikan dan mensinergikan setiap SKPD untuk 28 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah pencapaian hasil yang lebih optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak pada kecenderungan setiap SKPD untuk menjadikan program-programnya sebagai prioritas pembangunan daerah, dan mengabaikan upaya untuk menciptakan sinergi, keterkaitan dan saling mendukung antar program SKPD dalam kerangka pencapaian visi-misi, kebijakan dan program pembangunan daerah. Lemahnya kemampuan dalam mengakumulasikan rumusan perencanaan pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komprehensif. 2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/ kota. Sejatinya, rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan bottom-up, belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberdaya yang ada, baik dari lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia pada komunitasnya, baik yang diperoleh secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari rumah tangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya diperoleh dari pemerintah lokal dan pelaku usaha lokal. Gambar 2.2. Alur Pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah RENSTRA RPJMD SKPD Rancangan Musrenbang Musrenbang RKPD Prov/Kab./Kota Prov/Kab./Kota Forum SKPD/ Prioritas RENJA SKPD Gabungan SKPD Pemb. Daerah Musrenbang Prioritas Kecamatan Kecamatan RPJM Musrenbang Prioritas DESA Desa/Kel. Desa/Kel. Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang, Tahun 2005. Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah. Bukan hanya karena keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan pembangunan pada semua tingkatan, juga karena keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan koordinasi hasil perencanaan yang berkualitas dan menyentuh kebutuhan secara langsung. Ditambah juga dengan arahan SKPD pada Musrenbang tingkat kecamatan/kelurahan/desa yang tidak tersosialisasi dan tidak dipahami secara baik oleh panitia dan peserta Musrenbang, salah satunya karena ketidak-lengkapan dokumen perencanaan yang menjadi arahan para perencana. Misalnya, tidak semua daerah yang SKPD- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 29 nya memiliki Renja, atau belum banyak desa/kelurahan yang memiliki dokumen perencanaan jangka menengah. Akibatnya, pelaksanaan Musrenbang pada semua tingkatan cenderung menjadi sebuah rutinitas dan sekedar untuk menjalankan perintah peraturan perundangan semata. Usulan masyarakat melalui Musrenbang masih kurang diakomodasi dalam RAPBD. Hal ini terutama karena pelaksanaan Musrenbang lebih fokus pada aspek teknisnya dibandingkan substansi Musrebang itu sendiri. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme umpan-balik pasca-Musrenbang untuk menyampaikan kepada masyarakat yang mengusulkan program/kegiatan, tetapi ‘ditolak’ pada pelaksanaan Musrenbang tingkatan selanjutnya. Akibatnya, masyarakat pengusul tidak mengetahui apakah usulan program/kegiatannya dianggarkan dalam RAPBD atau tidak, masyarakat menunggu. Hal ini menyebabkan semakin lemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang, terutama pada tingkat kecamatan/kelurahan/desa, sehingga minat masyarakat untuk mengikuti Musrenbang semakin menurun. Apalagi Musrenbang dilaksanakan setiap tahun dan jika tanpa dibarengi dengan implementasi kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, maka masyarakat akan semakin apriori terhadap pelaksanaan Musrenbang tersebut, khususnya pada tingkatan pemerintahan kecamatan/ kelurahan/desa. Secara umum nampak kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, masih rendah. Hal ini nampak pada kelengkapan dan kualitas dokumen perencanaan di tingkat kabupaten/kota yang masih terbatas, bukan hanya pada rendahnya penjabaran substansi setiap dokumen secara konsisten, tetapi juga pada ketidaktersediaan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan secara permanen, khususnya pada tingkat SKPD. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejumlah daerah tidak terdapat Renstra dan Renja SKPD, ataupun Renstra SKPD tidak mempedomani RPJMD dan belum semua Renja SKPD mempedomani Renstra SKPD. Demikian halnya dengan KUA/PPAS belum semua mempedomani RKPD, dan RKA SKPD belum secara konsisten mempedomani Renja SKPD. Akibatnya, terdapat sejumlah program/kegiatan yang dianggarkan dalam RAPBD/APBD yang tidak pernah ada pada dokumen-dokumen perencanaan daerah sebelumnya. Salah satu solusinya adalah perlunya Perda tentang sistem perencanaan pembangunan daerah pada setiap kabupaten/kota sebagaimana Perda tentang SPPD yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, tentunya yang tidak bertentangan dengan perundangan-undangan yang ada (UU Nomor 25 Tahun 2004; PP Nomor 08 Tahun 2008 serta Permendagri Nomor 54 Tahun 2010). 2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah Proses perencanaan dan penganggaran di daerah masih menemui sejumlah tantangan. Antara lain masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran pada APBD. Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak disiplin menjalankan perencanaan pembangunan dan penganggaran sebagaimana peraturan-perundangan yang berlaku. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Tantangan lain adalah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih kurang konsisten dan disiplin dalam mengikuti jadwal yang ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggaran. Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepenuhnya dipatuhi, mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPRD rata-rata membutuhkan waktu yang panjang. Secara keseluruhan hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan SDM untuk menjalankan mekanisme perencanaan-penganggaran pembangunan daerah, juga antara lain disebabkan oleh banyaknya intervensi kepentingan dari berbagai stakeholder pembangunan daerah. 30 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD Menuju RAPBD) Sosialisasi Kesepakatan Nota KUA dan Kesepakatan RAPBD & RKP PPAS KUA - PPAS Rancangan Daerah Penjabaran DPRD DPRD Kepala Kepala Daerah Daerah DPRD Pembicaraan Rancangan Pendahuluan KUA dan PPAS Surat Edaran: KUA dan PPAS RKA-SKPD RKA-SKPD Kepala Daerah RKA-PPKD TAPD TAPD - DPRD Akhir Awal Juni Tengah Akhir Juli Awal Agustus Minggu I Akhir Mei Juni Oktober Nopember Sumber: Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD, demikian juga sebaliknya. APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010 memperlihatkan sejumlah program bidang kesehatan yang tertuang dalam penjabaran APBD yang sebelumnya tidak tercantum dalam dokumen Renja-SKPD Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2010. Ini disebabkan karena otonomi RS/RSJ atau bahkan Puskesmas pada kabupaten/kota mengharuskannya memiliki kewenangan dalam penganggaran, sementara itu kewenangannya dalam perencanaan program sangat terbatas. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 31 Tabel 2.5. Program Prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 Program Bidang Kesehatan dalam APBD Sulawesi Renja-SKPD Kesehatan Selatan �Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat �Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat �Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan �Peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak anak �Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita �Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita �Peningkatan pelayanan kesehatan lansia �Peningkatan pelayanan kesehatan lansia �Pelayanan kesehatan penduduk miskin �Pelayanan kesehatan penduduk miskin �Upaya kesehatan masyarakat �Upaya kesehatan masyarakat �Standarisasi pelayanan kesehatan �Standarisasi pelayanan kesehatan �Obat dan perbekalan kesehatan �Obat dan perbekalan kesehatan �Pengadaan obat, peralatan dan perbekalan kesehatan �Pengembangan obat asli Indonesia �Pengembangan obat asli Indonesia �Penanggulangan KEP, AGB, GAKY, KVA dan �Perbaikan gizi masyarakat kekurangan zat gizi mikro lainnya �Pengawasan dan pengendalian kesehatan �Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan makanan �Pencegahan dan pemberantasan penyakit �Pencegahan dan pemberantasan penyakit �Promosi dan pemberdayaan masyarakat �Promosi kesehatan dan pemberdayaan �Sarana air bersih dan sanitasi dasar �Tidak dianggarkan dalam APBD �Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan �Pengendalian pencemaran lingkungan �Pengembangan wilayah sehat �Pengembangan lingkungan sehat �Pelayanan administrasi perkantoran �Pelayanan administrasi perkantoran �Peningkatan sarana dan prasarana aparatur �Peningkatan sarana dan prasarana �Peningkatan disiplin aparatur �Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur �Tidak ada program prioritas yang terkait dalam �Pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja Renja SKPD Kesehatan dan keuangan �Kemitraan pelayanan kesehatan �Pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana RSIA Siti Fatimah �Pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/ RS Jiwa �Pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit Sumber: Diolah dari Renja-SKPD Kesehatan 2010 dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 2010. 2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah Penerapan penyusunan anggaran berbasis kinerja (ABK) belum sepenuhnya dijalankan pada setiap daerah. Hal ini di samping karena pemahaman dan operasionalisasi ABK yang masih terbatas, juga karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah yang menyebabkan kinerja pembangunan daerah harus ditetapkan dengan didasarkan pada ketersediaan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Akibatnya, kinerja yang ditetapkan dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak dapat saja tidak terlaksana karena adanya keterbatasan anggaran. 32 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran KONSISTENSI PERENCANAAN PENGANGGARAN PENGANGGARAN PERENCANAAN BERBASIS KINERJA KINERJA PRINSIP EFEKTIFITAS KINERJA KINERJA KINERJA PRINSIP EFESIENSI PRINSIP EKONOMIS Sumber: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja (Agussalim, 2011). Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator output untuk mengukur kinerja kegiatan pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator outcome untuk mengukur kinerja program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator impact untuk mengukur kinerja kebijakan pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD. Indikator- indikator tersebut pada akhirnya akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepala daerah yang bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator-indikator kinerja tersebut, bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan evaluasi kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan. Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah PEMERINTAH VISI MISI SKPD SASARAN IMPACT INDIKATOR INDIKATOR KINERJA ESELON III PROGRAM OUTCOME UTAMA PORGRAM INDIKATOR ESELON IV KEGIATAN OUTPUT KINERJA KEGIATAN INPUT Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian Keuangan tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 33 Tabel 2.6. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 Provinsi, Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) No. Kabupaten dan Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010**) 1. Sulawesi Selatan WDP WDP TMP TMP WDP WTP 2. Bantaeng WDP WDP WDP WDP WDP WDP 3. Barru WDP WDP WDP WDP WDP 4. Bone WDP WDP WDP WDP WDP WDP 5. Bulukumba WDP WDP TMP WDP WDP WDP 6. Enrekang WDP WDP WDP WDP WDP WDP 7. Gowa WDP WDP WDP WDP WDP WDP 8. Jeneponto TMP WDP TMP WDP *) Kepulauan 9. TMP WDP TMP WDP *) Selayar 10. Luwu WTP WDP WDP WDP WDP *) 11. Luwu Timur WDP WDP TMP WDP WDP *) 12. Luwu Utara WDP WDP WDP WDP WTP 13. Maros TMP TMP TMP TMP TMP TMP Pangkajene 14. WTP WDP WDP WDP WDP WDP Kepulauan 15. Pinrang WDP WDP WDP WDP WDP *) Sidenreng 16. WDP WDP WDP WDP WDP WDP Rappang 17. Sinjai WDP WDP WDP WDP WDP *) 18. Soppeng WDP WDP WDP WDP WDP *) 19. Takalar WDP WDP WDP WDP WDP WDP 20. Tana Toraja WDP WDP WDP WDP WDP *) 21. Toraja Utara WDP *) 22. Wajo WTP WDP WDP WDP WDP WDP 23. Makassar WDP WDP WDP WDP WDP *) 24. Palopo WDP WDP WDP WDP TMP TMP 25. Parepare WDP WDP WDP WDP WDP *) Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan LKPD BPK-RI, Tahun 2010. Keterangan: *) Dalam Proses Pemeriksaan; **) Diperoleh Dari Bawasda Sulawesi Selatan. WTP (opini Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (opini Wajar Dengan Pengecualian), TW (opini Tidak Wajar), TMP (pernyataan menolak memberikan opini atau tidak memberikan pendapat-disclaimer of opinion). Pengelolaan keuangan daerah Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perbaikan secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) mengalami perbaikan berarti, dengan memperoleh opini wajar dengan pengecualian pada tahun 2009, bahkan pada tahun 2010 mampu memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian. Hal ini menunjukkan prestasi tertinggi karena dua tahun sebelumnya, tahun 2007 dan tahun 2008 memperoleh penilaian terendah yaitu disclaimer of opinion. Sejumlah daerah mampu mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan masih terdapat daerah yang mendapatkan penilaian disclaimer of opinion seperti Maros dan Palopo, bahkan Maros telah enam 34 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah tahun berturut-turut memperoleh penilaian tersebut. Pada Tahun 2010, hanya Kabupaten Luwu Utara yang memperoleh penilaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP), setelah empat tahun sebelumnya secara berturut-turut memperoleh penilaian wajar dengan pengecualian (WDP). Sebaliknya, Kota Palopo mengalami kemunduran, di mana dalam dua tahun terakhir memperoleh disclaimer of opinion, setelah tiga tahun sebelumnya berturut-turut memperoleh opini wajar tanpa pengecualian. Kapasitas SKPD dalam melaksanakan pelaporan keuangan masih sangat rendah. Hal ini ditandai dengan ketidaktepatan dan keterlambatan penyerahan laporan keuangan SKPD kepada pengelola keuangan daerah. Kondisi ini terutama dialami oleh sejumlah SKPD pada sejumlah daerah dengan volume program dan kegiatan yang sangat banyak, di samping program dan kegiatan yang dikreasikan daerah, juga terdapat program dan kegiatan andalan nasional/provinsi, seperti yang dialami pada urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Keterbatasan kompetensi sumberdaya manusia aparat pemerintah daerah menjadi alasan pokok rendahnya kapasitas SKPD tersebut dalam pelaporan keuangannya. Pengawasan dan monitoring internal dan eksternal terhadap pelaksanaan anggaran secara rutin dan berkala dilakukan pada setiap daerah. Untuk kepentingan pembinaan pada sejumlah SKPD di tingkat provinsi/kabupaten/kota audit internal oleh inspektorat daerah dapat dilaksanakan setiap bulannya, atau minimal triwulanan. Audit eksternal dilakukan oleh BPK pada setiap daerah bisa sampai dua kali dalam setahun, atau oleh Inspektorat provinsi melakukan audit eksternal ke kabupaten/kota sekali dalam setahun sesuai dengan urgensi dan kebutuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah masing-masing. 2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah Analisa pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada hasil penilaian PKD. Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) merupakan serangkaian proses mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, sampai evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan (PP No. 58 tahun 2005). Penilaian kapasitas PKD bertujuan untuk mengambil sampel baseline kapasitas pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku atau mengarah pada praktek-praktek terbaik pengelolaan keuangan publik. Penilaian PKD di Sulawesi Selatan dilakukan pada satu pemerintah provinsi dan tiga kabupaten/kota sebagai sampel, yaitu Kota Pare-pare mewakili kota, Kabupaten Jeneponto mewakili kabupaten dengan pendapatan per kapita yang rendah, Kabupaten Luwu Timur mewakili kabupaten pemekaran. Alat penilaian yang digunakan adalah alat yang dikembangkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Bank Dunia berupa sistem penilaian balance scorecard pada 9 bidang strategis PKD, yakni kerangka peraturan perundangan daerah; perencanaan dan penganggaran; pengelolaan kas; pengadaan barang dan jasa; akuntansi dan pelaporan; pengawasan internal; hutang dan investasi publik; pengelolaan aset; serta audit dan pengawasan eksternal. Kinerja PKD Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan tiga kabupaten/kota sudah baik. Hal ini terlihat dari total skor PKD di ke empat pemerintahan tersebut yang berada di atas 60persen. Pemerintah Provinsi mencapai skor yang terbaik di antara sampel yang lain sebesar 77persen. Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lain yang juga melakukan analisa PKD baru-baru ini, capaian Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (78%) dan Jawa Timur (79%, angka sementara), dan di atas Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (60%, angka sementara). Secara umum kinerja PKD pemerintah Sulawesi Selatan juga dapat dikatakan Kabupaten Luwu Timur sebagai kabupaten baru justru memiliki skor PKD yang lebih baik dari kabupaten/kota lainnya. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 35 Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Kerangka Peraturan Perundangan Daerah 76,7% Selatan Perencanaan dan Penganggaran Luwu Timur 73,8% Pengelolaan Kas Pengadaan Barang dan Jasa Pare-Pare 72,1% Akuntansi dan Pelaporan Rata-rata 3 Internal Audit 70,1% Kab/Kota Hutang, Hibah, dan Investasi Jeneponto 64,2% Pengelolaan Aset Audit Eksternal Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011. Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare merupakan contoh daerah dengan pengelolaan keuangan yang baik. Dari 9 bidang penilaian PKD, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selalu menempatkan diri sebagai yang terbaik atau terbaik kedua dari 4 pemerintahan yang disampel. Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare mencatat nilai yang termasuk tinggi untuk ukuran kabupaten/kota. Rata-rata nilai PKD kabupaten/kota di Sulawesi Selatan adalah 64 persen. Luwu Timur memiliki capaian PKD terbaik dalam bidang Pengelolaan Kas dan Akuntansi dan Pelaporan, Kota Pare-pare memiliki capaian PKD terbaik dalam bidang Peraturan Perundangan Daerah. Kabupaten Jeneponto umumnya memiliki skor PKD yang lebih rendah dari kedua daerah lainnya. Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa Prov. Sulawesi Rata-rata 3 Jeneponto Luwu Timur Pare-Pare Selatan Kab/Kota Kerangka Peraturan 1 66,7% 76,2% 76,2% 71,4% 73,0% Perundangan Daerah Perencanaan dan 2 50,0% 64,3% 64,3% 71,4% 59,5% Penganggaran 3 Pengelolaan Kas 57,1% 71,4% 60,7% 67,9% 63,1% Pengadaan Barang 4 75,0% 81,3% 75,0% 87,5% 77,1% dan Jasa Akuntansi dan 5 55,6% 72,2% 55,6% 66,7% 61,1% Pelaporan 6 Internal Audit 64,7% 76,5% 70,6% 88,2% 70,6% Hutang, Hibah, dan 7 90,0% 90,0% 90,0% 80,0% 90,0% Investasi 8 Pengelolaan Aset 55,0% 60,0% 75,0% 75,0% 63,3% 9 Audit Eksternal 63,6% 72,7% 81,8% 81,8% 72,7% Skor Total 64,2% 73,8% 72,1% 76,7% 70,1% Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011. 36 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi  Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN. Di sisi lain RPJMD Sulawesi Selatan secara konsisten menjabarkan agenda dan prioritas pembangunan nasional. Ketidaksinkronan ini antara lain disebabkan peraturan yang tidak sejalan, misalnya UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Nomor 25 Tahun 2004.  Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD belum semua secara konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah perlu menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.  Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan penganggarannya Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD, demikian juga sebaliknya. Selain itu kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui Musrenbang yang diakomodasi. Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi juga disebabkan proses berlarut-larut dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan legislatif. Juga bisa dilakukan audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodasi usulan-usulan awal.  Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.  Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola keuangan daerah belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD. Langkah konkrit yang penting untuk dilakukan terkait dengan hal tersebut, antara lain: (1) Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang keilmuan perencanaan pembangunan dan atau pernah mengikuti diklat fungsional perencanaan pembangunan. (2) Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.  Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan perhatian pada dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan. Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di antara keduanya.  Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam proses perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Sulawesi Selatan mencatat nilai yang baik dalam analisa Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) yang dilakukan oleh Bank Dunia. Selain itu, dua dari tiga kabupaten yang diambil sebagai sampel, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare, menunjukkan nilai yang baik. Direkomendasikan agar kedua daerah ini dapat dijadikan pembelajaran dan contoh PKD bagi daerah lainnya, paling tidak dari sisi ketersediaan dokumen. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 37 Bab 3 Pendapatan Daerah 3.1 Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan Pendapatan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) di Sulawesi Selatan meningkat hampir dua kali lipat selama kurun waktu 2005-2010. Pada periode tersebut, Pendapatan daerah meningkat dari Rp. 9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 16 triliun pada tahun 2010, dengan rata-rata pertumbuhan 13 persen per tahun. Pendapatan daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp. 7,4 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 13 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan 14 persen per tahun, sementara pendapatan daerah provinsi meningkat dari Rp. 1,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 2,5 triliun pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun. Sebagian besar pendapatan daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, proporsi pendapatan kabupaten/kota terhadap total pendapatan daerah rata-rata 84 persen per tahun. Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 Proporsi Pendapatan Kab/Kota Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan Terhadap Total Pendapatan 18 2010=100 100% 16 90% 14 80% 70% Rp Triliun 12 10 60% 82 85 85 84 84 85 83 13,4 13,2 50% 8 12,3 12,1 12,3 10,9 40% 6 7,4 30% 4 20% 2 10% 1,6 1,9 2,2 2,4 2,3 2,5 2,7 18 15 15 16 16 15 17 0 0% 2011** 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Provinsi Kabupaten/Kota Provinsi Kabupaten/kota Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar. Selama periode 2005-2010, pendapatan daerah yang berasal dari Dana Perimbangan rata-rata mencapai Rp. 10 triliun per tahun. Sumbangan Dana Perimbangan terhadap pendapatan daerah Sulawesi Selatan berkisar 69-83 persen atau secara rata- rata 76 persen selama tahun 2005-2010. Sumber pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil dengan rata-rata berkisar 15 persen. Selebihnya, sekitar 8 persen dikontribusi oleh Lain-lain pendapatan daerah yang Sah. Besarnya nilai dan proporsi Dana Perimbangan terhadap pendapatan daerah mencerminkan ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar. 40 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 3 Pendapatan Daerah Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 Proporsi Terhadap Total Pendapatan Daerah 18 100% 6 4 6 8 7 16 11 1,8 90% 78 83 16 2,5 79 78 78 14 0,9 1,1 1,1 80% 71 69 12 0,6 70% Rp. Triliun 10 60% 0,5 11,4 50% 8 11,6 11,2 11,2 10,9 10,6 40% 6 7,0 30% 4 20% 2 10% 16 15 17 2,1 2,2 2,4 2,7 13 14 15 15 1,5 1,7 2,1 0 0% 2011** 2005 2006 2007 2008 2009 2010* PAD Dana Perimbangan Lain-Lain PAD Dana Perimbangan Bagian Lain Penerimaan yang Sah Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Pendapatan daerah pemerintah provinsi mayoritas bersumber dari PAD. Pada tahun 2005, pendapatan yang bersumber dari PAD sebesar Rp. 942 miliar dan meningkat menjadi Rp. 1,4 triliun pada tahun 2010. Proporsi PAD terhadap total pendapatan provinsi meningkat sejak tahun 52 persen (2006) menjadi 58 persen (2010) dengan rata-rata 56 persen per tahun. Pada tahun 2011, pendapatan dari PAD direncanakan menyumbang sekitar 62 persen. Kontribusi Dana Perimbangan terhadap pendapatan daerah provinsi rata-rata sebesar 42 persen dan kontribusi Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah hanya berkisar rata-rata 1 persen per tahun. Berbeda dengan tingkat pemerintah provinsi, sumber daya fiskal pemerintah kabupaten/kota didominasi oleh Dana Perimbangan. Pada tahun 2005, pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Dana Perimbangan sebesar Rp. 6,4 triliun atau 86 persen dari total pendapatan, meningkat Rp. 10 triliun pada tahun 2010 (74 persen). Tingginya sumbangan Dana Perimbangan terhadap pendapatan daerah kabupaten/kota mengindikasikan tingginya ketergantungan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Meskipun demikian, upaya- upaya pemerintah daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD telah nampak. Hal ini terlihat dari peningkatan PAD dari Rp. 523 miliar meningkat menjadi Rp. 987 miliar pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah kabupaten/kota rata-rata 7 persen per tahun. Kapasitas fiskal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cenderung tidak merata. Kabupaten/kota yang memiliki pendapatan per kapita terbesar di Sulawesi Selatan adalah Pare-Pare (Rp. 3,8 juta) dan Kabupaten Selayar (Rp. 3,4 juta). Kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan per kapita terendah adalah Kabupaten Bone, Kota Makassar, dan Kabupaten Gowa dengan Rp. 1,1 juta. Ketiganya juga merupakan tiga kabupaten/kota yang memiliki populasi terbesar di Sulawesi Selatan. Sedangkan kabupaten lainnya, pendapatan per kapita berkisar pada Rp. 1,5 juta – Rp. 2,7 juta. Perbedaan pendapatan per kapita tersebut menandakan masih ada ketimpangan pendapatan antar kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 41 Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 4,0 3,5 3,0 2,5 Rp Juta 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 PAD Dana Perimbangan Lain-lain Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Kabupaten/kota yang mempunyai PAD terbesar adalah Kota Pare-Pare dan terendah adalah Kabupaten Jeneponto. Pada tahun 2010, Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan PAD per kapita sebesar Rp. 344 ribu dan terendah sebesar Rp. 43 ribu ditempati oleh Kabupaten Jeneponto. Pada tahun yang sama, dana transfer per kapita tertinggi berada di Kabupaten Selayar mencapai Rp. 2,7 juta dan terendah ditempati Kota Makassar sebesar Rp. 648 ribu. 3.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat hampir dua kali lipat, mayoritas bersumber dari Pajak Daerah. PAD di tahun 2005 sebesar Rp. 1,5 triliun meningkat menjadi Rp. 2,4 triliun pada tahun 2010. Porsi PAD terhadap total pendapatan daerah mengalami peningkatan sejak tahun 2006 sebesar 13 persen menjadi 15 persen pada tahun 2010. Pajak Daerah adalah penyumbang terbesar PAD sebesar 64 persen. Pendapatan dari Pajak Daerah meningkat dari Rp. 971 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp. 1,6 triliun pada tahun 2010. Pendapatan dari Pajak Daerah pada pemerintah provinsi meningkat dari Rp. 788 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp. 1,2 triliun pada tahun 2010 yang sebagian besar berasal dari pajak kendaraan dan pajak bumi dan bangunan. Retribusi menyumbang rata-rata 18 persen bagi PAD. Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 3.000,0 20% 17% 16% 18% 232 2.500,0 15% 15% 128 14% 15% 16% 235 Lain-lain 13% 124 501 208 14% 2.000,0 260 266 Keuntungan dari Perusahaan Rp Miliar 120 187 524 12% 262 Daerah 202 348 400 1.500,0 87 10% Retribusi 112 319 88 323 8% 294 Pajak Daerah 1.000,0 1.875 6% 1.394 1.526 1.246 1.360 PAD (% dari Total Penerimaan) 1.079 4% 500,0 971 2% 0,0 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. 42 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 3 Pendapatan Daerah Komposisi PAD per kapita bervariasi antar kabupaten/kota pada tahun 2010. Pendapatan Asli Daerah terbesar dikontribusi oleh Kota Pare-Pare sekitar Rp. 344 ribu dan terbesar kedua adalah Kabupaten Pangkep sebesar Rp. 241 ribu. Komponen terbesar dalam PAD di Kota Pare-Pare adalah penerimaan Retribusi Daerah dengan nilai sebesar Rp. 231 ribu dan di Kabupaten Pangkep dikontribusi oleh penerimaan Pajak Daerah dengan nilai Rp. 129 ribu. Kabupaten/kota yang mempunyai PAD per kapita terkecil adalah Kabupaten Jeneponto dengan nilai Rp. 43 ribu. Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 - Pajak Retribusi Keuntungan PUD PAD Lain Sumber: Diolah dari APBD-P 2010. 3.3 Dana Perimbangan Pendapatan Daerah yang bersumber dari DAU (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat namun proporsinya terhadap total pendapatan daerah menurun. DAU meningkat hampir dua kali lipat dari Rp. 5,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 9 triliun pada tahun 2010. Proporsi DAU terhadap total pendapatan daerah Sulawesi Selatan turun dari 62 persen tahun 2005 menjadi 54 persen pada tahun 2010. Secara rata-rata, proporsi DAU terhadap total pendapatan daerah mencapai 61 persen per tahun. Sumbangan DAK terhadap pendapatan relatif kecil, tetapi cenderung meningkat di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, proporsi Dana Alokasi Khusus (DAK) rata-rata menyumbang 7 persen per tahun. Jumlah ini masih sedikit lebih kecil dari Dana Bagi Hasil yang rata-rata sebesar 9 persen per tahun. Meski demikian jumlah DAK meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 384 miliar di tahun 2005 menjadi Rp. 985 miliar di tahun 2010. Kontribusi pendapatan dari DAK terhadap total Dana Perimbangan kabupaten/kota meningkat, dimana pada tahun 2005 sebesar 6 persen menjadi 13 persen pada tahun 2010. Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 80 14.000 66,7 70 62,0 12.000 61,5 60,0 60,2 60 57,0 54,0 10.000 50 Rp Miliar 8.000 Persen 40 8.944 8.573 9.063 6.000 30 8.563 8.644 8.661 5.579 4.000 20 4,3 6,7 8,2 9,3 9,7 2.000 10 6,2 7,2 1.038 1.174 1.427 1.208 1.108 1.374 1.158 0 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Dana Bagi Hasil % DAU % DAK Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 43 Lebih dari separuh pendapatan yang bersumber dari DAU dialokasikan pada pemerintah daerah kabupaten/ kota. Hal ini semakin mempertegas otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. DAU yang diterima pemerintah kabupaten/kota meningkat dari Rp. 5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 8,3 triliun pada tahun 2010. Pada periode 2005- 2010, porsi DAU yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata setiap tahunnya sebesar 92 persen, hanya sekitar 8 persen dialokasikan pada pemerintah provinsi. Dana Alokasi Umum pada pemerintah provinsi meningkat dari Rp. 464 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp. 706 miliar pada tahun 2010 atau secara rata-rata memperoleh DAU sebesar Rp. 667 miliar per tahun. Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan 10.000 100 9.000 90 91,7 92,3 91,8 91,6 91,8 91,8 91,5 8.000 80 7.000 70 6.000 60 Rp Miliar Persen 5.000 8.207 8.294 50 7.900 7.922 7.954 7.867 4.000 5.115 40 3.000 30 2.000 20 1.000 10 464 662 737 722 7077 06 769 0 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Provinsi Kabupaten/kota % DAU Kabupaten/kota Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Dana Bagi Hasil Pajak meningkat cukup signifikan dan lebih banyak dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota daripada pemerintah provinsi. Pendapatan dari DBH untuk kabupaten/kota mengalami peningkatan sebesar Rp. 298 miliar dari Rp. 837 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.135 miliar pada tahun 2010. Pada pemerintah provinsi, penerimaan DBH pada tahun 2005 sebesar Rp. 201 miliar meningkat menjadi Rp. 239 miliar pada tahun 2010. Proporsi DBH terhadap total Dana Perimbangan kabupaten/kota secara rata-rata hanya 11 persen per tahun. Hal ini menunjukkan sumbangan DBH Pajak masih sangat kecil. Transfer DAU per kapita dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, Kabupaten Selayar dan Kota Pare-pare memperoleh transfer DAU per kapita tertinggi mencapai Rp. 2 juta. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup padat, seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa memperoleh DAU per kapita relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang memiliki jumlah penduduk relatif kecil. Kota Makassar memperoleh DAU per kapita sebesar Rp. 481 ribu dan Kabupaten Gowa sebesar Rp. 661 ribu. Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 - DAU DAK Dana Bagi Hasil Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. 44 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 3 Pendapatan Daerah 3.4 Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah Realisasi Pendapatan Daerah yang bersumber dari Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi sepanjang periode 2005-2010, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada level provinsi, Lain-lain Pendapatan yang Sah meningkat dari Rp. 18 miliar pada tahun menjadi Rp. 59 miliar pada tahun 2010. Sementara di tingkat kabupaten/kota, pendapatan dari Bagian lain-lain pendapatan yang sah cenderung meningkat hingga tahun 2010. Lain-lain Pendapatan yang Sah sesungguhnya merupakan transfer atau dana darurat dari level pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga besaran yang diterima kabupaten/kota meningkat seiring meningkatnya belanja transfer pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2010 3.000 2.500 2.000 Rp Miliar 1.500 2.481 1.000 1.814 1.085 1.161 500 880 520 516 0 18 35 9 4 20 59 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Provinsi Kabupaten/Kota Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. 3.5 Pembiayaan Daerah Sulawesi Selatan mengalami surplus pendapatan selama periode 2005-2007 namun defisit pada periode 2008- 2011. Surplus pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai riil Rp. 2.514 miliar. Surplus pendapatan pada periode 2005-2007 terjadi pada hampir semua kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan daya serap anggaran pemerintah cukup rendah. Sebagian besar surplus APBD digunakan untuk pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, transfer ke dana cadangan dan penyertaan modal. Defisit APBD didanai dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu (SiLPA dan pinjaman daerah. Pada periode 2008-2011, pemerintah Sulawesi Selatan mengalami defisit anggaran dan terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar Rp. 902 miliar. Tingginya angka defisit pada tahun 2008 terutama disebabkan oleh penurunan penerimaan pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota yang berasal dari Dana Perimbangan dan PAD, dan pada saat yang sama belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2008, sumber pembiayaan defisit yang berasal dari SiLPA sebesar Rp. 2.095 miliar menurun menjadi Rp. 780 miliar pada tahun anggaran 2010. Pada tahun 2009- 2010, pembiayaan defisit didominasi oleh penerimaan pinjaman daerah yang mengalami peningkatan drastis dari Rp. 69 miliar menjadi Rp. 305 miliar pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan peran pinjaman sebagai sumber pembiayaan pembangunan cukup besar. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 45 Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 3.000 2.500 2.000 1.500 2.404 Rp Miliar 1.000 500 1.033 614 -285 0 110 -773 69 -627 -10 -27 -128 -261 -71 -421 2011** 2005 2006 2007 2008 2009 2010* -500 -1.000 -1.500 Provinsi Kabupaten/Kota Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok. Pemerintah provinsi mengalami defisit hampir setiap tahun, sementara pemerintah kabupaten/kota mengalami defisit pada empat tahun terakhir. Pada pemerintah provinsi, defisit terbesar terjadi pada tahun 2010 yang mencapai Rp. 261 miliar dan menurun menjadi Rp. 71 miliar pada tahun anggaran 2011. Defisit anggaran pada pemerintah kabupaten/kota terbesar sebesar Rp. 773 miliar pada tahun 2008. Tingginya defisit pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota seiring dengan peningkatan lebih cepat belanja pemerintah dibandingkan peningkatan pendapatan daerah. Sumber pembiayaan defisit baik pada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota berasal dari SiLPA dan sumber- sumber lainnya sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. 3.6 Kesimpulan dan Rekomendasi  Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh pemerintah kabupaten/ kota, namun penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana Perimbangan. Hal ini berarti ketergantungan sumberdaya fiskal dari pemerintah pusat masih cukup besar. Implikasinya adalah masih perlunya peningkatan sumber-sumber PAD untuk menyelaraskan tujuan otonomi daerah khususnya pada pemerintah kabupaten/kota. Beberapa tindakan operasional yang terkait dengan peningkatan PAD ke depan antara lain: (i) Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (meskipun nilainya kecil) dengan tetap memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru, (ii) Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran, (iii) Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi, (iv) Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara proporsional, (v) Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, (vi) mengevaluasi efektivitas peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD, (vii) mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif retribusi yang ditetapkan.  Dana Bagi Hasil Pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan. Hal ini disebabkan adanya DBH pajak umumnya bersumber dari pajak kendaraan dan pajak bumi bangunan yang diberikan ke provinsi. Untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah tersebut, disarankan beberapa tindakan operasional antara lain: (i) kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat kabupaten/kota, (ii) evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota. 46 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 3 Pendapatan Daerah  Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana Perimbangan. Implikasi kebijakan ke depan adalah daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus meningkatkan sumber PAD-nya. Daerah-daerah tersebut antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng.  Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya SiLPA tahun anggaran berjalan. Sumber defisit lain dalam pembiayaan adalah pembayaran pokok utang yang jatuh tempo. Kebutuhan pendanaan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan masih relatif besar, sementara sumber penerimaan pemerintah yang ada selama ini masih relatif terbatas. Untuk itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas dalam mengelola utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 47 Bab 4 Belanja Daerah 4.1 Gambaran Umum Belanja Daerah Pada periode 2005-2010, total belanja daerah Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada tahun 2005, total belanja daerah sebesar Rp. 8,7 triliun meningkat cukup signifikan menjadi R.p 18,3 triliun pada tahun 2010. Meskipun secara belanja pemerintah daerah meningkat setiap tahun, namun pertumbuhannya cukup berfluktuasi selama periode 2005-2010 yang secara rata-rata mencapai 17 persen per tahun. Porsi belanja daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 74 persen pertahun, 15 persen dikelola oleh pemerintah provinsi, dan sisanya adalah dana pemerintah pusat (dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 20.000 83 90 75 77 18.000 73 74 80 72 72 1.632 Dekonsentrasi dan Tugas 16.000 1.832 2.638 70 Pembantuan 14.052 13.491 1.882 Kabupaten/Kota 14.000 12.826 12.516 60 Persen 11.700 Rp Miliar 12.000 Provinsi 1.564 50 10.000 8.508 Porsi Provinsi 40 8.000 701 6.347 30 Porsi Kabupaten 6.000 19 15 17 14 14 13 14 20 4.000 2.000 10 1.814 2.252 2.480 2.250 2.642 2.776 1.635 - 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P, 2011 APBD Pokok, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan NA, 2011. Sebagian besar belanja daerah di Sulawesi Selatan Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan, tahun 2005, total belanja pemerintah kabupaten/kota 2007-2010 sebesar Rp. 6,4 triliun meningkat menjadi Rp. 14 triliun pada tahun 2010, atau rata-rata sebesar 75 persen dari 12 total belanja daerah. Peningkatan belanja pemerintah 10,2 kabupaten/kota terutama diakibatkan oleh peningkatan 10 belanja pegawai yang masih mendominasi belanja dengan rata-rata Rp. 5,3 triliun dan belanja modal rata- 8,5 8,6 rata Rp. 2 triliun. Sementara itu belanja pemerintah 7,9 8 provinsi meningkat dari Rp. 1,6 triliun menjadi Rp. 2.6 Rp Triliun triliun pada tahun 2010. 6 Dana APBN di Sulawesi Selatan yang dikelola oleh instansi vertikal tidak banyak berubah selama periode 2007-2010. Pada tahun 2007 dana APBN 4 sebesar Rp. 8,5 triliun meningkat menjadi Rp. 10 triliun pada tahun 2009. Walaupun di tahun 2010 jumlahnya menurun, tetapi angka ini masih sementara. Rata-rata 2 dana APBN yang dikelola oleh instansi vertikal di Sulawesi Selatan mencapai Rp. 8,8 triliun per tahun. - Belanja per kapita kabupaten/kota di Sulawesi 2007 2008 2009 2010* Selatan bervariasi. Tiga daerah yang memiliki belanja Sumber: Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, 2011. per kapita terbesar adalah juga yang pendapatan per Catatan: 2010 merupakan angka sementara. kapitanya paling besar, antara lain Kota Pare-Pare, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten Enrekang. Hal ini 50 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 4 Belanja Daerah berarti setiap penduduk memperoleh alokasi belanja relatif lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang berada di kabupaten/kota lainnya. Begitu pula daerah yang belanja per kapitanya terkecil sesuai dengan pendapatan per kapitanya kecil, yaitu Makassar, Bone, dan Kabupaten Gowa. Belanja per kapita di Sulawesi Selatan lebih dipengaruhi jumlah penduduk daripada jumlah alokasi fiskal yang diperoleh. Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 5.000.000 4.421.556 4.500.000 4.000.000 3.500.000 3.000.000 Rupiah 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.125.939 1.000.000 500.000 - Sumber: Diolah dari APBD-P Kabupaten/Kota, 2010; BPS. 4.2 Belanja Menurut Klasi�kasi Ekonomi Belanja daerah di Sulawesi Selatan berdasarkan klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pada tahun 2005 sebesar 45 meningkat menjadi 49 persen pada tahun. Tingginya porsi belanja pegawai di Sulawesi Selatan disebabkan oleh banyaknya jumlah pegawai negeri yang harus digaji seperti tergambar pada belanja tidak langsung dan banyaknya pembayaran honor pegawai terkait dengan sejumlah kegiatan dalam belanja langsung. Belanja modal merupakan penyumbang terbesar kedua total belanja daerah di Sulawesi Selatan. Belanja modal meningkat dua kali lipat dari Rp. 1,8 (2005) menjadi Rp. 3.7 (2010). Proporsi belanja modal rata-rata sebesar 26 persen. Belanja barang dan jasa mengambil porsi rata-rata sebesar 18 persen dan belanja lainnya (transfer) sebesar 12 persen. Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 18.000 100% 11% 10% 12% 13% 10% 13% 12% 16.000 2.096 1.948 90% 14.000 2.056 1.481 80% 18% 22% 29% 27% 22% 1.649 29% 29% 3.734 2.967 70% 12.000 4.423 4.043 60% 18% Rp Miliar 10.000 4.051 21% 17% 17% 1.077 2.757 2.865 50% 22% 16% 15% 8.000 2.476 916 2.982 2.187 2.318 40% 6.000 1.761 30% 2.294 49% 52% 1.674 45% 43% 43% 46% 4.000 8.109 8.487 20% 38% 6.066 6.509 6.766 2.000 10% 3.631 3.969 0% 0 2011** 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-lain Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 51 Pada level provinsi, porsi belanja transfer mendominasi total belanja pemerintah Sulawesi Selatan. Proporsi belanja transfer sebesar 30 persen (2005) meningkat menjadi 42 persen (2010) atau dari Rp. 492 miliar menjadi Rp. 1,1 triliun. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya belanja transfer pemerintah provinsi adalah alokasi dana ke kabupaten/kota untuk kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis. Belanja pegawai merupakan belanja terbesar kedua pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Proporsinya relatif tidak banyak berubah dengan rata-rata sebesar 26 persen setiap tahun. Meningkatnya belanja transfer mengurangi proporsi belanja modal pemerintah provinsi. Gambar 4.5 menunjukkan proporsi alokasi belanja modal terhadap total belanja pemerintah provinsi turun dari 19 persen pada tahun 2005 menjadi 13 persen pada tahun 2010. Sementara proporsi belanja barang dan jasa relatif tidak berubah. Turunnya belanja modal disebabkan terdesentralisasinya penyediaan fasilitas fisik kepada kabupaten/kota. Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 Provinsi Kabupaten/Kota 100% 100% 7% 6% 6% 8% 5% 7% 6% 30% 32% 23% 31% 31% 24% 19% 80% 39% 40% 36% 42% 41% 80% 32% 30% 17% 60% 19% 17% 60% 21% 16% 16% 14% 22% 15% 14% 17% 14% 13% 12% 40% 22% 25% 22% 40% 20% 20% 22% 20% 20% 20% 50% 41% 47% 46% 49% 53% 58% 29% 26% 23% 26% 28% 24% 26% 0% 0% Pegawai Barang dan Jasa Pegawai Barang dan Jasa Modal Transfer (Lainnya) Modal Transfer (Lainnya) Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Komposisi belanja di tingkat kabupaten/kota belum membaik. Belanja pegawai mendominasi alokasi belanja di kabupaten/kota dan tidak terlihat adanya penurunan. Selama periode 2005-2010, porsi belanja pegawai terhadap total belanja kabupaten/kota rata-rata 45 persen per tahun, sementara porsi belanja modal rata-rata 25 persen per tahun. Penurunan belanja modal di tingkat provinsi tidak diimbangi kenaikan proporsinya di tingkat kabupaten/kota. Proporsi belanja modal terhadap total belanja kabupaten/kota menurun dari 31 persen pada tahun 2006 hingga menjadi 24 persen pada tahun 2010. Sebagian besar kabupaten/kota memiliki belanja pegawai di atas 50 persen. Selama periode 2005-2010, hampir semua kabupaten/kota kecenderungan mengalami peningkatan proporsi belanja pegawai. Pada tahun 2010, terdapat 15 kabupaten/kota yang mempunyai proporsi belanja pegawai diatas 50 persen. Kabupaten Soppeng, Kota Makassar dan Kota Palopo mengalokasikan anggaran diatas 60 persen dari total belanja daerah masing-masing. 4.3 Belanja Menurut Sektor Sektor pemerintahan umum mendapat alokasi belanja terbesar. Belanja pemerintahan umum (tidak termasuk transfer) meningkat hampir dua kali lipat dari Rp. 2,7 triliun pada tahun 2005 hingga menjadi Rp. 4,4 triliun pada tahun 2010. Porsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja pemerintah (provinsi dan kebupaten/kota) mencapai rata-rata 27 persen per tahun. Pada periode yang sama, porsi belanja sektor-sektor infrastruktur rata-rata 16 persen, 52 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 4 Belanja Daerah 25 persen untuk sektor pendidikan dan selebihnya terdistribusi pada sektor-sektor yang lain. Meskipun belanja pemerintahan umum mendominasi belanja sektor pemerintah daerah, namun proporsinya terhadap total belanja daerah cenderung menurun hingga tahun 2010. Belanja sektor strategis mengalami peningkatan. Sektor pendidikan adalah sektor yang mengalami peningkatan belanja terbesar. Belanja pendidikan meningkat dari Rp. 1,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 5,2 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata meningkat 27 persen per tahunnya. Belanja sektor kesehatan meningkat dari Rp. 658 miliar (2005) menjadi Rp. 1,7 triliun (2010), tumbuh rata-rata sebesar 22 persen tiap tahunnya. Akan tetapi proporsinya terhadap total belanja relatif tetap (9 persen). Belanja untuk sektor infrastruktur mengalami peningkatan hingga tahun 2008, namun dua tahun berikutnya cenderung menurun. Hal ini disebabkan adanya pembangunan terminal dan landasan baru Bandara Sultan Hasanuddin yang selesai tahun 2008, di mana biaya pembebasan lahan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Gambar 4.6. Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan Berdasarkan Sektor, 2007- 2011 18.000 100% 11% 10% 12% 13% 10% 13% 12% 16.000 90% 2.096 1.948 14.000 2.056 1.481 80% 1.649 8% 8% 9% 9% 10% 10% 10% 1.739 1.625 70% 12.000 1.378 1.530 60% Rp miliar 21% 20% 10.000 1.077 1.218 25% 24% 28% 31% 31% 50% 8.000 3.703 4.159 5.138 5.001 916 839 3.509 40% 13% 17% 18% 18% 6.000 658 2.030 2.743 30% 18% 15% 13% 1.668 1.754 2.474 2.703 2.476 2.065 4.000 20% 1.049 34% 32% 2.000 3.923 3.346 3.661 4.042 10% 26% 26% 23% 22% 25% 2.676 3.290 3.600 0% Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Belanja pemerintah provinsi mayoritas untuk sektor pemerintahan umum dan infrastruktur. Di luar transfer yang semakin meningkat, belanja pemerintahan umum pemerintah provinsi juga meningkat dari Rp. 401 miliar menjadi Rp. 512 miliar. Namun proporsinya semakin menurun dari 25 persen menjadi 19 persen. Di sisi lain terjadi peningkatan pada belanja infrastruktur sebanyak dua kali lipat dari Rp. 174 miliar menjadi Rp. 342 miliar. Belanja infrastruktur pemerintah provinsi mencapai realisasi tertinggi pada tahun 2008 bersamaan dengan selesainya pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Di tingkat kabupaten, sektor pendidikan mendominasi belanja. Belanja sektor pendidikan kabupaten/kota meningkat hampir empat kali lipat dari Rp. 1,6 triliun menjadi Rp. 5 triliun pada tahun 2010. Proporsi belanja pendidikan juga terus meningkat hingga mencapai 42 persen pada tahun 2010 melampaui belanja pemerintahan umum sebesar 26 persen. Peningkatan ini sejalan dengan belanja transfer pemerintah provinsi yang makin bertambah. Meski demikian perlu dicermati bahwa 75 persen belanja pendidikan dialokasikan untuk belanja pegawai. Proporsi belanja kesehatan juga meningkat menjadi 12 persen (2010). Seperti halnya pada pemerintah provinsi, belanja pegawai kabupaten/kota juga menunjukkan penurunan proporsi dari 36 persen menjadi 26 persen, walaupun besaran belanjanya meningkat. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 53 Gambar 4.7. Belanja Sektor Strategis Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota 1.600 Provinsi 30% 12.000 45% Kabupaten/Kota 41% 40% 39% 1.400 25% 40% 24% 25% 10.000 35% 33% 35% 1.200 21% 21% 20% 19% 18% 20% 8.000 27% 30% Rp miliar 1.000 25% Rp miliar 25% 4.893 800 15% 6.000 5.028 3.599 4.052 20% 3.392 600 342 416 257 406 298 10% 188 4.000 1.585 1.913 15% 174 400 10% 5% 2.000 3.432 3.532 200 2.856 3.127 2.881 3.149 5% 2.275 401 435 473 491 466 512 510 0 0% 0 0% Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Belanja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan menyerap alokasi anggaran yang relatif kecil. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi belanja untuk sektor pertanian terhadap total belanja kabupaten/kota hanya berkisar rata-rata 3 persen pertahun dan rata-rata 4 persen per tahun pada pemerintah provinsi. Belanja sektor pertanian sebagian besar dialokaikan untuk belanja pegawai dengan rata-rata 49 persen per tahun. 4.4 Belanja Terkait Kesetaraan Gender di Sulawesi Selatan Anggaran yang responsif gender di Sulawesi Selatan memperlihatkan pola kecenderungan yang meningkat, meskipun dengan proporsi yang sangat kecil selama periode 2007-2010. Besaran anggaran responsif gender di Sulawesi Selatan dapat ditunjukkan oleh belanja untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai salah satu unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi pokok dalam pengimplementasian Pengarusutamaan Gender (PUG). Total belanja untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sebesar Rp. 555 juta pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 25 miliar pada tahun 2010 dan direncanakan meningkat menjadi Rp 32 miliar pada tahun anggaran pokok 2011. Porsi belanja pemberdayaan perempuan (Provinsi+Kabupaten/Kota) terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan berada pada kisaran 0–0,19 persen atau secara rata-rata 0,10 persen pertahun selama 2007-2010. Pada level provinsi, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan meningkat dalam kurun waktu 2009-2010. Pada tahun 2010, besaran anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan berkisar Rp 5,2 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 5,59 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah provinsi, porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja pemerintah Sulawesi Selatan sebesar 0,01 persen pada tahun 2009 dan 0,20 persen pada tahun 2010. Kecilnya porsi anggaran terkait PUG tentu saja tidak memberi dampak besar terhadap keberhasilan strategi PUG. Upaya untuk mendorong kesetaraan dan keadilan gender harus 54 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 4 Belanja Daerah diiringi oleh penganggaran yang cukup memadai. Komponen belanja yang terbesar adalah belanja pegawai dengan jumlah anggaran yang terserap di atas 50 persen, disusul oleh belanja barang dan jasa dengan besaran anggaran yang terserap sekitar 40 persen, selebihnya untuk belanja modal. Gambar 4.8. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 Provinsi Kabupaten/Kota 6 0,25 30,00 0,25 0,22 5 0,20 0,20 25,00 0,20 0,20 0,20 4 20,00 Rp Miliar 0,15 0,15 Rp Miliar Persen Persen 0,14 3 15,00 5,22 5,59 27,55 26,43 0,10 0,10 2 10,00 0,09 20,23 1 0,05 10,96 0,05 5,00 0,00 0 -- 0,01 0,15 - - 0,56 - 2011** 2007 2008 2009 2010* 2011** 2007 2008 2009 2010* Belanja Pemberdayaan Perempuan Belanja Pemberdayaan Perempuan % terhadap total belanja % terhadap total belanja Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Pada pemerintah Kabupaten/Kota, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga memperlihatkan kecenderungan meningkat kecuali pada tahun 2010. Pada tahun 2007, belanja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebesar Rp. 0,56 miliar meningkat menjadi Rp. 27 miliar pada tahun 2009 dan menurun drastis menjadi Rp. 20 miliar pada tahun 2010. Porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja kabupaten/kota meningkat hingga mencapai 0,22 persen tahun 2009, akan tetapi pada tahun 2010 menurun menjadi 0,14 persen. Penurunan anggaran sektor pemberdayaan perempuan tahun 2010 terutama disebabkan oleh perubahan struktur organisasi daerah. Badan pemberdayaan perempuan sebelum tahun 2010 masih berada dalam lingkungan Sekretariat Daerah kemudian dengan struktur organisasi yang baru bergabung kedalam Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Pada pemerintah provinsi, alokasi belanja pegawai hampir berimbang dengan alokasi belanja barang dan jasa, sementara pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai lebih dominan. Pada tahun 2010, alokasi belanja pegawai pada pemerintah provinsi sebesar Rp. 2,4 miliar dan pada tahun anggaran 2011 diperkirakan meningkat menjadi Rp. 2,9 miliar, sementara belanja barang dan jasa, pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,4 miliar dan Rp. 2,3 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai sebesar Rp. 12,7 miliar dan Rp. 19,5 miliar pada tahun 2011, sementara belanja barang dan jasa hanya berkisar Rp. 5 miliar. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 55 Gambar 4.9. Belanja Klasifikasi Ekonomi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Sulawesi Selatan, 2010-2011 Provinsi Kabupaten/Kota 3,50 25,00 3,00 2,87 19,50 2,37 2,38 2,31 20,00 2,50 2,00 15,00 Rp Miliar 12,71 Rp Miliar 1,50 10,00 1,00 0,48 0,41 5,03 4,71 0,50 5,00 2,48 2,21 - - Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok. Belanja untuk program-program utama yang responsif gender pada Badan Pemberdayaan Perempuan di Provinsi Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, program yang menyerap anggaran cukup besar adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan perempuan dengan anggaran sebesar Rp. 692 juta, kemudian diikuti pada urutan kedua oleh program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan dengan anggaran sebesar Rp. 372 juta dan urutan ketiga ditempati oleh program perlindungan anak dengan anggaran sebesar Rp. 262 juta. Porsi anggaran yang relatif lebih tinggi pada tiga program tersebut dari program lainnya, mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah untuk memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak cukup tinggi. Pada tahun 2011, penguatan kelembagaan perempuan meskipun besaran alokasi anggaran menurun, namun masih tetap memperoleh alokasi anggaran lebih tinggi dibandingkan dengan program-program lainnya. Gambar 4.10. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi Bervariasi Program Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Keserasian Kebijakan Pengarusutamaan gender 156,42 217,6 Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan gender 292,92 131,33 Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan 426,98 372,45 Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan anak 263,96 262,05 Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Perempuan 424,34 692,1 Keluarga Berencana 96,79 133,15 Kesehatan reproduksi remaja 157,45 99,3 Peningkatan kualitas pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak 56,51 174,55 Pengembangan Data/informasi kependudukan dan keluarga 345,94 161,3 Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok (dalam Juta Rp). 56 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 4 Belanja Daerah 4.5 Kesimpulan dan Rekomendasi  Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode 2005-2010. Hal ini mengindikasikan peran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Akan tetapi, masih terdapat kecenderungan peningkatan belanja pemerintah daerah tidak diikuti oleh pengelolaan belanja yang berkualitas yang tercermin pada ketimpangan belanja yang cukup besar baik berdasarkan klasifikasi ekonomi, sektor maupun berdasarkan fungsi. Untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi dalam pengalokasian belanja, maka pengelolaan keuangan daerah yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi masih perlu mendapat perhatian lebih serius.  Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota relatif sangat besar, sementara proporsi belanja modal masih relatif kecil. Besarnya proporsi belanja pegawai dari total belanja menandakan banyaknya jumlah pegawai yang harus digaji di daerah termasuk pegawai di provinsi dan pegawai di kabupaten/kota. Untuk perspektif ke depan, proporsi belanja pegawai sedapat mungkin dikurangi sehingga proporsi belanja modal dapat lebih ditingkatkan. Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa rekomendasi kebijakan yaitu: (i) Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) untuk 2-3 tahun kedepan, (ii) dapat melakukan penambahan tenaga teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan, tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai negeri yang pensiun.  Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Tidak perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup dengan melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kabupaten/kota yang rasio guru murid lebih baik ke daerah kabupaten/kota yang kurang baik, (ii) Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik.  Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor pendidikan, infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi belanja paling besar sementara sektor kesehatan dan pertanian memperoleh alokasi yang relatif lebih kecil. Terkait dengan itu, beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu ditingkatkan ke tingkat yang lebih signifikan, (ii) Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi (pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.  Alokasi belanja yang terkait dengan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Sulawesi Selatan masih sangat kecil. Rendahnya alokasi anggaran yang responsif gender disebabkan oleh beberapa hal antara lain; (i) masih rendahnya komitmen penentu kebijakan terkait dengan implementasi strategi PUG; (ii) penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender oleh SKPD belum sepenuhnya dilakukan. Untuk meningkatkan proporsi belanja yang terkait dengan program-program pembangunan yang responsif gender, direkomendasikan beberapa hal: (i) Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing- masing SKPD terkait dengan implementasi strategi PUG, (ii) Para perencana anggaran pada SKPD perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan/pendampingan terkait PUG agar anggaran yang disusun menjadi lebih responsif gender. (iii) perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender pada seluruh SKPD terkait. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 57 Bab 5 Analisis Sektor Strategis 5.1 Analisis Sektor Pendidikan Pemerintah Sulawesi Selatan telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013, sektor pendidikan bersama dengan sektor kesehatan menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk memastikan bahwa semua anak yang berada pada usia sekolah benar-benar duduk di bangku sekolah, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis di seluruh kabupaten/kota. Bersamaan dengan itu, juga telah dikembangkan berbagai kebijakan lainnya seperti peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, promosi pendidikan, pemberantasan buta aksara, dan pengembangan budaya baca. 5.1.1 Belanja Sektor Pendidikan Secara riil, proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan sudah di atas 20 persen dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah sudah mencapai 31 persen, padahal tahun 2005 baru mencapai 21 persen. Belanja sektor pendidikan yang meningkat lebih cepat dibandingkan dengan total belanja daerah menyebabkan proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah terus membesar. Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 18 35% 31% 31% 16 28% 30% Proporsi Belanja Pendidikan 14 25% 24% 25% 12 21% 20% Rp Triliun 10 20% 8 16,7 16,3 15,3 14,8 15% 14,0 6 10,3 10% 4 8,0 5,1 5,0 5% 2 3,5 3,7 4,1 1,72 ,0 0 0% Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok. Belanja untuk sektor pendidikan di Sulawesi Selatan meningkat tiga kali lipat selama periode 2005-2011. Pada tahun 2005, total belanja riil sektor pendidikan sebesar Rp. 1,7 triliun dan meningkat menjadi Rp. 5,0 triliun pada tahun 2011. Belanja pendidikan kabupaten/kota berkontribusi besar bagi peningkatan total belanja pendidikan di Sulawesi Selatan. Secara riil, belanja pendidikan kabupaten/kota meningkat rata-rata 34 persen per tahun, sedangkan belanja pendidikan provinsi hanya meningkat 5 persen per tahun. Proporsi belanja pegawai relatif sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 70 persen dari total belanja sektor pendidikan. Meskipun proporsinya relatif fluktuatif namun menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2010, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen. Dengan kata lain, lebih dari empat per lima dari total belanja pendidikan diperuntukkan untuk belanja pegawai. Padahal tahun 2006 proporsinya masih berada pada angka 67 persen. Peningkatan proporsi belanja pegawai telah menyebabkan penurunan proporsi belanja modal. 60 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 6.000 90% 80% 80% 76% 74% 75% 80% 5.000 70% 624 70% 664 390 Proporsi Belanja Riil 4.000 67% 561 60% 717 604 908 363 50% 3.000 236 215 40% 2.000 4.125 30% 205 476 3.775 25% 3.069 133 23% 2.669 2.581 20% 1.000 12% 17% 12% 13% 17% 1.324 1.361 9% 11% 10% 7% 9% 8% 6% 8% 0 0% Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok. Proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pendidikan di kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan dengan di provinsi. Pada tahun 2010, proporsi belanja modal di kabupaten/kota mencapai 12 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan provinsi hanya 8 persen. Namun demikian, proporsi belanja pegawai di provinsi relatif lebih rendah, yaitu hanya 64 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan kabupaten/kota mencapai 81 persen. Untuk belanja barang dan jasa, kabupaten/kota mengalokasi sekitar sepertiga, sedangkan provinsi hanya 7 persen dari total belanja pendidikan masing-masing. Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005- 2011 Kabupaten/Kota Provinsi 2% 12% 7% 34% 64% 81% Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 61 5.1.2 Kinerja Hasil dan Keluaran Sektor Pendidikan Rasio sekolah-murid dan guru-murid di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2010, setiap SD rata-rata mampu menampung 165 murid, SMP rata-rata mampu menampung 252 murid, dan setiiap SMA rata-rata mampu menampung 336 murid. Jumlah siswa untuk setiap guru juga menurun rasionya. Pada tahun 2010, setiap guru SD harus melayani 15 murid, untuk SMP setiap guru harus melayani 12 murid, dan untuk SMA, setiap guru harus melayani 12 murid. Gambar 5.4 menunjukkan bahwa rasio sekolah-murid yang makin meningkat menandakan makin banyaknya siswa di Sulawesi Selatan, namun rasio guru-murid yang menurun menunjukkan respon penambahan tenaga pendidikan yang meningkat untuk sekolah-sekolah tersebut. Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 400 25 21,7 21,2 350 18,9 17,8 20 300 15,1 15,3 14 14,4 13,9 250 13,4 15 12,1 12 200 14,9 12,9 13 12,5 150 11,7 12,1 10 100 5 50 170124322983 60 51 05 161124822923 65 27 31 168124223463 65 52 36 0 0 Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan Dalam Angka. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Sulawesi Selatan Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah relatif lebih rendah dibandingkan dengan APS (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*) Nasional pada semua jenjang pendidikan. Pada tahun 2010, APS SD/MI (6-12 tahun), SMP/MTs (13-15 tahun) dan 53 Sulsel 16-18 Tahun SMA/SMK/MA (16-18 tahun) Sulawesi Selatan masing- 56 Indonesia masing sebesar 97 persen, 83 persen, dan 53 persen, padahal secara Nasional sudah mencapai masing-masing 83 98 persen, 86 persen, dan 53 persen. 13-15 Tahun 86 Perempuan memiliki tingkat APS yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada semua 97 6-12 Tahun 98 kelompok umur menurut jenjang pendidikan. Kecuali perempuan pada kelompok umur 16-18 tahun (jenjang 05 01 00 pendidikan SMA/SMK/MA), rata-rata seluruh APS, baik laki-laki maupun perempuan, pada semua jenjang Sumber : BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial pendidikan menunjukkan peningkatan selama periode Ekonomi Indonesia. 2006-2009. Catatan: *) Angka sementara. 62 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009 7-12 tahun (SD/MI) 13-15 tahun (SMP/MTs) 16-18 tahun (SMA/SMK/MA) Tahun Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan 2006 94,53 95,66 77,18 79,69 49,58 52,25 2007 94,79 95,75 77,12 79,74 49,65 53,06 2008 95,31 95,95 77,16 79,89 49,98 53,06 2009 95,93 97,19 79,86 82,04 51,30 51,94 Sumber: BPS. Selama periode 2006-2010, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan yang konsisten, namun masih berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah masih 7 tahun dan meningkat menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Angka ini masih berada di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,9 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah sebelum naik ke kelas II SMP. Namun kesenjangan antara capaian Sulawesi Selatan dan nasional tampak semakin tipis dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, jarak antara Sulawesi Selatan dan nasional hanya 0,2 poin dan mengecil menjadi 0,1 poin empat tahun kemudian. Jika situasi ini terus berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan tampak semakin baik dibandingkan dengan angka nasional. Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 8,00 7,90 7,80 7,80 7,70 7,60 7,50 7,40 7,40 7,40 7,30 7,20 7,20 Persen 7,20 7,00 7,00 6,80 6,60 6,40 2006 2007 2008 2009 2010*) Indonesia Sulsel Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka sementara. Angka melek huruf di Sulawesi Selatan masih tertinggal. Pada tahun 2010, angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Sulawesi Selatan hanya sebesar 87,75 persen. Artinya, setiap sepuluh penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah berada di sekitar 93 persen. Angka melek huruf Sulawesi Selatan juga meningkat sangat lamban, perbandingan angka melek huruf laki-laki masih cukup jauh dengan angka melek huruf perempuan. Pada tahun 2005 angka melek huruf laki-laki 87,30 persen, sedangkan perempuan hanya sebesar 82,2 persen. Pada tahun 2010 pun masih di sekitar yang sama untuk angka melek huruf perempuan 85,54 persen, sedangkan laki-laki sudah mencapai 90,21 persen. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 63 Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 94 92,58 92,91 91,87 92,19 91,45 92 90,91 90 87,75 87,02 Persen 88 86,53 86,24 Indonesia 85,70 86 84,60 Sulsel 84 82 80 2005 2006 2007 2008 2009 2010*) Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka sementara. Gambar 5.8. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010 92 90,29 90,21 90 89,41 89,23 88,32 88 87,30 86 85,54 Persen 84,15 84,19 Laki-Laki 84 83,30 83,42 Perempuan 82,20 82 80 78 2005 2006 2007 2008 2009 2010*) Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka Sementara. Angka melek huruf di Sulawesi Selatan menempati posisi ketiga terendah di Indonesia, sesudah Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta terendah secara regional (Pulau Sulawesi). Posisi ini bahkan tidak berubah dalam enam tahun terakhir. Ketika Sulawesi Selatan mencatat angka melek huruf 87,75 persen pada tahun 2010, Sulawesi Utara sudah mencatat angka 99,30 persen yang merupakan angka tertinggi secara Nasional. Ini mengindikasikan perlunya melakukan intervensi secara serius terhadap penduduk buta huruf di Sulawesi Selatan. Gambar 5.9. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) 120 100 92,91 87,75 80 60 Persen 40 20 0 Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka Sementara. 64 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Selatan, 2005-2009 Pada tahun 2005, kelompok rumah tangga Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 terkaya (kuintil 5) mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar enam kali lipat dari kelompok 2005 236.450 289.374 423.126 611.534 1.282.641 rumah tangga termiskin (kuintil 1). Meskipun 2006 205.492 297.089 422.185 758.488 1.925.791 rasio tersebut membaik pada tahun 2009, namun perbedaan besaran belanjanya semakin besar. 2007 240.271 318.568 416.976 638.571 1.476.404 Pada tahun 2009, setiap rumah tangga termiskin 2008 426.744 518.343 676.021 837.362 1.465.555 membelanjakan Rp. 673.538 untuk pendidikan, sementara rumah tangga terkaya membelanjakan 2009 673.537 861.314 1.026.990 1.353.976 3.025.199 Rp. 3.025.199. Sumber: Diolah dari Susenas 2009. 5.1.3 Analisis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan hampir sepertiga belanja daerahnya untuk sektor pendidikan. Secara riil per kapita , Kota Pare-pare menempati urutan teratas dalam belanja pendidikan, sedangkan Kabupaten Bone menempati urutan terbawah. Pada tahun 2010, Kota Pare-pare mengalokasikan Rp. 1.245.430 untuk sektor pendidikan per kapita, sedangkan Kabupaten Bone hanya mengalokasikan Rp. 287.220. Sedangkan Kabupaten Jeneponto menempati urutan teratas dengan mengalokasikan hampir setengah dari total belanja daerahnya untuk sektor pendidikan. Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 Belanja Pendidikan Riil Per Kapita 1.400 1.245 1.200 1.000 800 Rp Ribu 600 400 287 200 0 Kab. Pangkep Kab. Takalar Kab. Soppeng Kab. Bulukumba Kab. Pinrang Kab. Sinjai Kota Makassar Kab. Luwu Timur Kab. Tator Kota Parepare Kota Palopo Kab. Enrekang Kab. Bantaeng Kab. Sidrap Kab. Jeneponto Kab. Maros Kab. Wajo Kab. Bone Kab. Barru Kab. Luwu Kab. Selayar Kab. Luwu Utara Kab. Gowa Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Belanja pegawai mendominasi belanja pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Secara rata- rata, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen. Kabupaten Bone mencatat proporsi belanja pegawai yang relatif paling kecil (62%), dan sebaliknya Kabupaten Sinjai menunjukkan proporsi belanja pegawai yang relatif paling besar (89%). Untuk belanja modal, Kota Makassar menunjukkan proporsi yang relatif paling kecil (7%), dan sebaliknya Kabupaten Bone memperlihatkan proporsi yang relatif paling besar (58%). Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 65 Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 100% 90% 80% 70% 60% 50% 87% 87% 82% 82% 89% 82% 77% 86% 78% 78% 83% 76% 40% 80% 84% 79% 76% 82% 79% 85% 78% 83% 62% 68% 30% 20% 10% 0% % Belanja Pegawai % Belanja Barang dan jasa % Belanja Modal Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Rasio murid-sekolah (RMS) dan rasio murid-guru (RMG) untuk setiap jenjang pendidikan relatif bervariasi antar kabupaten/kota. Untuk tingkat SD, Kabupaten Soppeng mencatat RMS dan RMG yang paling rendah dan Kota Makassar yang paling tinggi. Untuk tingkat SMP, Kabupaten Selayar mencatat RMS dan RMG terendah dan Kota Palopo tertinggi untuk RMS dan Kabupaten Luwu Utara tertinggi untuk RMG. Sedangkan untuk tingkat RMS dan RMG SMA, Kabupaten Maros terendah dan Kabupaten Luwu tertinggi. Gambaran ini mengindikasikan perlunya pemerataan dan sebaran sekolah dan guru antar kabupaten/kota. 66 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota RMS SD RMG SD RMS SMP RMG SMP RMS SMA RMG SMA Selayar 110,66 14,05 133,77 7,91 253,00 12,49 Bulukumba 141,80 12,26 219,49 11,84 459,44 17,30 Bantaeng 196,47 11,01 306,55 12,09 596,50 13,71 Jeneponto 184,67 17,42 200,63 15,09 372,31 16,69 Takalar 151,89 10,87 279,71 10,88 405,50 10,78 Gowa 198,41 16,73 234,25 11,18 368,05 11,93 Sinjai 136,72 11,84 238,02 11,40 351,63 10,46 Maros 168,61 14,45 249,43 11,03 246,40 8,31 Pangkep 137,67 12,89 250,42 10,33 291,29 11,96 Barru 105,54 10,51 221,38 9,60 474,29 13,61 Bone 138,31 14,13 232,59 11,95 503,50 13,33 Soppeng 104,51 8,87 251,29 9,73 355,08 9,49 Wajo 106,27 16,21 276,31 10,66 397,50 11,00 Sidrap 222,71 19,88 286,20 11,23 382,43 10,93 Pinrang 153,08 13,85 339,20 15,89 498,13 15,72 Enrekang 145,02 14,92 251,97 8,25 361,87 11,88 Luwu 204,58 16,69 233,00 11,50 551,37 19,44 Tana Toraja 167,67 15,78 191,22 10,29 320,25 10,48 Luwu Utara 192,02 15,82 234,90 19,43 418,00 14,67 Luwu Timur 225,33 21,28 315,11 15,01 379,45 8,73 Toraja Utara 208,51 17,82 234,00 19,13 404,25 17,33 Kota Makassar 263,80 27,65 286,24 13,76 345,86 16,48 Kota Pare Pare 188,68 12,57 325,00 10,66 429,63 9,99 Kota Palopo 251,85 15,58 379,52 11,84 395,54 9,42 Sumber: diolah dari Sulawesi Selatan Dalam Angka, BPS. Catatan: RMS=rasio murid-sekolah; RMG=rasio murid-guru. Sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan rata-rata lama sekolah yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata provinsi. Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 17 di antaranya berada di bawah rata-rata provinsi, dan hanya enam kabupaten/kota yang berada di atas rata-rata provinsi. Daerah kota memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten. Kota Makassar menempati urutan teratas (10,6 tahun), dan sebaliknya, Kabupaten Bantaeng menempati urutan terbawah (5.9 tahun). Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 67 Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 Tahun Lama Sekolah 12 10,60 10 7,40 8 5,90 6 4 2 0 Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri. Daerah perkotaan memiliki angka melek huruf yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah kabupaten. Seluruh daerah kota di Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-Pare, mencatat angka melek huruf tertinggi di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, daerah kabupaten yang berada di wilayah selatan Sulawesi Selatan (Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Gowa, dan Takalar) justru menunjukkan angka melek huruf yang paling rendah. Informasi ini memberi arah bahwa penanganan penduduk buta huruf perlu dilakukan di daerah kabupaten, terutama di wilayah selatan Sulawesi Selatan. Gambar 5.13. Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 120 97,32 100 87,02 77,20 80 60 Persen 40 20 0 Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri. Secara umum, angka melek huruf laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada semua kelompok umur di kabupaten/kota. Kesenjangan paling jauh angka melek huruf tertinggi antara laki-laki dengan perempuan terjadi pada kelompok umur 60 tahun ke atas. Pada beberapa kasus, angka melek huruf perempuan lebih baik dibandingkan dengan laki-laki, terutama pada kelompok umur 15-29 tahun. Ini menunjukkan di masa lalu akses perempuan terhadap pendidikan berkualitas masih lebih rendah daripada akses laki-laki. Tetapi pada generasi yang lebih muda terlihat lebih setara. 68 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 15-29 30-44 45-60 60 ke atas Kabupaten/Kota L P L P L P L P Selayar 98,7% 98,9% 94,8% 92,4% 88,6% 84,6% 73,7% 57,6% Bulukumba 96,9% 96,6% 95,4% 89,2% 79,8% 77,8% 67,6% 43,7% Bantaeng 92,4% 95,7% 79,8% 77,6% 78,1% 62,4% 60,1% 37,5% Jeneponto 90,4% 94,8% 85,6% 79,8% 60,1% 55,0% 52,5% 34,3% Takalar 96,2% 96,1% 88,9% 89,6% 73,1% 64,4% 58,1% 32,0% Gowa 97,3% 96,5% 87,0% 83,1% 75,6% 63,4% 52,2% 33,3% Sinjai 98,9% 98,6% 94,1% 93,4% 80,1% 75,2% 52,3% 37,9% Maros 97,9% 97,1% 92,3% 81,9% 76,2% 54,9% 60,7% 25,0% Pangkep 98,2% 98,9% 91,5% 89,2% 83,8% 71,9% 65,7% 51,8% Barru 98,9% 98,8% 93,5% 94,2% 83,9% 83,9% 77,1% 57,4% Bone 97,3% 98,3% 94,8% 89,6% 79,3% 73,5% 59,9% 43,4% Soppeng 97,8% 99,3% 96,8% 96,6% 87,1% 82,1% 59,1% 47,6% Wajo 96,5% 97,3% 92,0% 89,1% 81,3% 70,8% 64,6% 37,9% Sidrap 99,1% 99,1% 94,1% 92,7% 79,3% 69,7% 54,6% 29,0% Pinrang 99,4% 99,7% 96,9% 93,6% 91,8% 82,9% 76,6% 47,1% Enrekang 99,0% 98,8% 98,1% 95,8% 87,1% 80,6% 71,7% 40,1% Luwu 96,3% 97,0% 94,1% 94,8% 86,5% 78,6% 67,4% 45,8% Tana Toraja 97,1% 98,0% 95,1% 89,6% 84,0% 76,9% 69,1% 48,0% Luwu Utara 98,4% 99,4% 95,1% 92,2% 85,0% 73,2% 71,8% 47,9% Luwu Timur 99,7% 97,4% 98,0% 96,8% 96,0% 80,4% 81,0% 57,8% Makassar 99,8% 99,4% 98,3% 97,5% 95,5% 91,4% 92,5% 73,2% Pare-Pare 100,0% 99,2% 96,9% 97,4% 94,8% 89,2% 88,0% 72,9% Palopo 99,5% 99,3% 98,6% 97,1% 97,4% 92,0% 90,0% 75,9% Sulawesi Selatan 97,8% 98,1% 93,9% 90,8% 83,9% 76,0% 67,8% 46,2% Sumber: Hasil perhitungan dengan menggunakan data Susenas 2009. Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan di kabupaten/kota, menunjukkan kesenjangan yang sangat bervariasi. Kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi, menunjukkan kesenjangan belanja pendidikan yang besar. Di Kabupaten Pangkep misalnya, belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) sebesar 6 kali dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Sidrap, yang merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Selatan, belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya sekitar 35 persen lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Secara absolut, rumah tangga termiskin di Kabupaten Selayar mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif paling besar (Rp 1,6 juta), dan sebaliknya, Kabupaten Maros yang relatif paling kecil (Rp 319 ribu). Dengan kata lain, beban belanja pendidikan rumah tangga miskin di Selayar jauh lebih berat dibanding rumah tangga miskin di Maros atau daerah lain. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 69 Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Selayar 1.634.910 2.093.789 1.641.826 2.298.767 2.988.902 Bulukumba 446.536 606.100 688.455 805.486 1.027.435 Bantaeng 476.008 494.070 673.027 1.007.042 2.121.994 Jeneponto 535.688 744.131 775.388 898.718 1.965.042 Takalar 436.606 573.299 649.058 1.035.340 2.816.831 Gowa 646.489 747.363 921.116 1.051.495 2.832.511 Sinjai 599.007 627.840 603.317 1.167.385 2.268.316 Maros 319.223 543.503 837.012 1.163.450 2.531.120 Pangkep 321.754 407.500 539.854 803.074 1.929.913 Barru 385.041 447.098 863.926 1.290.667 1.657.805 Bone 879.729 910.411 1.061.109 1.407.377 1.714.873 Soppeng 725.793 868.002 924.739 1.051.906 1.484.024 Wajo 614.030 751.011 837.756 1.416.800 2.324.109 Sidrap 855.456 807.019 1.139.197 1.117.655 1.188.042 Pinrang 743.691 772.508 1.191.576 1.109.996 1.780.194 Enrekang 522.448 787.213 847.590 1.195.532 1.281.045 Luwu 823.672 1.190.543 1.439.757 1.183.724 2.036.514 Tana Toraja 791.143 1.170.626 1.438.519 2.063.555 4.257.060 Luwu Utara 658.641 756.666 705.603 1.381.503 840.779 Luwu Timur 879.565 1.014.821 1.058.187 1.100.179 1.621.045 Makassar 768.492 736.174 1.340.752 1.490.257 3.700.023 Pare-Pare 951.032 1.055.324 1.150.990 1.342.745 1.967.513 Palopo 933.997 1.284.849 1.391.291 1.678.232 3.083.121 Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. 5.1.4 Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan Dasar kebijakan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah RPJMD 2008-2013 yang menempatkan peningkatan kualitas manusia sebagai agenda pertama. Pendidikan gratis dan kesehatan gratis merupakan janji politik kepala daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, pendidikan gratis dan kesehatan gratis dituangkan dalam RPJMD 2008-2013 untuk mendukung visi “Sulawesi Selatan sebagai 10 Terbaik dalam Pemenuhan Hak Dasar�. Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan gratis adalah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaannya setiap tahun didasarkan pada peraturan gubernur: pada tahun 2008-2009 digunakan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan; pada tahun 2010 didasarkan pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan; dan pada tahun 2011 didasarkan pada Pergub No. 06 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan. Dengan pengaturan yang diperbarui setiap tahun menunjukkan bahwa kebijakan ini berupaya merespons dinamika sebagai proses belajar dalam penyempurnaan pelaksanaannya. 70 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan Kebijakan Anggaran Pendidikan Gratis Provinsi (40%) Rekening Kas Nota Kesepahaman Daerah Kab/Kota Peraturan Daerah Prov-Kab/Kota Anggaran Kab/ Kota (60%) Juklak (Pergub) Proposal/Usulan Tim Pengendali Tim Pengendali Verifikasi Dinas Sekolah Provinsi Kab/Kota PDDK Kab/Kota Komite Sekolah Monev Dinas PDDK Pemanfaatan Pencairan Anggaran Kab/Kota Anggaran (Sekolah) (Sekolah) Sumber: Diolah dari Peraturan Gubernur. Prinsip dasar, tujuan, strategi dan organisasi penyelenggaraan pendidikan gratis terarah pada perbaikan kualitas manusia Sulawesi Selatan dalam suatu sinergi pemerintahan dan gerakan masyarakat. Dengan prinsip dasar bahwa “semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah�, bahwa “bagi anak usia sekolah yang tidak ikut pendidikan maka pemerintah daerah wajib menyurati orang tuanya�, dan bahwa “biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah�; dan bahwa tujuan pendidikan gratis bukan hanya pada pemerataan tetapi juga perbaikan kualitas pendidikan; didukung sinergi pendanaan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten; maka kebijakan pendidikan gratis diharapkan menyentuh seluruh aspek dalam perbaikan kualitas manusia melalui pendidikan. Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan variabel perhitungan besaran bantuan pendidikan gratis secara berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Untuk SD/MI/SDLB/PPS ULA: a. Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp. 4.000/ siswa/bulan; b. Insentif: kepala sekolah sebesar Rp. 125.000/bulan, Insentif jam mengajar guru sebesar Rp. 2.500/ jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan pembelajaran, Insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp. 100.000/bulan, Insentif remedial dan pengayaan sebesar Rp. 5.000/jam pelajaran, Insentif Bujang sebesar Rp. 75.000/orang/bulan, Insentif Satpam sebesar Rp. 250.000/bulan. Untuk SMP/MTs/SMPLB/PPS.Wustha: (a) Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp. 17.600/siswa/bulan; (b) Insentif kepala sekolah sebesar Rp. 125.000/bulan, insentif wakil kepala sekolah sebesar Rp. 100.000/bulan, Insentif kepala urusan sebesar Rp. 100.000/bulan, insentif wali kelas sebesar Rp. 100.000/bulan, insentif guru BP/BK sebesar Rp. 100.000/bulan, insentif pustakawan sebesar Rp. 75.000/bulan, insentif laboran sebesar Rp. 75.000/bulan, insentif jam mengajar guru sebesar Rp. 2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan pembelajaran, insenitif remedial dan pengayaan sebesar Rp. 5.000/ jam pelajaran, insentif kepala tata usaha sebesar Rp. 100.000/bulan, insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp. 100.000/bulan, insentif staf tata usaha sebesar Rp. 75.000/bulan, insentif bujang sebesar Rp. 75.000/orang/ bulan, dan insentif satpam sebesar Rp. 250.000/orang/bulan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 71 Cakupan programatik dan cakupan penerima dari program pendidikan gratis memiliki lingkup terbatas tetapi dengan aspek yang relatif menyeluruh. Cakupan programatik dari pendidikan gratis meliputi “bebas biaya pendidikan� bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan penuh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, “subsidi biaya pendidikan� bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, dan “beasiswa pendidikan� bagi peserta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu. Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis adalah jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas. Dengan cakupan dan sasaran yang demikian, pendidikan gratis berpotensi besar untuk berkontribusi pada peningkatan angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan. Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan penggunaan dana pendidikan gratis sedikit berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Penggunaan dana pendidikan gratis untuk tingkat SD/MI/SDLB/PPS ULA adalah: 1. Pembiayaan seluruh kegiatan penerimaan siswa baru; 2. Pembelian buku teks diluar yang disediakan dana BOS dan buku referensi untuk dikoleksi di sekolah; 3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran, remedial, pengayaan, olahraga, kesenian, pramuka, palang merah remaja, dan sejenisnya; 4. Pengadaan buku rapor dan foto murid; 5. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa; 6. Pembelian bahan-bahan habis pakai; 7. Pembiayaan langganan daya dan jasa; 8. Pembiayaan perawatan sekolah; 9. Insentif tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya; 10. Pengembangan profesi guru; 11. Pemberian biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah transport ke sekolah; 12. Bantuan pembelian buku tulis, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas bagi siswa miskin; 13. Pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis. Penggunaan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/PPS WUSTHA sama dengan SD dari poin 1 sampai 13, dan ditambah dengan poin 14. Khusus untuk pesantren Salafiyah dan sekolah agama non Islam, dana pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan. Untuk menghindari ketidakefisienan dan ketidakefektifan penggunaan, pendidikan gratis memprioritaskan komponen buku teks pelajaran, pemberian bantuan untuk siswa miskin: transport, pembelian buku, pensil, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas dan lain-lain yang menjadi kebutuhan pembelajaran baginya dan biaya administrasi pelaporan. Tanggapan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota terhadap kebijakan pendidikan gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara cukup beragam. Hal ini terutama pada penerapan aturan berbagi kontribusi antara pemerintah provinsi (40 persen) dan pemerintah kabupaten/kota (60 persen). Ada kabupaten/kota yang pada awal pelaksanaan belum sepenuhnya memenuhi angka kontribusi tersebut, ada juga kabupaten/kota yang telah menjalankan kebijakan pendidikan gratis sebelum kebijakan provinsi tersebut berjalan. Kebijakan pendidikan gratis telah memberi pembelajaran pada sinergi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pelayanan dasar. Setelah empat tahun berjalan, berbagai pembelajaran telah memungkinkan penyelenggara untuk melakukan penyempurnaan pola implementasi. Implementasi kebijakan pendidikan gratis tidak hanya relevan dilihat pada kinerja yang sepenuhnya teknis pendidikan, tetapi juga perlu dilihat pada peningkatan kapasitas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam inovasi pelayanannya. Kasus Kabupaten Luwu Timur misalnya, dengan kebijakan pendidikan gratis pemerintah provinsi dalam kondisi daerah ini sudah menjalankan kebijakan serupa sejak 2006, respons yang diberikan bukanlah penolakan terhadap kebijakan provinsi tersebut, tetapi secara kreatif dana pendidikan gratis kabupaten dialihkan untuk peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam memperbaiki capaian ujian nasional, dan dana dari provinsi tetap digunakan sesuai peruntukannya. Hasilnya, setelah tiga tahun daerah ini berhasil mencapai prestasi terbaik ujian nasional di Sulawesi Selatan. 72 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis Kabupaten Luwu Timur adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu dengan luas wilayah 6.944, 88 km persegi, jumlah penduduk 210.000 jiwa (2010), terdiri dari 11 kecamatan dan 107 desa/kelurahan. Visi pembangunan daerah adalah “Luwu Timur sebagai Kabupaten Agribisnis� dengan misi “Mengoptimalkan potensi untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan�. Visi pembangunan pendidikannya adalah “ Mewujudkan manusia yang berimtaq, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan berprestasi� dengan Misi: 1. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan; 2. Mengupayakan perluasan dan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, dan 3. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Anggaran pendidikan dalam APBD empat tahun terakhir di atas 20 persen masing-masing 19,24 persen (2006), 25,40 persen (2007), 26,04 persen (2008), 23,22 persen (2009) dan 27,83 persen (2010). Kebijakan pendidikan gratis Sulawesi Selatan telah memberi ruang lebih luas untuk meningkatkan kinerja pendidikan daerah ini. Sejak 2006 Luwu Timur telah mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis dari pihak swasta, setelah adanya program pendidikan gratis dari provinsi, dana pendidikan dari swasta tersebut dialihkan peruntukannya bagi peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam menghadapi ujian nasional, sementara dana dari Provinsi (40 persen) dikelola sesuai peruntukannya dan kabupaten menanggung porsi 60 persen. Kebijakan pendidikan gratis Luwu Timur ditetapkan dalam Perda. Dengan pengalaman pendidikan gratis sejak 2006 dan dikuatkan dengan pendidikan gratis provinsi maka daerah ini memungkinkan berinovasi dan mencapai berbagai prestasi menonjol di bidang pendidikan. Inovasi dalam pembangunan pendidikan mencakup kerjasama dengan berbagai pihak antara lain padapeningkatan mutu dan layanan pendidikan (UNM, Unhas, ITB, ITS, UT, UIN Syarif Hidayatullah, ATS Soroako), pada peningkatan kompetensi tenaga pendidik (UNM, LPMP, Unhas/Guru MIPA, Unicef, pihak swasta), peningkatan mutu kompetensi bagi peserta didik dalam menghadapi ujian nasional (UNM, iNsTy), pengembangan kesejahteraan bidang pendidikan (Bus sekolah tiap kecamatan, beasiswa untuk siswa berprestasi hingga perguruan tinggi, bantuan buku pelajaran, bantuan operasional manajemen mutu bagi sekolah dan tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan pada satuan pendidikan) ,dan pengelolaan dana pendidikan berbasis sekolah untuk SMP (pihak sekolah berhubungan langsung dengan DPRD dalam alokasi anggarannya). Dengan pendidikan gratis dan berbagai inovasi tersebut Luwu Timur telah mencapai berbagai prestasi bidang pendidikan. Dalam ujian nasional, pada tahun 2007 peringkat 22 dari 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan; pada tahun 2008 naik ke peringkat 8; pada tahun 2009 naik ke peringkat 5 dan pada tahun 2010 mencapai peringkat 1. Selain itu, Luwu Timur dipilih oleh Majalah Tempo sebagai satu dari 10 kabupaten/kota berpretasi; sebagai salah satu dari tujuh kabupaten/kota yang mendapatkan penghargaan Gubernur untuk pembangunan bidang pendidikan; Medali dari Gubernur Sulawesi Selatan untuk kepedulian bidang pendidikan; Medali untuk 10 kabupaten/kota atas penuntasan buta huruf; piagam penghargaan dari PGRI Sulawesi Selatan atas perhatian pada guru; dan Satya Lencana Pembangunan di bidang pendidikan dari Presiden RI. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 73 5.1.5 Kesimpulan dan Rekomendasi  Selama periode 2005-2011, belanja pendidikan di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Perlu dipastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar bekerja untuk memperbaiki indikator- indikator pendidikan, terutama angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.  Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan relatif sangat besar, tetapi proporsi belanja modal terhadap relatif kecil. Akibatnya, belanja sektor pendidikan tidak memiliki dampak signifikan terhadap capaian kinerja hasil. Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih signifikan. Kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai, mungkin perlu dipertimbangkan untuk menekan proporsi belanja pegawai. Selain itu, belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih diefisienkan.  Mengingat kebijakan pendidikan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai efektivitas kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin dicapai. Selain itu, program pendidikan gratis hanya diterapkan pada tingkat SD dan SMP, maka itu perlu ada kebijakan untuk pendidikan tingkat SMA.  Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong kinerja hasil. Kinerja hasil tersebut berupa angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sesuai dengan target RPJMD dan angka nasional. Direkomendasikan agar belanja pendidikan diarahkan untuk mendorong angka melek huruf dan rata- rata lama sekolah di kabupaten yang masih rendah angkanya, Rendahnya angka melek huruf berkontribusi terhadap rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih besar, upaya yang lebih konstruktif, dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa.  Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan pendidikan di Sulawesi. Angka partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi angka melek huruf laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan. APS laki-laki lebih kecil karena tingkat putus sekolah laki-laki lebih tinggi seiring tuntutan bekerja. Tetapi kualitas pendidikan yang diterima lebih rendah walaupun mereka bersekolah. Angka buta huruf perempuan berusia di atas 29 tahun lebih besar, direkomendasikan agar pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur tersebut. Juga direkomendasikan agar perempuan yang buta huruf ini diberi keahlian lain sebagai bagian dari pemberdayaan.  Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan untuk masuk ke bangku sekolah. Direkomendasikan agar kebijakan pendidikan gratis diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa membuat anak usia sekolah untuk masuk bangku sekolah khususnya di daerah yang terhambat secara geografis (daerah pegunungan dan pesisir/kepulauan) dan terhambat secara ekonomi-budaya (anak putus sekolah karena bekerja). Kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten perlu direalisasikan sebagai payung bagi upaya ini.  Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap dan Luwu mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Rekomendasinya antara lain (i) mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap, dan Luwu. (ii) kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya pada kelompok pendapatan termiskin. 74 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis 5.2 Analisis Sektor Kesehatan Kesehatan merupakan kebutuhan penting dan sekaligus merupakan investasi bagi pembangunan sumber daya manusia agar mereka dapat sehat dan hidup secara produktif. Sektor kesehatan bersama dengan sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas utama pembangunan di Sulawesi Selatan, dan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2008-2013, kedua sektor ini menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk menunjang program utama ini oleh Pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mencanangkan suatu program kesehatan gratis dengan harapan bahwa dengan program tersebut paling tidak telah membawa dampak pada berkurangnya belanja masyarakat untuk kepentingan pembayaran kesehatan, yang selama ini sangat memberatkan masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. 5.2.1 Belanja Sektor Kesehatan Proporsi belanja sektor kesehatan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan terus meningkat, meskipun cenderung fluktuatif. Pada tahun 2005, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 8,2 persen, dan meningkat menjadi 10,4 persen pada tahun 2010. Meskipun mengalami penurunan proporsi pada tahun 2006, namun pertumbuhan belanja kesehatan tertinggi justru terjadi pada tahun 2006. Pertumbuhan total belanja daerah yang sangat signifikan pada tahun 2006, menyebabkan proporsi belanja kesehatan mengalami penurunan. Pada tahun 2011, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 10 persen, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 18.000 12% 10,4% 10,4% 10,0% 16.000 Proporsi Belanja Kesehatan Riil 8,7% 9,0% 10% 14.000 8,2% 8,1% 12.000 8% Rp Miliar 10.000 6% 8.000 16,7 16,3 15,3 14,8 14,0 6.000 4% 10,3 4.000 8,0 2% 2.000 6588 39 1.2181 .378 1.5301 .739 1.625 0 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Total Belanja Kesehatan Riil Total Belanja Daerah Riil % Belanja Kesehatan Riil Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok. Total belanja kesehatan 2010, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja pegawai. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja di tingkat provinsi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tingkat provinsi, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja kesehatan sebesar 48 persen, sedangkan untuk kabupaten/kota sebesar 45 persen. Sebaliknya, proporsi belanja modal pada tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat provinsi, yaitu masing-masing sebesar 27,6 persen dan 20 persen. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 75 Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota Provinsi 20% 27% 45% 48% 32% 28% Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok. 5.2.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Kesehatan Sulawesi Selatan, 2005-2009 20 Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga pelayanannya meningkat. Pada tahun 2005, rasio fasilitas kesehatan per 15,7 16,5 15 15 14,7 10.000 penduduk sebesar 2,2 dan kemudian meningkat 13,4 menjadi 2,7 pada tahun 2009. Meski demikian, terdapat 10 sejumlah kabupaten/kota yang justru menunjukkan 5 penurunan, seperti Kabupaten Maros, Luwu Timur, dan 2,2 2,4 2,6 2,72 ,7 Kota Pare-Pare. 0 2005 2006 2007 2008 2009 Angka harapan hidup menunjukkan hasil yang positif Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk dari tahun ke tahun. Angka harapan hidup Sulawesi Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk Selatan bergerak dari 70,2 tahun pada tahun 2007 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010. Meskipun demikian, angka ini Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009. masih sedikit lebih rendah dibanding angka harapan hidup rata-rata nasional yang sudah mencapai 70,9 tahun pada Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di tahun 2010. Angka harapan hidup tergantung pada angka Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 kelahiran atau kematian bayi, dan angka kematian pada 71,0 70,9 kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa Angka harapan 70,8 hidup dipengaruhi oleh kebijakan saat ini (angka kematian 70,8 70,7 bayi, pelayanan kesehatan pada masyarakat umum), dan 70,6 kebijakan masa lalu (bagi masyarakat yang sudah berusia 70,6 70,5 lebih dewasa). Maka itu peningkatan angka harapan hidup 70,4 70,4 menuntut keberlanjutan pelayanan kesehatan, misalnya 70,4 dalam program perbaikan gizi masyarakat, peningkatan 70,2 pelayanan kesehatan lansia, program pencegahan dan 70,2 pemberantasan penyakit, pelayanan terhadap ibu hamil dan pasca melahirkan. 70,0 Angka Kematian Bayi (AKB) di Sulawesi Selatan turun 69,8 mengikuti tren nasional. Pada tahun 2005, AKB mencatat 2007 2008 2009 2010 angka 30 per 1.000 kelahiran hidup dan kemudian Indonesia Sulsel menurun menjadi 26,6 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini Sumber: BPS. 76 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis sesuai dengan kecenderungan angka nasional yang juga menurun. Menurunnya AKB dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meski demikian, capaian AKB tersebut masih jauh dari target provinsi tahun 2013, yaitu 22 per 1.000 kelahiran hidup. Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009 31 30 AKB per 1.000 kelahiran hidup 30 28,9 29,1 29 28,2 28,2 28 27,5 27,4 26,8 26,6 27 26,2 26 25 24 2005 2006 2007 2008 2009 Nasional Sulawesi Selatan Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Seperti halnya AKB, Angka Kematian Ibu (AKI) di Sulawesi Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan cenderung mengalami penurunan selama periode Selatan, Tahun 2005-2009 per 100.000 Penduduk 2006-2009. Jumlah kematian ibu maternal yang dilaporkan 160 143 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 140 133 pada tahun 2006 sebanyak 133 per 100.000 kelahiran hidup, 121 118 kemudian meningkat menjadi 143 per 100.000 kelahiran 120 hidup pada tahun 2007. Namun tahun 2008 jumlah kematian 100 ibu maternal mengalami penurunan menjadi 121 orang per 100.000 kelahiran hidup dan terus menurun menjadi 118 80 orang per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Untuk 60 memperbaiki capaian kinerja yang terkait dengan AKB dan AKI, pemerintah daerah telah mengimplementasikan 40 program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak 20 serta program peningkatan pelayanan kesehatan bayi dan anak. Kedua program tersebut telah diimplementasikan 0 secara konsisten sejak tahun 2008 hingga 2010, dan 2006 2007 2008 2009 direncanakan akan tetap dilanjutkan hingga tahun 2013. Ini Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009. mudah dipahami mengingat kinerja AKB dan AKI hinga saat ini masih jauh dari target dan tetap menjadi prioritas secara Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di nasional. Sulawesi Tahun 2009 Sulawesi Selatan masih harus mengejar ketertinggalan Cakupan Kelahiran dibantu Provinsi Morbiditas imunisasi tenaga medis pada beberapa cakupan kesehatan dasar. Data Susenas Sulawesi Utara 79% 76% 36% tahun 2009 menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dan cakupan kelahiran yang dibantu tenaga medis di Sulawesi Sulawesi 73% 46% 38% Tengah Selatan lebih rendah daripada angka nasional. Hal ini Sulawesi sebanding dengan lebih besarnya Angka Kematian Bayi di Selatan 76% 59% 32% Sulawesi Selatan dibanding rata-rata nasional. Kelahiran yang Sulawesi dibantu tenaga medis masih jauh di bawah angka nasional, 77% 36% 36% Tenggara meskipun Angka Kematian Ibu Sulawesi Selatan lebih kecil Gorontalo 75% 37% 48% dari angka nasional. Ini menunjukkan bahwa peran penyedia Sulawesi Barat 68% 29% 38% kesehatan non medis cukup vital dan bisa menjadi salah satu Indonesia 77% 65% 34% target program kesehatan. Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 77 Angka gizi buruk Sulawesi Selatan tidak membaik. Menurut hasil Riset Dasar Kesehatan 2007, prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan sebesar 5,1 persen, lebih kecil dari rata-rata nasional sebesar 5,4 persen. Tetapi pada tahun 2010, riset yang sama justru menunjukkan prevalensi gizi buruk Sulawesi Selatan meningkat menjadi 6,4 persen, sementara rata- rata nasional turun menjadi 4,9 persen. Peningkatan prevalensi gizi buruk dan kurang dibarengi penurunan prevalensi gizi baik dan lebih, ini berarti terjadi penurunan kualitas kesehatan pada balita dan ibu. Meski demikian, angka tersebut lebih rendah dari target pencapaian program perbaikan gizi nasional sebesar 20 persen pada tahun 2015. Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005-2009 Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 2005 77,861 107,104 149,180 208,532 499,397 2006 90,758 116,334 143,190 210,063 333,290 2007 129,661 172,169 211,995 291,100 415,186 2008 105,964 328,486 120,837 179,111 299,047 2009 135,062 188,045 262,035 378,445 821,782 Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan, kesenjangan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan antar kelompok pendapatan tampak lebih buruk. Pada tahun 2005, kelompok rumah tangga terkaya mengeluarkan anggaran untuk kesehatan hampir tujuh kali lipat (Rp. 499 ribu) dari kelompok rumah tangga termiskin (Rp. 77 ribu). Meskipun rasio tersebut membaik pada tahun 2009, namun kesenjangannya masih berada di atas enam kali lipat antara kelompok rumah tangga terkaya (Rp. 821 ribu) dengan kelompok rumah tangga termiskin (Rp. 135 ribu). 5.2.3 Analisis Kabupaten/Kota Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan sekitar sepersepuluh belanja daerahnya untuk sektor kesehatan. Belanja kesehatan per kapita Kabupaten Enrekang adalah yang tertinggi (Rp. 748 ribu), sedangkan Kota Makassar memiliki belanja terkecil (Rp. 80 ribu). Seperti halnya belanja pendidikan per kapita, daerah yang memiliki belanja kesehatan per kapita terkecil adalah daerah yang memiliki populasi terbesar. Sementara daerah yang belanja kesehatan per kapitanya tinggi juga memiliki belanja pendidikan tinggi antara lain Enrekang, Pare-Pare, dan Palopo. Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011 800 748 700 600 Rp Ribu 500 400 300 200 80 100 Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. 78 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Proporsi belanja kesehatan menurut klasifikasi ekonomi sangat bervariasi antar kabupaten/kota. Kabupaten Enrekang menunjukkan gambaran yang agak ekstrim, di mana proporsi belanja pegawai terhadap total belanja kesehatan hanya sebesar 14 persen, sedangkan proporsi belanja modal mencapai 74 persen. Sebaliknya, Kabupaten Maros mengalokasikan 68 persen untuk belanja pegawai dan hanya 10 persen untuk belanja modal. Secara rata-rata, kabupaten/kota membelanjakan 47 persen dari total belanja kesehatannya untuk belanja pegawai, dan masing-masing 28 persen dan 25 persen untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal. Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 100% 5% 9% 10% 8% 9% 14% 90% 20% 18% 14% 18% 20% 24% 17% 19% 27% 28% 80% 35% 37% 39% 30% 43% 22% 47% 43% 29% 70% 23% 24% 44% 21% 46% 27% 24% 44% 42% 25% 74% 60% 30% 45% 30% 50% 30% 10% 17% 28% 18% 23% 40% 65% 68% 63% 30% 57% 59% 61% 60% 53% 51% 47% 48% 46% 20% 42% 35% 43% 35% 33% 35% 43% 12% 44% 36% 42% 10% 14% 0% % Belanja Pegawai % Belanja Barang dan Jasa % Belanja Modal Sumber: Diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Kabupaten yang secara geografis terletak jauh dari pusat provinsi seperti Selayar, Enrekang, dan Luwu memiliki rasio fasilitas kesehatan yang jauh lebih baik dari daerah perkotaan. Belanja kesehatan per kapita Enrekang adalah yang tertinggi di provinsi. Dan Selayar sebagai kabupaten yang memiliki APBD relatif kecil, belanja kesehatan per kapitanya adalah terbesar ketujuh. Meski demikian, tenaga kesehatan lebih terkonsentrasi di perkotaan seperti Makassar, Pare-Pare, dan Palopo. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena akan mengakibatkan banyak fasilitas kesehatan di daerah tidak berjalan maksimal. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 79 Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005- 2009 Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk Kab./Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 Selayar 5,8 6,4 6,6 8,2 7,1 22,7 20,7 18,4 16,2 21,8 Bulukumba 2,1 2,5 2,5 2,5 2,4 12,5 16,1 10,8 8,5 11,0 Bantaeng 2,7 2,8 2,8 4,3 2,7 7,4 4,9 10,5 10,1 10,6 Jeneponto 2,0 2,4 2,6 2,7 2,7 7,4 6,2 8,3 8,2 9,8 Takalar 1,1 3,0 3,9 3,2 2,9 8,1 13,8 12,0 11,7 9,7 Gowa 1,5 1,5 2,5 2,7 2,8 8,5 11,10 8,1 8,2 8,9 Sinjai 3,0 3,2 3,5 4,3 4,1 11,5 9,4 14,3 13,8 18,2 Maros 1,7 2,1 2,3 2,1 0,5 11,6 15,0 12,7 12,5 10,4 Pangkep 3,3 3,1 3,1 3,6 3,3 14,9 17,2 17,7 8,1 10,3 Barru 3,3 3,0 3,2 3,2 3,4 13,9 15,1 18,5 18,1 17,3 Bone 0,5 2,0 2,0 2,1 2,1 9,0 2,6 3,8 5,1 6,7 Soppeng 3,4 3,4 3,5 3,7 3,5 21,0 19,8 11,0 11,0 11,8 Wajo 1,1 2,4 2,8 2,6 2,6 6,5 9,4 11,0 10,7 12,1 Sidrap 2,2 2,6 2,7 2,8 2,9 12,6 9,7 13,2 12,9 15,4 Pinrang 2,1 2,3 2,4 2,3 2,3 10,6 9,8 12,1 11,7 8,9 Enrekang 3,6 4,5 4,3 4,6 5,1 15,5 14,4 13,7 15,3 15,8 Luwu 3,5 3,4 4,2 4,2 4,4 12,8 12,3 17,6 16,8 16,4 Tana Toraja 2,1 2,5 2,8 2,8 3,6 26,2 12,3 16,1 15,4 12,9 Luwu Utara 2,3 2,6 3,4 2,9 2,7 8,5 8,4 12,6 14,0 14,3 Luwu Timur 3,3 3,7 3,8 2,9 3,0 18,2 9,8 13,5 13,1 18,7 Makassar 0,5 0,7 0,9 1,1 1,2 24,0 17,4 17,3 28,1 34,0 Pare-Pare 2,7 2,7 3,1 3,1 2,3 55,8 44,8 42,3 41,4 53,4 Palopo 2,1 2,8 3,2 3,0 3,0 23,0 22,3 35,1 27,5 35,6 Sulawesi Selatan 2,2 2,4 2,6 2,7 2,7 15,0 15,7 13,4 14,7 16,5 Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009. Beberapa daerah menunjukkan belanja kesehatan rumah tangga yang senjang. Kabupaten Selayar menunjukkan kesenjangan paling tajam, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) mengeluarkan anggaran hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Soppeng menunjukkan kesenjangan paling rendah, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya mengeluarkan anggaran sekitar 2,5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). 80 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Tabel 5.9. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Selayar 76,098 90,874 111,926 248,136 725,584 Bulukumba 152,112 199,400 227,487 275,605 433,303 Bantaeng 140,107 176,958 230,406 315,515 807,084 Jeneponto 191,707 214,977 269,762 427,717 639,682 Takalar 165,730 215,541 220,540 308,226 1,211,007 Gowa 151,846 113,340 177,872 261,847 790,962 Sinjai 137,360 184,102 187,159 250,304 620,704 Maros 196,792 161,256 233,804 523,026 1,071,891 Pangkep 87,451 124,343 250,478 201,586 483,683 Barru 157,897 185,438 218,673 438,951 511,918 Bone 92,768 162,449 265,455 427,628 629,321 Soppeng 189,505 152,102 290,997 414,637 464,969 Wajo 163,936 167,786 208,154 273,885 646,352 Sidrap 124,112 230,484 262,937 351,282 904,743 Pinrang 203,772 223,237 358,075 419,570 834,250 Enrekang 108,845 124,336 232,425 292,739 651,948 Luwu 154,398 280,623 263,922 412,087 903,293 Tana Toraja 112,971 242,173 300,281 369,004 489,921 Luwu Utara 138,789 172,957 192,371 327,009 722,036 Luwu Timur 134,259 193,999 153,386 300,351 545,046 Makassar 100,298 136,026 261,099 343,627 858,646 Pare-Pare 110,398 223,668 206,721 271,249 654,285 Palopo 158,214 243,949 370,756 424,737 1,041,336 Sumber: Diolah dari Susenas 2009. 5.2.4 Kebijakan Kesehatan Gratis Anggaran provinsi yang dialokasikan untuk kesehatan gratis meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya alokasi kesehatan gratis karena semua yang sakit maupun tidak sakit, ada kesiapan dananya. Tanggungan premi asuransi kesehatan sebesar Rp. 5.000 per jiwa setiap bulan. Program kesehatan gratis dengan sistem premi menanggung sekitar 4,8 juta jiwa penduduk Sulawesi Selatan dengan total anggaran dari Pemerintah Sulawesi Selatan sekitar Rp. 175 miliar. Pada tahun 2008, anggaran kesehatan gratis sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah provinsi yaitu sebesar Rp. 81,7 miliar. Sejak tahun 2009, baik provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan gratis sesuai dengan nota kesepahaman antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2009, pemerintah provinsi menanggung Rp. 93,5 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota menanggung Rp. 45,6 miliar. Pada tahun 2010, pemerintah provinsi menganggarkan Rp. 103,3 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/ kota menganggarkan Rp. 63,9 miliar. Pada tahun 2011, pemerintah provinsi mengalokasikan Rp. 174 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Rp. 170,7 miliar. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 81 Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009-2011 Alokasi Anggaran/Tahun No. Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 1 Rumah Sakit Provinsi 45.260.516.410 59.498.260.476 61.001.301.171 2 Makassar 5.186.759.500 6.189.696.000 15.474.240.000 3 Gowa 2.176.773.500 2.866.272.000 7.312.344.000 4 Takalar 1.012.103.500 1.203.091.200 2.783.232.000 5 Jeneponto 887.323.500 1.035.878.400 2.641.344.000 6 Bantaeng 576.223.500 722.073.600 2.203.464.000 7 Bulukumba 2.285.242.000 2.637.235.200 6.678.480.000 8 Selayar 547.578.500 691.324.800 1.734.432.000 9 Sinjai 1.186.557.500 1.366.876.800 4.106.688.000 10 Bone 4.331.455.500 4.967.116.800 12.397.176.000 11 Wajo 2.307.571.500 2.610.883.200 6.574.776.000 12 Soppeng 1.479.612.000 1.641.513.600 4.126.440.000 13 Sidrap 1.393.354.000 1.529.779.200 4.544.568.000 14 Enrekang 966.050.500 1.351.843.200 3.465.792.000 15 Tana Toraja 1.789.020.500 1.259.404.800 3.303.072.000 16 Luwu 1.008.202.000 1.382.025.600 3.361.248.000 17 Palopo 480.037.500 626.661.200 1.630.680.000 18 Luwu Utara 1.429.045.500 1.960.166.400 5.115.408.000 19 Luwu Timur 1.135.472.500 1.652.342.400 4.076.976.000 20 Maros 1.598.382.500 1.831.785.600 4.579.464.000 21 Pangkep 1.357.543.500 1.541.145.600 4.506.240.000 22 Barru 833.918.000 942.432.000 2.824.200.000 23 Pare-Pare 611.813.000 667.891.200 2.026.920.000 24 Pinrang 1.953.895.000 2.309.260.800 5.773.200.000 Sumber: Lampiran Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No.2706/VII/2008. Sejak kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan pada tahun 2008, terdapat beberapa tantangan pada konsep dan pelaksanaannya. Aturan pembagian beban anggaran kesehatan gratis, dimana provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen, dianggap memberatkan keuangan daerah kabupaten/kota. Diusulkan agar pembagian tersebut dibalik mengingat kebijakan ini merupakan inisiatif pemerintah provinsi. Selain itu, kebijakan kesehatan gratis lebih menekankan pada pemberian layanan kesehatan dan pengobatan penyakit sehingga kebijakan 82 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis ini tidak berkontribusi secara signifikan terhadap perbaikan kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor kesehatan. Kebijakan ini juga lebih bersifat jangka pendek karena tidak menyentuh investasi kesehatan dalam jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan, dan air bersih. Pada sisi implementasinya, kebijakan ini lebih mengedepankan pada ketersediaan layanan pengobatan dan bukan pada peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Dalam banyak kasus, masyakarat seringkali mengalami kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan karena keterbatasan informasi dan lokasi tempat tinggal yang terisolir. Selain itu, perbedaan wilayah domisili dan wilayah rujukan seringkali menimbulkan masalah karena menyangkut kewenangan pembiayaan pasien. Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan Implementasi kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan berpedoman pada Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis. Peraturan Daerah ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan. Di dalam berbagai peraturan tersebut disebutkan bahwa kebijakan kesehatan gratis memiliki tujuan yang dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan kesehatan gratis adalah meningkatnya akses pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh penduduk Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efisien dan efektif. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan; (2) meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi; (3) meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; (4) meningkatnya pemerataan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; dan (5) terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan. Program pelaksanaan kesehatan gratis menggunakan metode resource sharing antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. Resource sharing dimaksud terkait dengan alokasi anggaran untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota dimana pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk program tersebut sebesar 40 persen dan 60 persen disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di dalam Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Gratis tertuang jenis layanan yang digratiskan. Adapun jenis layanan yang digratiskan pada tingkat Puskesmas antara lain: (1) Kegiatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) yang terbagai dalam delapan item; (2) Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) yang terbagi dalam enam item; (3) Pelayanan gawat darurat; (4) Pelayanan luar gedung yang dilaksanakan puskesmas; dan (5) Operasional dan majemen Puskesmas. Sedangkan layanan kesehatan di rumah sakit/balai kesehatan terdiri atas: (1) Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL); (2) Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL); dan (3) Pelayanan gawat darurat. Namun demikian ada pelayanan-pelayanan tertentu yang tidak ditanggung dengan layanan gratis seperti: operasi jantung, katerisasi jantung, pemasangan cincing jantung, CT Scan dan MRI, cuci darah, bedah syaraf, bedah plastik, penyakit kelamin dan penyakit akibat hubungan seksual serta alat bantu kesehatan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 83 5.2.5 Kesimpulan dan Rekomendasi  Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih tinggi. Untuk mencapai target Angka Harapan Hidup 73,7 tahun dan Angka Kematian Bayi 20 per 1.000 kelahiran. Direkomendasikan untuk melakukan (i) sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi pada balita; (ii) penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk; (iii) pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh; dan (iv) sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami.  Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 persen per tahun. Jika dilihat dari komposisi belanja kesehatan, belanja pegawai masih mendominasi total belanja kesehatan, dibandingkan dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik di masa yang akan datang, proprosi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah perlu dinaikkan serta mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga program yang bersifat pencegahan.  Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan Gratis. Khususnya pada pembiayaan pasien yang lintas batas karena kendala geografis, disamping itu masih beragamnya pembiayaan jasa layanan pada masing-masing kabupaten/kota. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota.  Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Beberapa daerah seperti Maros, Pare-pare, dan Luwu Timur mengalami penurunan rasio fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi kesenjangan tenaga kesehatan, direkomendasikan untuk mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan. Serta memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok. 5.3 Analisis Sektor Infrastruktur Sulawesi Selatan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik di Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Saat ini melayani hampir semua jalur penerbangan udara yang menuju dan dari kawasan timur Indonesia, selain rute internasional ke Kuala Lumpur, Singapura, dan menjadi embarkasi haji. Transportasi laut di Sulawesi Selatan didukung oleh Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar dan Pelabuhan Laut Nusantara di Kota Pare-Pare. Pelabuhan di Kota Makassar, secara turun temurun telah menjadi pelabuhan utama arus barang di kawasan timur Indonesia. Kota Makassar dan banyak daerah lainnya terhubung dengan lintas jalan Trans Sulawesi. Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan berat, serta jalan dengan kondisi moderat menunjukkan proporsi yang terus menurun. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat. Pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan diarahkan untuk mendukung terwujudnya dua agenda pembangunan daerah yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013. Agenda tersebut adalah perwujudan keunggulan lokal untuk memacu laju pertumbuhan   perekonomian dan agenda perwujudan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan. Kedua agenda tersebut memandatkan kebijakan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan bertumpu 84 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis pada pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur wilayah (transportasi udara, laut, dan darat), peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah (air bersih, listrik, dan telekomunikasi), dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan (jaringan irigasi). 5.3.1 Belanja Sektor Infrastruktur Belanja sektor infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat selama periode 2005-2010. Peningkatan ini paralel dengan peningkatan total belanja daerah yang juga meningkat lebih dari dua kali lipat. Secara riil, belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp. 1 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 2,1 triliun tahun 2010. Tetapi proporsinya terhadap total belanja daerah hanya meningkat pada tahun 2005 sampai pada tahun 2009, pada APBD Perubahan 2010 dan APBD Rencana 2011, proporsi belanja infrastruktur turun menjadi 15 persen dan 13 persen. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang selesai pada tahun 2008 merupakan sumber pembelanjaan infrastruktur yang besar di Sulawesi Selatan. Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 18 20% Proporsi Belanja Riil dengan Belanja Daerah 18% 18% 16 17% 18% 18% 14 16% 15% 13% 14% 12 13% 12% Rp Trliun 10 10% 8 16,7 16,3 15,3 14,8 8% 14,0 6 10,3 6% 4 8,0 2,7 2,7 4% 2,5 2,5 2,1 1,7 2 1,0 2% Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok. Komposisi belanja sektor infrastruktur didominasi belanja modal. Belanja modal sektor cenderung meningkat selama periode 2005-2010. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 64 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2010. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja infrastruktur hanya sebesar 15 persen pada tahun 2005 berfluktuasi sampai juga menjadi 15 persen pada tahun 2010. Karakteristik belanja sektor infrastruktur yang lebih menekankan pada pembangunan fisik menjadi alasan utama mengapa belanja modal mendominasi struktur belanja sektor infrastruktur. Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 3,0 82% 82% 80% 79% 90% 73% 80% 70% 2,5 64% 70% 2,0 60% Rp Triliun 2,2 50% 1,5 2,0 2,2 1,9 1,5 40% 1,2 1,0 30% 0,7 20% 0,5 252 239 310 209 225 231 10% 211 157 215 239 280 298 291 309 0,0 0% Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 85 Total belanja infrastruktur, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja modal. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur di tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2010, di tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 82 persen, sedangkan untuk tingkat provinsi hanya sebesar 60 persen. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai pada tingkat provinsi relatif lebih tinggi dibanding tingkat kabupaten/kota, yaitu masing-masing sebesar 23 persen dan 10 persen. Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/kota Provinsi 10% 23% 8% 60% 17% 82% Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan. 5.3.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur Selama periode 2005-2010, penggunaan moda transportasi udara untuk pergerakan manusia dan barang menunjukkan peningkatan. Dari data publikasi BPS, frekuensi penerbangan meningkat lebih dari 50 persen selama periode 2005-2010. Hal ini mendorong peningkatan jumlah penumpang yang datang dan berangkat meningkat masing- masing 66,39 persen dan 91,93 persen selama periode yang sama. Volume bongkar muat barang juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan yang cukup besar pada arus penumpang dan barang terlihat untuk pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi memasuki tahun kedua pengoperasian Bandara Sultan Hasanuddin yang baru. Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin Meningkat   2005 2006 2007 2008 2009 2010 Frekuensi pesawat (Unit) 42,294 44,860 48,504 49,069 48,873 63,880 Frekuensi penumpang (Orang) 3,644,053 4,007,720 4,461,201 4,651,898 4,914,759 6,460,418 Bagasi (Ton) 31,084 49,227 53,003 38,243 41,738 71,725 Kargo (Ton) 31,021 42,082 42,863 32,369 32,099 54,104 Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Penumpang pengguna transportasi laut cenderung menurun, sementara arus bongkar barang semakin jauh melebihi arus muat. Selama periode 2005-2008, jumlah penumpang yang naik maupun yang turun meningkat masing-masing 29,45 persen dan 10,46 persen. Namun sejak 2008, jumlah penumpang, baik yang naik maupun turun, menunjukkan penurunan. Berbeda dengan gambaran jumlah penumpang, volume bongkar barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan peningkatan selama periode 2005-2010. Sebaliknya, volume muat barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan penurunan yang sangat tajam. Ini 86 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis menunjukkan pintu keluar produk komoditas di Sulawesi Selatan yang mayoritas berupa hasil pertanian atau perikanan tidak hanya melalui pelabuhan di Makassar. Sementara pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang masuk dari luar. Selain itu, perkembangan Bandara Sultan Hasanuddin memberikan pilihan lain bagi arus barang dan terutama arus penumpang. Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar 1000 2,8 3,0 2,7 2,6 2,5 900 2,3 2,5 800 2,1 700 2,0 Ribu orang 1,7 600 Juta ton 1,5 1,5 500 1,5 1,2 1,1 1,0 400 1,0 300 200 0,5 100 0 0,0 Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Perkembangan ruas jalan terjadi di kabupaten/kota. Panjang jalan kabupaten/kota menujukkan peningkatan yang paling pesat dibandingkan dengan panjang jalan provinsi dan jalan negara. Selama periode 2007-2010, panjang jalan kabupaten/kota meningkat 38 persen per tahun, sementara panjang jalan provinsi dan jalan negara tidak mengalami peningkatan berarti. Ini menunjukkan sisi positif dari desentralisasi di mana kabupaten dan kota lebih berinisiatif untuk meningkatkan akses darat. Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010 35.000 29.616 30.000 Panjang Jalan (Km) 25.000 21.501 2007 20.000 2010 15.000 10.000 5.000 1.555 1.556 1.209 1.260 0 Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Meski demikian, kualitas jalan yang telah ada belum diperhatikan. Secara rata-rata, lebih setengah dari seluruh panjang jalan di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi baik. Namun demikian proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak (rusak berat dan ringan) juga meningkat. Pada tahun 2005 hanya ada 13 persen jalan berkategori rusak, enam tahun kemudian sudah menjadi 34 persen. Pada tahun 2010, proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak sudah mencapai 21 persen, yang berarti bahwa setiap 5 kilometer jalan di Sulawesi Selatan, 1 kilometer diantaranya rusak berat. Meskipun setiap tahun anggaran infrastruktur meningkat, tetapi upaya perbaikan dan pemeliharaan jalan belum sebanding. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 87 Gambar 5.28. Proporsi Panjang dan Kondisi Jaringan Jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 100 90 80 40 44 50 48 53 53 70 60 Baik Persen 50 16 11 Rusak Berat 8 8 40 Rusak Ringan 5 7 20 21 21 30 19 Moderat 20 37 36 13 13 10 24 26 13 13 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi lain di Sulawesi. Cakupan air bersih di Sulawesi Selatan (45 persen) termasuk yang terbaik di Sulawesi. Berdasarkan data BPS, volume air bersih yang disalurkan sebesar 64 juta meter kubik di tahun 2009. Akses ke sanitasi (71 persen) dan listrik (90 persen) juga termasuk yang terbaik di Sulawesi. Walaupun jika dibandingkan dengan rata-rata nasional angkanya masih lebih rendah. Dihitung dari tahun 2005, daya listrik tersambung meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun, dan pada tahun 2009 daya yang tersambung sebesar 1,6 miliar Volt Ampere (VA). Pertumbuhan ini mengindikasikan dampak dari pertumbuhan penduduk dan ekonomi di Sulawesi Selatan yang meningkatkan penggunaan pada barang-barang bertenaga listrik. Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 120 96 93 100 90 83 85 76 79 78 79 80 71 62 66 59 Persen 57 60 Akses air bersih 45 45 43 40 33 34 Sanitasi Layak 26 26 Akses listrik 20 0 Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Dari 17 persen rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi Sulawesi Selatan, cenderung menurun dalam 5 tahun terakhir. Sementara itu akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap fasilitas sanitasi dan listrik, meski berfluktuasi, mengalami kecenderungan meningkat. Akses terhadap air bersih dalam Susenas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa atau lokasi sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Jika rumah tangga berada di lokasi yang padat penduduk maka dapat diperkirakan bahwa sumber air tanah tidak memenuhi syarat air bersih. 88 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan 100% 94,9% 91,0% 90,7% 90% 84,6% 85,3% 78,2% 80% 71,5% 71,4% 70,3% 70,8% 67,4% 70% 60,9% 60% 52,4% 45,7% Air Bersih 50% 36,8% Sanitasi 40% 30% Listrik 20% 10% 0% 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Jaringan irigasi berdampak pada produktivitas lahan sawah. Rasio jaringan irigasi pada lahan sawah di tahun 2006 sebesar 46 persen, meningkat sedikit menjadi 47 persen di tahun 2010. Terlihat bahwa tren produktivitas lahan sawah teririgasi mengikuti pola rasio jaringan irigasi. Ini menunjukkan pentingnya menambah jaringan irigasi pada lahan persawahan untuk meningkatkan produksi beras. Kedepannya, data ini dapat dijadikan masukan untuk kebijakan di bidang pertanian padi, bahwa peningkatan kualitas lahan persawahan yang sudah ada, dengan menambah jaringan irigasi, terbukti meningkatkan produktivitas. Di samping pilihan kebijakan memperluas lahan persawahan (ekstensifikasi). Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 48 6 47,0 46,8 46,0 46,1 46,1 46 Persen Ton/Ha 44 5 5,03 4,95 4,89 42 4,69 4,73 4,65 40 4 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rasio Jaringan Irigasi (%) Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Ada peningkatan kualitas infrastruktur irigasi di Sulawesi Selatan. Meskipun rasio jaringan irigasi menunjukkan penurunan, namun luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi menunjukkan peningkatan. Luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi sederhana pada tahun 2007 seluas 51 ribu hektar, turun menjadi 43 ribu hektar di tahun 2010. Sementara itu lahan yang dialiri irigasi semi teknis meningkat dari 60 ribu hektar menjadi 73 ribu hektar. Secara keseluruhan, luas lahan yang dialiri irigasi meningkat sekitar 6 ribu hektar. Jika dibandingkan dengan data cakupan irigasi yang menurun, ini berarti terjadi penambahan lahan persawahan yang tidak tercakup irigasi. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 89 Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 180.000 153.803 154.423 154.023 156.081 160.000 140.000 120.000 Irigasi Teknis Hektar 100.000 60.299 64.366 74.030 72.820 Irigasi Semi Teknis 80.000 51.675 49.485 Irigasi Sederhana 60.000 43.347 43.553 40.000 20.000 0 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. 5.3.3 Analisis Kabupaten/Kota Belanja infrastruktur per kapita Kota Pare-pare jauh melebihi daerah lain di Sulawesi Selatan. Belanja infrastruktur Pare-pare hampir dua kali lipat belanja terbesar kedua di Kabupaten Selayar (Rp. 607 ribu). Kota Palopo yang belanja kesehatan dan pendidikan per kapitanya termasuk yang terbesar di Sulawesi Selatan, belanja infrastruktur per kapitanya justru termasuk rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Palopo yang penduduknya relatif sedikit, alokasi belanja infrastrukturnya juga kecil. Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, meski demikian, kondisi geografis Selayar yang terdiri dari kepulauan tidak serta merta membuat layanan infrastruktur menjangkau lebih banyak penduduk. Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 1.400 1.183 1.200 1.000 Rp Ribu 800 553 576 607 600 484 393 393 399 323 368 400 216 222 226 238 247 252 276 167 173 173 200 94 131 142 0 Belanja Infrastruktur Per Kapita Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan. Panjang jalan bervariasi dengan kualitasnya. Beberapa kabupaten dengan ruas jalan terpanjang di Sulawesi Selatan memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Kabupaten Bone dan Kabupaten Gowa adalah dua daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang. Sekitar separuh dari jalan di Bone berkategori rusak, dan hampir 60 persen jalan di Gowa berkategori rusak. Kabupaten lain yang memiliki ruas jalan terpanjang adalah Luwu Utara dan Luwu Timur, dan hampir seluruhnya berkategori baik. Umumnya kabupaten hasil pemekaran memiliki kualitas infrastruktur yang tertinggal, tetapi kedua kabupaten ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Kabupaten lain mayoritas memiliki ruas jalan berkategori baik yang lebih besar dari jalan berkategori rusak. 90 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 Baik Rusak Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka. Daerah perkotaan memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan kualitas infastruktur jalan, maka daerah perkotaan yang penduduknya lebih terpusat memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Sebaliknya, kabupaten yang penduduk dan aksesnya lebih tersebar memiliki cakupan infrastruktur dasar yang rendah. Sebagai contoh, Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, 78 persen ruas jalan berkualitas baik, masih harus mengejar cakupan akses air bersih yang hanya 21 persen (terendah kedua) dan cakupan akses sanitasi layak yang sebesar 46 persen (terendah ketiga). Kabupaten pemekaran Luwu Timur memiliki capaian yang cukup baik. Sekitar 48 persen masyarakat memiliki akses ke air bersih (tertinggi keempat), dan 81 persen memiliki sanitasi layak (tertinggi kelima). Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik 100% 80% 60% 40% 20% 0% Cakupan listrik Akses air bersih Akses sanitasi Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 91 5.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi  Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di pelabuhan laut cenderung menurun. Hal serupa dapat dijumpai juga di daerah lain di Indonesia di mana tren transportasi udara menunjukkan perkembangan pesat. Perkembangan tersebut akan mendesak kapasitas infrastruktur udara, sehingga pemerintah harus konsisten berbenah. Direkomendasikan agar pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar udara seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar udara.  Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi di Sulawesi. Cakupan infrastruktur dasar dipengaruhi oleh sebaran penduduk dan kondisi geografi masing-masing daerah. Cakupan infrastruktur di kota lebih baik dari di kabupaten. Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja infrastruktur yang signifikan disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.  Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung memburuk. Akses air bersih dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa dan jarak sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Kesimpulan tersebut berarti bahwa rumah tangga yang dikepalai perempuan mayoritas berada di luar jangkauan pipa air bersih, atau tidak memiliki luasan yang layak sehingga sumber air tanahnya tercemar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah selain meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih, juga menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan.  Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada bertumbuhnya panjang jalan di kabupaten/kota. Panjang ruas jalan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Beberapa daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang juga memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Secara umum daerah lain memiliki jalan berkategori baik yang lebih besar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total ruas panjang jalan.  Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. Jumlah lahan dengan irigasi sederhana terus menurun, digantikan dengan irigasi teknis dan semi teknis yang tingkat efisiensi penggunaan airnya lebih baik. Meski demikian rasio jaringan irigasi menurun, menunjukkan bahwa pertambahan luas lahan lebih cepat daripada pertambahan lahan yang diirigasi. Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktivitas lahan, maka direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan. 92 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 5 Analisis Sektor Strategis Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 93 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Pertanian merupakan sektor ekonomi yang dominan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, penghasil kakao dan udang tertinggi di Indonesia. Kebijakan pembangunan pertanian periode 2008-2013 adalah “peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan�. Kebijakan ini dioperasionalkan pada berbagai sub sektor pertanian. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menopang kebutuhan pangan nasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah Sulawesi Selatan memprogramkan pencapaian surplus beras minimal 2 juta ton, produksi jagung minimal 1,5 juta ton, sapi 1,0 juta ekor, kakao 340 ribu ton, udang 33 ribu ton, dan peningkatan produksi komoditas unggulan hortikultura dari tahun ke tahun minimal 5 persen per tahun hingga tahun 2013. 6.1 Belanja Sektor Pertanian Selama periode 2005-2010, belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Laju peningkatan belanja sektor pertanian relatif berbanding lurus dengan laju peningkatan total belanja daerah. Akibatnya, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah cenderung konstan. Pada tahun 2005, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah sebesar 2,3 persen dan kemudian pada tahun 2011 menjadi 3,1 persen. Proporsi ini, tentu saja, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan sektor-sektor prioritas lainnya, seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Di tingkat provinsi, belanja sektor pertanian menunjukkan peningkatan yang relatif stabil, sedangkan di tingkat kabupaten/kota cenderung fluktuatif. Belanja sektor pertanian di tingkat provinsi meningkat rata-rata 23,5 persen per tahun selama periode 2005-2011. Untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan yang relatif stabil berlangsung pada periode 2005-2008 dengan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata 40 persen per tahun. Namun pada tahun 2009, belanja sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 13 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang relatif stabil kembali terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan 600 3,2% 3,1% 3,1% 4% 2,9% 2,9% 2,7% 3% 500 2,3% Rp Miliar 3% 400 2% 300 369 386 361 379 329 2% 200 239 1% 100 145 1% 83 95 100 123 125 0 42 43 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Provinsi Kabupaten/Kota % Pertanian Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok. Komposisi belanja sektor pertanian menurut klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai, namun dengan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2005, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sektor pertanian mencapai hampir 62 persen, dan terus menurun hingga 51,5 persen pada tahun 2010. Sebaliknya, selama periode yang sama, proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pertanian, justru menunjukkan peningkatan meskipun cenderung fluktuatif. Pola belanja modal ini hampir sama dengan belanja barang dan jasa, baik dari segi jumlah dan proporsi maupun kecenderungan peningkatan. 96 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan, 2005-2011 100% 90% 37 109 122 123 95 137 130 80% 70% 35 60% 102 117 129 56 104 121 50% 40% 30% 115 132 203 223 218 253 259 20% 10% 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Belanja Modal Riil Belanja Barang dan Jasa Riil Belanja Pegawai Riil Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok. Angka dalam chart batang adalah dalam miliar rupiah. Gambar 6.3. Alokasi Belanja Sektor Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/kota Provinsi 12% 29% 48% 53% 41% 18% Belanja Belanja Barang Belanja Modal Pegawai dan Jasa Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan. Proporsi belanja pegawai sektor pertanian di tingkat kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja pegawai mencapai 53 persen, sedangkan untuk tingkat provinsi mencapai 48 persen. Namun, proporsi belanja modal di tingkat kabupaten/ kota jauh lebih besar (mencapai 29%) dibandingkan dengan tingkat provinsi (12%). Hal ini mengindikasikan bahwa program-program penyuluhan dan perjalanan dinas penyuluh dilakukan oleh pemerintah tingkat provinsi. Sementara pengadaan fasilitas lebih banyak menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota. Kabupaten yang menjadi sentra pengembangan komoditas unggulan mengalokasikan belanja sektor pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan bervariasi antara kabupaten/kota. Pada tahun 2010, belanja pertanian yang tinggi terjadi pada daerah yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan. Belanja sektor pertanian Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 97 tertinggi ditunjukkan oleh Kabupaten Sidrap (Rp. 37 miliar) yang merupakan daerah sentra pengembangan padi, Pinrang (Rp. 22 miliar) sebagai produsen udang terbesar, dan Jeneponto (Rp. 23 miliar) dengan jagung dan rumput lautnya. Secara per kapita, Kabupaten Selayar, Sidrap, dan Enrekang memiliki belanja pertanian yang terbesar. Gambar 6.4. Belanja Pertanian Riil Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 40 37 200 160 30 22 23 21 21 Rp Miliar 19 120 Rp Ribu 18 18 17 20 16 15 16 15 14 11 12 12 13 13 80 9 10 8 7 10 40 82 02 42 53 13 94 14 74 95 25 65 96 06 36 66 77 47 57 89 51 13 1351 76 0 0 Sumber: Diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. 6.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian Sebagian besar target produksi komoditas unggulan diperkirakan akan tercapai pada waktunya. Beberapa komoditas unggulan diperkirakan mencapai targetnya di tahun 2013. Komoditas tersebut antara lain beras, jagung, dan sapi. Produksi rumput laut bahkan sudah melampaui target sejak tahun 2010. Komoditas udang terkendala oleh penyakit, metode tambak tradisional, dan banyaknya lahan tidak produktif. Sementara komoditas kakao masih menunggu masa panen diakibatkan banyaknya lahan yang diremajakan. Produksi beras Sulawesi Selatan melebihi konsumsi lokal. Produksi gabah kering giling tahun 2010 sebesar 4,4 juta ton menghasilkan 2,7 juta ton beras (asumsi 60% rendemen), sementara konsumsi Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar 800 ribu ton. Target Sulawesi Selatan adalah menghasilkan surplus 2 juta ton beras di tahun 2014. Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 Komoditas 2008 2009 2010 Target 2013 Beras (ribu ton gabah kering giling) 4.083 4.324 4.380 4.667 Jagung (ribu ton) 1.195 1.394 1.400 1.500 Sapi (ribu ekor) 703 769 849 1.000 Udang (ton) 17.333 17.829 22.200 30.300 Kakao (ribu ton) 110 163 172 300 Rumput Laut (ribu ton) 747 824 1.518 1.000 Sumber: Laporan kinerja dan Renstra SKPD terkait, dan BPS Sulawesi Selatan. 98 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Kesimpulan dan Rekomendasi  Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari besarnya alokasi belanja pertanian di kabupaten-kabupaten yang menjadi lokasi produk unggulan. Belanja pertanian di Sulawesi Selatan juga meningkat selama kurun 2005-2010, dengan proporsi sebesar 3 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan daerah lain, alokasi ini relatif besar.  Belanja pegawai di sektor pertanian masih mendominasi. Belanja pegawai di sektor pertanian sulit diukur efektivitasnya terhadap output sektor pertanian. Direkomendasikan agar belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan. 6.3 Komoditas Jagung Target produksi jagung minimal 1,5 juta ton diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2011 atau lebih cepat dua tahun dari waktu yang drencanakan (2013). Produksi jagung Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai 1,4 juta ton dengan luas panen 318 ribu hektar atau rata-rata 4,685 ton per hektar. Sulawesi Selatan saat ini berada pada urutan kelima secara nasional setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Utara. Komoditas jagung di Sulawesi Selatan mengalami perkembangan yang sangat pesat selama periode 2005-2010. Luas areal dan volume produksi jagung di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Luas areal berkembang rata-rata 12 persen per tahun atau dari 206 ribu hektar pada tahun 2005 menjadi 300 ribu hektar pada tahun 2009. Produksi meningkat dari 705 ribu ton pada tahun 2005 meningkat menjadi 1,4 juta ton pada tahun 2009 (rata-rata 19,5 persen per tahun). Peningkatan produksi dapat dicapai melalui peningkatan luas areal tanam dan peningkatan luas pertanaman. Selain itu peningkatan produksi juga dicapai melalui penggunaan bibit unggul dan perbaikan teknik budidaya. Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 1.600.000 1.400.000 1.200.000 Ton 1.000.000 KAB. LAINNYA 800.000 (21,46%) 600.000 G O W A (22,10%) 287,4 245,0 400.000 175,3 172,6 103,6 129,7 JENEPONTO 147,4 186,1 194,6 202,4 (11,61%) 200.000 123,0 164,3 138,1 96,0 153,0 152,5 144,4 152,4 BANTAENG (5,76%) 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Gowa, Jeneponto, dan Bantaeng merupakan sentra komoditas jagung di Sulawesi Selatan. Ketiga daerah tersebut memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari total produksi Sulawesi Selatan. Tingkat produktivitas yang dicapai pada tiga daerah tersebut mencapai 5 ton per hektar. Meski demikian, rata-rata pertumbuhan produksi jagung yang dicapai selama periode di ketiga daerah tersebut bervariasi, masing-masing adalah 5 persen, 11 persen, dan 1 persen. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 99 Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 350.000 300.000 Hektar 250.000 DAERAH 213.748 207.801 194.578 LAINNYA 200.000 171.299 GOWA 150.000 130.260 118.774 JENEPONTO 100.000 33.861 39.279 49.465 22.121 40.391 38.638 BANTAENG 50.000 47.199 46.406 47.890 42.316 38.936 43.807 26.803 19.483 37.932 31.855 25.772 29.613 - 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan. Sekitar 40 persen luas areal pertanaman jagung terdapat di tiga kabupaten, yaitu Bantaeng, Jeneponto, dan Gowa. Luas areal pertanaman jagung bertumbuh rata-rata 9 persen per tahun. Kabupaten Gowa termasuk daerah dengan pertambahan luas areal pertanaman jagung yang sangat tinggi, yaitu 21 persen per tahun. Hal ini disebabkan oleh tersedianya areal yang sesuai dan potensial untuk komoditas jagung di daerah tersebut. Tingkat produktivitas jagung di Sulawesi Selatan juga menunjukkan peningkatan selama periode 2005-2010. Tingkat produktivitas meningkat rata-rata 5 persen per tahun atau dari 3,8 ton/ha pada tahun 2005 meningkat menjadi 4,6 ton/ha pada tahun 2010, produktivitas ini menurun jika dibanding tahun 2009. Penurunan tingkat produktivitas tersebut disebabkan oleh pertumbuhan volume produksi yang relatif lambat dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal pertanaman jagung. Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 Produktivitas (Kwintal/Ha)  No. Sentra Produksi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1. Kab. Bantaeng 5,15 4,93 4,03 4,79 5,60 5,15 2. Kab. Jeneponto 2,91 4,22 3,12 4,01 4,44 4,23 3. Kab. Gowa 4,68 3,36 5,18 4,39 4,64 4,95 4. Daerah Lainnya 2,62 2,58 2,89 3,20 3,70 4,16 Sulawesi Selatan 3.84 3.77 3.80 4.10 5.22 4.62 Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan. Produksi jagung di Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan memproduksi jagung organik untuk menambah nilai produksi. Pengembangan produk jagung organik dikembangkan dengan mengintegrasikan dengan pengembangan ternak. Sisa tanaman digunakan untuk ternak dan kotoran ternak sebagai pupuk organik yang menggantikan pupuk kimia yang banyak digunakan. Program ini juga akan memperbaiki kualitas lingkungan. Pengembangan produk jagung organik harus didukung dengan penguatan kelembagaan petani dan lembaga pemasaran yang memprogramkan dan mempromosikan produk jagung organik. 100 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Kesimpulan dan Rekomendasi  Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3 pesen dari target produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013. Keberhasilan tersebut dicapai melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi yang ditunjang dengan penggunaan teknis budidaya yang didukung dengan pembiayaan pembangunan.  Ke depan, pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. 6.4 Komoditas Kakao Sulawesi Selatan merupakan daerah pengahasil kakao di Indonesia yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Sentra pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan terdapat di delapan kabupaten/kota yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Pinrang, Bone, Soppeng, Wajo, dan Kota Palopo. Pada Tahun 2010, Kabupaten penghasil kakao yang paling besar kontribusinya (41 persen) terhadap produksi total Provinsi Sulawesi Selatan adalah Luwu Raya (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur), sedangkan produksi dari Bone, Wajo, dan Pinrang memberi kontribusi sebesar 29 persen. Pengembangan produksi komoditi kakao di Sulawesi Selatan belum optimal bila dilihat dari luas areal pertanaman dan produktivitasnya. Total luas areal tanaman kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 seluas 266 ribu hektar. Dari luas areal tersebut masih terdapat 21 ribu hektar tanaman yang rusak atau tanaman yang sudah tua. Areal perkebunan yang belum menghasilkan produksi juga masih cukup luas yaitu hampir seluas 30 ribu hektar. Produktivitas lahan kakao saat ini rata-rata sebanyak 800 kilogram per hektar. Kakao merupakan komoditas andalan perkebunan Sulawesi Selatan dan berperan penting bagi perekonomian daerah. Komoditas kakao di Sulawesi Selatan berperan dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan sumber devisa negara. Jumlah keluarga petani yang terlibat dalam pertanaman kakao pada tahun 2006 tercatat lebih 255 ribu keluarga dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 294 ribu keluarga. Kakao yang memberikan kontribusi ekspor Sulawesi Selatan yang terbesar yaitu 204 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar USD 262 Juta. Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010 Luas Lahan Kakao Produksi dan Poduktivitas Kakao 60 40 1.200 974 50 35 866 1.000 30 803 791 40 708 692 667 800 Ribu Hektar 25 Ribu Ton 30 48 38 20 600 34 20 15 30 29 24 400 30 10 20 10 13 11 16 12 14 200 5 9 0 0 - Belum menghasilkan Menghasilkan Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha) Rusak/tua Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 101 Produksi dan produktivitas komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih fluktuatif. Total produksi biji kakao yang dicapai pada Tahun 2006 adalah sebesar 157 ribu ton, dan meningkat menjadi lebih dari 172 ribu ton pada tahun 2010. Hanya saja tingkat produksi yang dicapai selama kurun waktu Tahun 2006 – 2010 masih berfluktuasi. Disamping itu tingkat produktivitas rata-rata setiap hektar di Sulawesi Selatan juga masih fluktuatif sepanjang kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena program rehabilitasi tanaman kakao yang rusak atau tua tidak berkesinambungan, sehingga pada tahun tertentu area yang perlu direhabilitasi bertambah. Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi Tahun Luas Area (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha) Jumlah Petani (KK) 2006 222.859,82 157.933,92 963,76 255.190 2007 250.854,64 117.118,52 677,44 272.304 2008 257.313,20 110.009,45 626,22 279.239 2009 263.153,05 163.001,47 784,22 288.405 2010 265.985,00 172.083,00 798,57 294.620 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam upaya pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, pemerintah pusat, pemerintah daerah telah merencanakan dan melaksanakan berbagai jenis program. Jumlah program pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 dan 2008 lebih banyak dibanding dengan tahun 2007, 2009 dan 2010. Meskipun demikian sejak tahun 2009, telah dilaksanakan program Gernas (Gerakan Nasional) kakao. Program ini cakupannya cukup luas karena meliputi intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, dan peremajaan kakao untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Pada tahun 2009 program Gernas kakao dilaksanakan pada 11 kabupaten dan pada tahun 2010 dan 2011 diperluas menjadi 12 kabupaten. Sebelum dilaksanakannya Gernas kakao, program pengembangan pemerintah cenderung tidak konsisten antar tahun. Sehingga menyulitkan proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010 Tahun Program a. Perlindungan tanaman; b. Peningkatan mutu dan pemasaran hasil perkebunan; 2006 c. Pengembangan dan pembinaan usaha perkebunan; dan d. Pengembangan agribisnis. a. Perlindungan Tanaman; dan 2007 b. Program Pengembangan Agribisnis. a. Peningkatan kesejahteraan petani; b. Peningkatan penerapan teknologi perkebunan; 2008 c. Pengembangan agribisnis, dan d. Peningkatan ketahanan pangan. a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; 2009 b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 11 kabupaten). a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; 2010 b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten). a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; 2011 b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten). Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. 102 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Sebagian besar anggaran pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan bersumber dari APBN. Jumlah realisasi anggaran pengembangan kakao tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebanyak Rp. 119 miliar di mana hanya 3 persen yang bersumber dari APBD. Dalam 5 tahun pelaksanaan pengembangan kakao, baik sebelum maupun setelah program Gernas, mayoritas anggaran bersumber dari APBN. Hal ini menunjukkan dukungan pemerintah pusat terhadap komoditas kakao di Sulawesi Selatan. Pada APBN 2009-2011, sudah ada alokasi anggaran khusus membiayai “Gernas Kakao�. Pengalokasian anggaran pengembangan kakao baik yang bersumber dari APBD maupun dari APBN disesuaikan potensi (luas lahan), permasalahan dan kebutuhan daerah tersebut. Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN Realisasi Anggaran (Rp) Luas area program Gernas Kakao (hektar) Tahun APBD APBN Peremajaan Rehabilitasi Intensifikasi Total 2006 1.043.710.050 101.000.000 n.a n.a n.a n.a 2007 410.363.725 1.705.551.000 n.a n.a n.a n.a 2008 1.204.154.700 4.987.230.000 n.a n.a n.a n.a 2009 3.143.640.406 115.967.538.920 4.300 20.900 23.700 48.900 2010 920.354.050 68.368.456.504 3.550 10.149 3.350 17.049 2011 139.725.000 n.a 6.300 9.100 8.350 23.750 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Catatan: Program Gernas Kakao dimulai tahun 2009, sehingga tidak ada data area untuk tahun sebelumnya. Kesimpulan dan Rekomendasi  Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kakao, pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan kebijakan dan berbagai program, antara lain dengan Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao yang dimulai sejak Tahun 2009. Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah memperlihatkan kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan 2010), walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.  Untuk mencapai produksi kakao 300 ribu ton pada tahun 2013, masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum tersentuh program Gernas Kakao. Di sisi lain, penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani. Upaya lain yang telah dirintis oleh pemerintah Sulawesi Selatan adalah industri perkakaoan, sebagai provinsi yang memiliki keunggulan mutlak dibanding provinsi lain di Indonesia.  Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. Dukungan pendanaan dari pusat merupakan sesuatu yang tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Jika Sulawesi Selatan ingin mengembangkan kakao sesuai dengan keunggulan mutlak di atas, maka pemerintah harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini. Kompetitor Sulawesi Selatan pada produk kakao hampir tidak ada, sementara komoditas jagung, sapi, rumput laut, dan udang, diunggulkan juga oleh beberapa provinsi lain. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 103 6.5 Komoditas Sapi Pada tahun 2013 pemerintah Sulawesi Selatan mencanangkan pencapaian populasi sapi sejuta ekor. Gerakan pencapaian populasi sapi sejuta ekor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional khususnya penyediaan daging untuk konsumsi masyarakat. Jumlah populasi ternak sapi yang dicanangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2013 diharapkan mencapai 1 juta ekor. Untuk mencapai jumlah populasi sapi sebanyak itu, maka pemerintah daerah kabupaten dan provinsi telah melakukan upaya peningkatan mutu intensifiksi melalui penerapan teknologi budidaya sapi dan kawin suntik dengan melibatkan peran kelembagaan kelompok tani ternak di tingkat kabupaten/kota. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pencapaian populasi tersebut diantaranya adalah optimalisasi kelahiran sapi dengan inseminasi buatan (IB), intensifikasi kawin alam dan penambahan induk sapi betina dan pejantan. Upaya lain yang dilakukan adalah pengendalian pemotongan sapi betina produktif, perdagangan sapi antar pulau dan menurunkan tingkat kematian. Target pencapaian sejuta ternak sapi pada Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ tahun 2013 diyakini dapat direalisasikan. Ini Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009. dapat dilihat dari populasi sapi potong/perah 900 12 di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005- 10,4 800 2010, yang menunjukkan peningkatan secara 9,3 10 konsisten. Pada tahun 2005, jumlah populasi 700 ternak sapi di Sulawesi Selatan sebesar 600 ribu 600 7,2 8 ekor. Peningkatan populasi sapi terus terjadi setiap Ribu Ekor Persen 500 tahun hingga pada tahun 2010 telah mencapai 5 5,2 6 hampir 850 ribu ekor. Apabila pertumbuhan 400 populasi ternak dipertahankan sebesar 6 persen 300 4 per tahun maka pencapaian angka sejuta ekor 200 sapi akan diperoleh diakhir tahun 2013. 2 100 594 637 669 703 769 849 Pertumbuhan populasi sapi meningkat 0 0 dalam 2 tahun terakhir. Sejak dicanangkannya 2005 2006 2007 2008 2009 2010 target sejuta populasi sapi pada tahun 2008, Sumber: BPS, 2010. pertumbuhan populasi sapi meningkat menjadi 9 dan 10 persen pada dua tahun berikutnya. Melihat tren pertumbuhan pada tiga tahun sebelumnya yang cenderung lebih stagnan, pencanangan target merupakan hal positif bagi pertumbuhan ternak sapi. Kesimpulan dan Rekomendasi  Populasi sapi di Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005 sampai tahun 2010. Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2013 jika terus mengalami perkembangan secara konsisten dengan tingkat perkembangan sebesar 6 persen per tahun.  Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak. 104 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan 6.6 Komoditas Rumput Laut Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia. Di daerah ini, jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Gracillaria verrucosa yang dibudidayakan di tambak dan Echeuma cottoni di laut. Lokasi pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh pesisir Sulawesi Selatan. Pemerintah Sulawesi Selatan mengelompokkan sentra-sentra pengembangan rumput laut ke dalam 2 kluster, masing-masing Kluster Pengembangan jenis G. verrocosa berada di Kota Palopo (inkubator), Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, Takalar, Bulukumba, dan Sinjai. Sementara Kluster Pengembangan jenis E cottoni berada di Kabupaten Takalar (inkubator), Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Selayar, Kota Makassar, Pangkep, Barru, Pinrang, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Timur dan Luwu Utara. Produksi total rumput laut di Sulawesi Selatan meningkat secara signifikan dalam kurun waktu 2006- 2010. Produksi rumput laut Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai 1,5 juta ton, terdiri dari rumput laut jenis E. cottonii sebesar 1,1 juta ton dan G. verrucosa sebesar 400 ribu ton. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2010, dari sekitar 800 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 1,5 juta ton pada tahun 2010 (84 persen). Produksi rumput laut jenis G. Verrucosa yang dibudidaya dalam tambak cenderung menurun sedangkan jenis E. cottoni yang dibudidaya di laut selalu meningkat, hal ini menunjukkan potensi laut Sulawesi Selatan masih besar. Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. Verrucosa dan E. Cottoni, 2006-2010 1,6 84% 90% 1,4 1,52 80% 1,2 70% 60% Juta Ton 1,0 Gracilaria (ton) 50% 0,8 E. Cottoni (ton) 0,82 40% 0,6 0,75 Total 0,62 0,63 30% 19% Peningkatan 0,4 20% 10% 0,2 2% 10% 0% - 0% 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. Lebih dari tiga perempat produksi rumput laut Sulawesi Selatan berasal dari 5 kabupaten. Takalar adalah produsen rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, pada tahun 2010 produksinya mencapai 450 ribu ton, atau 30 persen dari total produksi provinsi. Total produksi dari 5 kabupaten tersebut mencapai 1,2 juta ton, atau 78 persen dari total produksi. Kabupaten lain yang juga memiliki luasan budidaya rumput laut dan produksi yang besar adalah Bulukumba dan Bantaeng (5 persen), dan Pangkep (4 persen). Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 105 Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. 500 35% 30% 30% 400 22% 22% 25% 300 Ribu Ton 20% 200 10% 15% 8% 8% 10% 100 5% 0 0% TakalarL uwuL ainnya JenepontoB oneL uwu Timur G. Verrucosa E. Cottoni % Total Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. Produksi dan ekspor rumput laut dari lima Gambar 6.11. Kontribusi Lima Kabupaten Penghasil kabupaten utama meningkat pesat pada Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi tahun 2010. Selama kurun 2006 hingga 2009, Meningkat Pesat di Tahun 2010. kontribusi lima kabupaten penghasil utama rumput 100% laut perlahan menurun meskipun produksinya 90% 335,58 meningkat, dari 63 persen (389 ribu ton) menjadi 80% 227,94 255,55 304,84 349,05 118,97 57 persen (475 ribu ton). Sementara produksi dari 70% daerah penghasil pesisir lainnya seperti Bantaeng, 60% 26,03 17,34 45,57 53,28 449,22 Bulukumba, Pangkep, dan Kota Palopo terus 50% 113,25 116,97 meningkat. Proporsi produksi lima kabupaten 40% 135,58 214,14 149,92 tersebut meningkat drastis pada tahun 2010 30% 136,18 132,53 141,22 123,07 menjadi 78 persen yang terutama diakibatkan 20% 30,53 27,69 134,72 peningkatan produksi di Kabupaten Luwu, Bone, 10% 40,14 340,93 83,54 80,63 81,21 39,39 dan Takalar. Di tahun 2010 produksi Kabupaten 0% 33,43 Takalar meningkat dua kali lipat, Bone tiga kali 2006 2007 2008 2009 2010 lipat, dan Luwu 10 kali lipat dibandingkan tahun Luwu Bone Jeneponto Takalar Luwu Timur Lainnya sebelumnya. Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. di tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 106 persen dari tahun sebelumnya. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan menyebutkan ekspor rumput laut tahun 2009 sebesar dari 20 ribu ton senilai USD 17,6 juta meningkat menjadi 41 ribu ton atau senilai USD 47 juta pada tahun 2010. Kesimpulan dan Rekomendasi  Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi, terutama jenis G. Verrucosa. Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. Verrucosa ini masih cukup besar. Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal. Budidaya rumput laut di tambak selain dapat meningkatkan produksi rumput laut juga dapat memperbaiki kualitas perairan tambak melalui pengurangan laju proses eutrifikasi. Demikian halnya rumput laut jenis E. cottoni, peningkatan produksi masih memungkinkan terutama di wilayah perairan yang berada di pulau-pulau kecil di Sulawesi Selatan.  Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih untuk memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut. Selain itu, Pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar. 106 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan 6.7 Komoditas Udang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Selatan. Volume ekspor udang Sulawesi Selatan, pada tahun 2008 sebanyak 7 ribu ton dengan nilai USD 59 ribu. Tenaga kerja yang terserap pada kegiatan budidaya, pengelola dan pemasaran udang sebanyak 381 ribu orang. Meskipun hampir seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menghasilkan udang, ada 9 yang merupakan penghasil utama. Daerah- daerah ini terletak di pesisir Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki ragim perairan laut yang berbeda. Masyarakat petambak di Sulawesi Selatan sudah mengusahakan budidaya udang sejak dicanangkan Program Udang Nasional (PUN) di tahun 1982an. Kontribusi lima kabupaten penghasil utama terhadap produksi tahun 2010 sebesar 60 persen. Daerah penghasil utama udang di provinsi ini adalah Pinrang, Bone, Luwu, Wajo, dan Pangkep dengan total produksi 13 ribu ton. Total luas area tambak di kelima kabupaten tersebut mencapai lebih dari 60 ribu hektar, dari total 105 ribu hektar tambak di Sulawesi Selatan. Meski demikian produktivitas daerah penghasil dengan luasan tambak yang besar ini relatif lebih rendah dari kabupaten lain yang luasannya lebih kecil. Produktivitas tambak tertinggi ditemukan di Bulukumba dan Takalar yang luas tambaknya 3 dan 4 ribu hektar. Produktivitas tambak rata-rata sebesar 0,3 ton per hektar per tahun. Produktivitas yang masih rendah ini disebabkan mayoritas tambak masih berteknologi sederhana (37 ribu hektar). Tambak dengan teknologi intensif atau semi intensif baru mencapai 7 ribu hektar, sementara sisanya justru belum dimanfaatkan. Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota Produksi (Ton) Luas Tambak (Ha) Produktivitas (ton/ha) Luwu 2.463 9.894 0,25 Wajo 1.657 12.903 0,13 Bone 3.150 11.633 0,27 Bulukumba 1.300 3.576 0,36 Takalar 1.551 4.541 0,34 Maros 1.365 9.622 0,14 Pangkep 1.610 10.977 0,15 Pinrang 4.530 15.026 0,30 Luwu Timur 1.153 11.620 0,10 Lainnya 3.441 16.068 0,21 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. Produksi benur belum mencukupi kebutuhan tambak di Sulawesi Selatan. Data dari Buku Saku Statistik Perikanan Budidaya (2010) menyebutkan kebutuhan untuk budidaya tradisional saja sebesar 1,8 miliar ekor, sementara produksi hanya sebesar 723 juta ekor. Jumlah panti-pembenihan (hatchery) di Sulawesi Selatan sebanyak 21 buah, dan ada 111 pembenihan berskala rumah tangga dengan kapasitas produksi diperkirakan mencapai 1,4 miliar ekor. Akselerasi peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan mulai diupayakan sejak 2004. Revitalisasi budidaya tambak pada “Gerbangmas�, kemudian dilanjutkan pada periode 2008-2013 melalui Program Kebangkitan Udang. Dalam RPJMD Sulawesi Selatan, peningkatan produksi udang dinyatakan secara tersirat dalam Agenda ke-2, yaitu kebijakan peningkatan produksi pertanian, termasuk komoditas udang. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 107 Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut Kategori Jenis, 2006-2010 100% 90% 3.475 2.345 3.253 5.473 6.179 80% 795 1.417 70% 3.217 2.116 3.342 60% 50% 40% 15.145 12.600 30% 11.264 10.240 12.699 20% 10% 0% 2006 2007 2008 2009 2010 Udang Windu Udang Putih Udang Lain Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. Produksi udang di Sulawesi Selatan masih relatif berfluktuasi. Produksi udang Sulawesi Selatan tahun 2010 mencapai 22 ribu ton. Jenis udang yang diproduksi adalah udang windu (Peneaus monodon), udang putih/vanname (Litopeneaus vannamei) dan udang lainnya. Produksi udang windu relatif jauh lebih tinggi dibandingkan udang putih. Udang putih-vanamae diintroduksi untuk menanggulangi merosotnya produksi udang windu akibat serangan penyakit secara masif di Sulawesi Selatan. Udang windu memiliki capaian ukuran maksimum yang lebih besar dan harga jual yang lebih tinggi, sedangkan udang putih- vanamae memiliki sintasan (survival rate) tinggi dan kebutuhan protein pakannya lebih rendah sehingga harga pakan menjadi lebih rendah. Pada tahun 2009, posisi Sulawesi Selatan sebagai penghasil udang windu di Indonesia berada pada urutan ke-4 setelah Sumatera Selatan (42 ribu ton), Jawa Barat (19 ribu ton) dan Sumatera utara (13 ribu ton). Laju peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan masih di bawah target.. Produksi udang Sulawesi Selatan rata-rata tumbuh 4,5 persen per tahun, lebih rendah dari target yang Pemerintah Sulawesi Selatan untuk tahun 2009-2013, yaitu sebesar 13 persen per tahun. Produksi udang putih bertumbuh sebesar 57 persen per tahun dan udang lainnya meningkat sebesar 22 persen, sedangkan udang windu justru cenderung menurun rata-rata sebesar 3 persen per tahun. Teknologi intensif dengan padat penebaran yang tinggi (30 ekor/m2) untuk udang windu tidak lagi digunakan. Udang windu hanya dibudidayakan pada tingkat teknologi paling sederhana/tradisional (< 5 ekor/m2). Kecenderungan penurunan produksi udang windu ini tidak sejalan dengan preferensi produsen yang memilih udang windu sebagai primadona. Sistem jaminan mutu, ‘Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)’ dalam produksi udang di Sulawesi Selatan telah diterapkan. Jaminan mutu pada proses produksi (budidaya) dilaksanakan berdasarkan permintaan dan persyaratan konsumen (tuntutan pasar). Standar dan prosedur budidaya biota perairan dengan baik dengan istilah Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) telah diterapkan bagi pembudidaya. CBIB ini menekankan pada aspek higenitas produk melalui manajemen sanitas yang baik. Udang hasil budidaya dikendalikan mutunya dari ancaman pencemaran berupa bakteri, biotoxin, logam berat, pestisida dan residu terlantar (antibiotik, hormon, dll.). Sertifikasi CBIB ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan produsen dan konsumen yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk ini. 108 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan Kesimpulan dan Rekomendasi  Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan petani cederung tidak membudidayakan Udang Windu, akibatnya produksi jenis udang ini cenderung menurun. Hal ini menyebabkan target pertumbuhan produksi tidak tercapai. Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor per meter persegi) resiko penyakit makin tinggi. Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek tambak intensif.  Produksi benur masih di bawah kebutuhan. Jika ini tidak diatasi, maka target pertumbuhan produksi juga sulit tercapai.  Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. Selain itu sebagian besar dari tambak yang beroperasi masih menggunakan teknologi sederhana. Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 109 Bab 7 Analisis Isu Daerah 7.1 Analisis Kemiskinan 7.1.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menurun secara konsisten selama periode 2006-2010. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan sebesar 913 ribu orang atau hampir 12 persen dari total penduduk. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2006, dimana jumlah penduduk miskin sebesar 1,1 juta orang atau 15 persen dari total penduduk. Dengan demikian, saat ini, setiap sembilan penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya tergolong miskin. Persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan selalu berada di bawah angka rata-rata nasional selama periode 2006-2010. Namun penurunan persentase penduduk miskin secara nasional berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Indonesia menurun rata-rata 5,26 persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya menurun rata-rata 4,46 persen per tahun. Implikasinya, dalam beberapa tahun ke depan, persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan akan semakin berhimpit dengan angka rata-rata nasional. Secara implisit, fakta ini juga menunjukkan bahwa secara rata-rata provinsi lainnya mengalami penurunan angka kemiskinan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 20 17,75 18 16,58 15,40 Indonesia 16 14,57 14,11 14,15 13,34 13,33 Sulsel 14 12,31 11,61 12 Persen 10 8 6 4 2 0 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Posisi Sulawesi Selatan secara nasional dan regional tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir. Secara nasional, Sulawesi Selatan menempati urutan 17 dari 33 provinsi. Sedangkan secara regional, dari enam provinsi di Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan menempati posisi kedua terendah, sesudah Sulawesi Utara. Gorontalo, yang merupakan hasil pemekaran dari Sulawesi Utara, mencatat persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi. Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 40 35 30 25 Persen 20 13,33 15 11,60 10 5 0 Indonesia Kalsel Sulteng Gorontalo Riau Kalteng Kalbar Jambi Sumut NTT Maluku Babel Malut NAD Sumbar Sulsel Jatim Lampung NTB Papua Jabar Bali Sulbar Sumsel Jateng Kaltim Sulut Sultra Papua Barat DKI Jakarta Kep. Riau Bengkulu Banten DIY Yogya Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. 112 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan tinggi, namun persentasenya rendah. Dari segi jumlah, Sulawesi Selatan memiliki populasi penduduk miskin tertinggi di Sulawesi. Namun persentasenya terendah kedua setelah Sulawesi Utara. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan mencapai 913 ribu orang. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari Sulawesi Tenggara dan empat kali lipat dari Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan hanya 11,6 persen atau hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi. Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010 1.000.000 913.400 25 Persentase Penduduk Miskin 900.000 23,19 Jumlah Penduduk Miskin 800.000 20 700.000 18,07 17,05 600.000 15 13,58 475.000 500.000 400.700 11,60 400.000 10 9,10 300.000 206.700 209.900 200.000 141.300 5 100.000 0 0 Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Proporsi penduduk miskin yang bermukim Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut di wilayah perdesaan jauh lebih besar Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010 dibandingkan dengan di wilayah perkotaan.. Pada tahun 2010, 87 persen dari total penduduk miskin bermukim di perdesaan dan 13 persen 13,05% perkotaan bermukim di perkotaan. Angka ini turun dari tahun 2006, dimana 85 persen bermukim di perdesaan perdesaan dan 15 persen bermukim di perkotaan. Rata-rata penduduk miskin di perdesaan hanya menurun 4 persen per tahun, sedangkan di perkotaan menurun 7 persen per tahun. Akibatnya, sebaran penduduk miskin sedikit berubah. Proporsi 86,95% penduduk miskin yang bermukim di wilayah perdesaan cenderung meningkat, dan sebaliknya di wilayah perkotaan cenderung menurun. Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. P1 menurun dari 3,43 pada tahun 2006 menjadi 1,91 pada tahun 2010, yang mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan. Sedangkan P2 menurun dari 1,00 menjadi 0,49 para periode yang sama, yang mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin menyempit atau membaik. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 113 Ketimpangan distribusi pendapatan di Sulawesi Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Selatan cenderung meningkat dalam tiga tahun dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi terakhir. Kecenderungan semacam ini juga terjadi Selatan, 2006-2010 di tingkat nasional. Pertumbuhan ekonomi yang 4,0 cenderung meningkat dan tingkat pengangguran 3,43 3,5 terbuka yang cenderung menurun telah memberi dampak positif terhadap penurunan jumlah dan 3,0 2,60 2,44 persentase penduduk miskin. Namun ketimpangan 2,5 2,08 distribusi pendapatan, ditunjukkan oleh angka 1,91 2,0 koefisien gini, yang cenderung meningkat 1,5 mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi 1,00 telah memberi manfaat yang jauh lebih besar bagi 1,0 0,68 0,67 0,55 0,49 penduduk kaya (kelompok pendapatan tertinggi) 0,5 ketimbang penduduk miskin (kelompok pendapatan 0,0 terendah). Akibatnya, distribusi pendapatan antar 2006 2007 2008 2009 2010 kelompok masyarakat cenderung semakin melebar. P1 P2 Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 0,41 0,40 0,40 0,39 0,39 Indonesia 0,38 0,38 0,37 0,37 0,37 Sulawesi Selatan 0,36 0,36 0,36 0,35 0,35 0,34 0,33 0,32 2007 2008 2009 2010 Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan relatif merata selama periode 2005-2009. Pada tahun 2005, dari seluruh rumah tangga kelompok pendapatan terendah (kuintil 1) hanya 3,1 persen yang dikepalai oleh perempuan, sementara pada kelompok pendapatan tertinggi sebesar 4,3 persen. Angka ini meningkat pada tahun 2009, baik untuk kelompok pendapatan terendah maupun tertinggi. Bahkan, seluruh kelompok pendapatan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa secara relatif jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah terus meningkat di Sulawesi Selatan pada semua kelompok pendapatan. Tidak terdapat perbedaan proporsi kepala rumah tangga perempuan yang signifikan antar kelompok pendapatan miskin dan kaya. 114 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Rata-rata 2005 3,1% 3,4% 4,1% 3,6% 4,3% 3,6% 2006 3,4% 3,8% 3,8% 3,9% 4,4% 3,8% 2007 3,8% 4,1% 4,1% 4,5% 5,6% 4,3% 2008 3,3% 3,9% 3,1% 3,2% 4,1% 3,5% 2009 4,5% 4,0% 3,9% 4,3% 4,8% 4,3% Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas. 7.1.2 Gambaran Kemiskinan di Kabupaten/Kota Secara umum, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin selama periode 2005-2010. Kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin bervariasi antar kabupaten/kota, Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, ada tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, dan Kota Makassar, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Sepuluh dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase penduduk miskin di atas rata-rata provinsi. Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan tiga kabupaten dengan tingkat persentase penduduk miskin tertinggi. Gambar 7.7. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 25 19,26 20 15 Persen 10 5,86 5 0 Jeneponto Barru Luwu Wajo Soppeng Pinrang Gowa Maros Makasar Palopo Toraja Utara Takalar Pare Pare Bulukumba Bone Tana Toraja Bantaeng Selayar Sidrap Sinjai Luwu Timur Luwu Utara Enrekang Pangkep Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Hampir setengah dari jumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin. Selama kurun waktu 2005-2008, Kabupaten Soppeng menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin paling drastis. Selain Kabupaten Soppeng, kabupaten lainnya yang menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin adalah Kabupaten Luwu Utara, Barru, Pinrang, Luwu, Wajo, Bone, Bantaeng, Bulukumba, Kota Palopo dan Pare-Pare. Sebaliknya, Kabupaten Selayar dan Gowa menunjukkan penurunan persentase penduduk paling tinggi. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 115 Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 No. Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 1 Selayar 22,71 20,82 20,45 18,49 15,00 2 Bulukumba 12,08 13,84 13,56 12,26 9,20 3 Bantaeng 10,41 12,34 12,12 10,94 10,25 4 Jeneponto 23,18 25,06 24,55 22,48 19,10 5 Takalar 14,94 14,09 13,80 12,68 11,16 6 Gowa 16,90 14,55 14,13 12,79 9,49 7 Sinjai 14,15 15,76 13,87 12,73 10,68 8 Maros 20,13 20,09 20,08 18,55 14,62 9 Pangkajene Kepulauan 22,79 23,82 23,93 21,36 19,26 10 Barru 11,69 13,91 14,73 13,49 10,69 11 Bone 16,38 18,78 18,84 17,35 14,08 12 Soppeng 4,65 5,60 5,45 11,22 10,42 13 Wajo 9,95 11,57 11,36 10,16 8,96 14 Sidenreng Rappang 8,38 8,19 8,05 7,64 7,00 15 Pinrang 9,07 10,70 10,44 9,65 9,01 16 Enrekang 21,59 23,18 22,79 20,51 16,86 17 Luwu 18,51 20,13 21,24 19,44 15,44 18 Tana Toraja 18,87 20,44 19,91 18,57 14,62 19 Luwu Utara 14,63 14,48 14,03 18,38 16,25 20 Luwu Timur 13,05 11,35 10,21 10,98 9,18 21 Toraja Utara na na na na 19,08 22 Kota Makasar 6,19 7,22 5,66 5,36 5,86 23 Kota Pare Pare 6,70 7,86 7,65 7,10 6,53 24 Kota Palopo 11,36 12,92 12,71 12,83 11,28 Sulawesi Selatan 13,71 14,57 14,11 13,41 11,61 Sumber: Diolah berdasarkan data BPS. Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan bervariasi antar kabupaten/kota. Proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan miskin terbesar terdapat di Kabupaten Wajo (7,4 persen) dan Makassar (6,6 persen) dan sebaliknya proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan tinggi terbesar terdapat Kabupaten Pangkep (8,5 persen) dan Takalar (7,7 persen), dan Pinrang (6,6 persen). Daerah dengan proporsi 20 persen pendapatan tertingginya yang lebih tinggi mengindikasikan akses perempuan yang lebih baik terhadap sumber pendapatan atau ekonomi. 116 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan 10% 8,5% 8% 7,4% 6% 4% 2% 0% 20% Pendapatan terendah 20% Pendapatan tertinggi Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas 2009. Catatan: Tidak termasuk Toraja Utara. 7.1.3 Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Sulawesi Selatan Isu pengentasan kemiskinan belum secara spesifik ditempatkan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Hal ini disebabkan lebih rendahnya persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan, setidaknya jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Meskipun demikian, agenda-agenda pembangunan daerah, sebagaimana bisa diamati di dalam RPJMD Sulawesi Selatan, masih memiliki relevansi dan kaitan yang sangat erat dengan pengentasan kemiskinan. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan tema, subtansi, dan tujuan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan, diyakini berkontribusi besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan masih bertumpu pada program-program yang diimplementasilkan oleh pemerintah secara nasional, terutama melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program pengentasan kemiskinan yang dikreasikan secara lokal oleh pemerintah daerah, tampaknya masih sangat terbatas. Jika diamati, program pengentasan kemiskinan yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah dilakukan melalui dua skema utama, yaitu pertama, menurunkan atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini muncul dalam bentuk pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan produktivitas dan pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skema bantuan modal usaha, dan sebagainya. Beberapa lembaga donor juga banyak mendukung lewat aktivitas tidak langsung yang diyakini berkorelasi dengan upaya pengentasan kemiskinan. Misalnya sebuah program di Kabupaten Jeneponto berorientasi pada peningkatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan layanan publik. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 117 7.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi  Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. Meski demikian, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan masih yang tertinggi secara regional (Pulau Sulawesi) dan persentase penduduk miskin masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) diharapkan dapat secara intensif mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan upaya itu, pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) juga perlu dibentuk dan diintensifkan di seluruh wilayah kabupaten/kota.  Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Namun ketimpangan distribusi pendapatan, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini, cenderung meningkat. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh penduduk miskin (kelompok pendapatan terendah) namun penduduk kaya (kelompok pendapatan tertinggi) memperoleh manfaat yang jauh lebih besar. Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem penganggaran yang lebih berpihak kepada kelompok penduduk miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus didorong ke arah yang lebih signifikan.  Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan juga menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin menyempit atau membaik.  Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan perlu lebih diintensifkan di ketiga kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.  Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang memberi ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. Kebijakan semacam ini jauh lebih bisa diandalkan ketimbang kebijakan yang populis dan program-program yang bersifat charity. Pemerintah daerah perlu menfasilitasi keterlibatan berbagai pihak dalam upaya perbaikan taraf hidup masyarakat, terutama penduduk miskin. 7.2 Analisis Lingkungan Hidup Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah masalah yang sangat fundamental bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Kualitas kehidupan sangat bergantung pada kualitas lingkungan hidup. Pemerintah Sulawesi Selatan menyadari pentingnya kualitas lingkungan yang baik dan merumuskan kebijakan Pengelolaan lingkungan hidup dalam RPJMD 2008-2013 yang menekankan peningkatan kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga proses-proses alamiah secara optimal dapat berlangsung dan memberikan manfaat bagi kehidupan. 118 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Laju peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor utama meningkatnya tekanan pada lingkungan. Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan sebesar 1,3 persen per tahun mengakibatkan peningkatan aktivitas dan sekaligus meningkatkan potensi pencemaran. Pertanian yang merupakan salah satu aktivitas penting di Sulawesi Selatan menjadi penyumbang bahan cemaran dan residu pertanian pada ekosistem perairan. Demikian juga industri merupakan sektor sekunder yang juga berkontribusi pada peningkatan jumlah bahan cemaran. Rumah tangga selain meningkatkan permintaan terhadap alih fungsi lahan hijau juga menghasilkan limbah secara signifikan. Pencegahan dan penanggulangan bencana alam harus dilakukan secara terkoordinasi antar kabupaten/kota. Belajar dari pengalaman di banyak tempat, sumber daya alam dan lingkungan sering melewati batas administrasi. Wilayah Sulawesi Selatan sendiri cukup rentan dengan bencana longsor dan banjir. Pengelolaan atas sumber daya harus mulai melibatkan seluruh daerah yang terkait. Sebagai contoh, banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila-Cenrana akan menggenangi Kabupaten Wajo, Sidrap, dan Bone. Bencana tanah-longsor di kawasan hutan lindung Kabupaten Sinjai dan Gowa merusak kawasan permukiman dan pertanian di dua kabupaten tersebut. 7.2.1 Belanja Urusan Lingkungan Hidup Belanja urusan lingkungan hidup Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Meski demikian mayoritas cenderung dibelanjakan untuk belanja pegawai. Belanja terkait lingkungan hidup tidak hanya terdapat di Urusan Lingkungan Hidup, misalnya di Urusan Kehutanan, Kelautan, atau Pertanian. Analisis ini mengambil data dari Urusan Lingkungan Hidup saja. Pemerintah provinsi memiliki beberapa program pengendalian lingkungan hidup. Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup merupakan satu dari delapan program Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Sulawesi Selatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Jumlah APBD Sulsel yang dibelanjakan untuk Program ini tahun 2010 sebesar Rp. 1,64 miliar dari total APBD-BLHD Sulsel sebesar Rp. 8,84 miliar atau sebesar 18,5 persen. Kegiatan yang terlaksana dalam Program ini adalah: (i) koordinasi penilaian kota sehat/Adipura, (ii) pengelolaan limbah B3; (iii) koordinasi penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); (iv) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup; dan (v) penata-usahaan sarana laboratorium. Sebagian besar kegiatan pada BLHD Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Beberapa kegiatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam yaitu (i) pengelolaan limbah B3, (ii) koordinasi penyusunan AMDAL, (iii) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup, (iv) Pengembangan dan pemantapan kawasan konservasi perikanan, (v) Penyusunan Rencana Pengelolaan lingkungan hidup, (vi) Penyusunan status lingkungan hidup daerah, dan (vi), Gerakan penghijauan dan konservasi alam. Jumlah biaya seluruhnya adalah sebesar Rp. 2,5 miliar, atau 28,3 persen (DPA-BLHD Provinsi Sulsel, 2010). Sebagian besar alokasi anggaran pengendalian perusakan lingkungan hidup dan bencana alam dikontribusi oleh pemerintah pusat (APBN) melalui sektor-sektor terkait, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Kementerian Kehutanan), Pengelolan Kawasan Konservasi Laut (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan Pelaksanaan AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 119 Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 180 60% 56% 160 30 50% 140 26 45% 46 120 34 40% 35% 36% Rp. Miliar 100 29 55 57 30% 42 80 17 49 43 60 6 19% 20% 45 40 33 64 65 71 9% 55 10% 20 43 21 25 0 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** PegawaiB arang dan Jasa Modal% Pegawai % Barang dan jasa% Modal Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok. 7.2.2 Gambaran Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan Respon dari belanja untuk perbaikan lingkungan hidup baru dapat diukur beberapa tahun ke depan. Analisis kinerja belanja urusan lingkungan hidup di daerah Sulawesi Selatan seharusnya dapat menjelaskan perubahan laju perusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Tetapi, perubahan parameter lingkungan hidup umumnya berlangsung dalam rentan waktu yang cukup lama sehingga relatif sulit memantaunya dalam waktu singkat. Laju perbaikan kerusakan hutan lindung dan kawasan kritis masih relatif kecil dibandingkan dengan laju kerusakannya. Pemerintah Sulawesi Selatan lewat Status Lingkungan Hidup Daerah (2009) mengestimasi luas lahan kritis di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebesar 683 ribu hektar atau sekitar 15 persen dari total luas Sulawesi Selatan. Lahan-lahan kritis tersebut tersebar dalam kawasan hutan seluas 370 ribu hektar dan di luar kawasan hutan seluas 313 ribu hektar. Dari jumlah ini Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan reboisasi sebanyak 53 ribu hektar, atau 7 persen saja. Jika data ini dikaitkan dengan luas hutan negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 2,1 juta hektar maka sekitar 20,5 persen dari luas hutan negara yang ada telah mengalami kerusakan. Terjadi penurunan luasan mangrove secara signifikan. Data Dinas Kehutanan dan BLHD menyebutkan mangrove di Sulawesi Selatan pada tahun 1980-an seluas dari 113 ribu hektar turun menjadi 23 ribu hektar di tahun 2011. Terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 hektar dan hutan mangrove sekunder seluas 22 ribu ha Luas areal mangrove di Indonesia diperkirakan sebesar 3,7 sampai 4,2 juta hektar, dan 75 persen berada di Papua. Di Pulau Sulawesi sendiri luas mangrove diperkirakan hanya sebesar 133.000 ha, atau 2 persen dari luas keseluruhan mangrove di Indonesia. Penurunan luasan mangrove disebabkan utamanya oleh alih-fungsi yang berlebihan dan tak-terkendali kawasan mangrove menjadi kawasan permukiman dan pertambakan. Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan upaya menekan laju kerusakan mangrove melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan berhasil merehabilitasi 5.920 hektar, menekan laju deforestasi sebesar 10 persen. Selain itu, Kabupaten Sinjai dan Wajo telah mengupayakan rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat yang mampu merehabilitasi kawasan lebih besar 500 ha. 120 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Kawasan terumbu karang mengalami tekanan berat akibat praktek penangkapan tidak ramah lingkungan. Perairan laut Sulawesi Selatan memiliki kawasan terumbu karang seluas 5.970 kilometer persegi, sebagian besar berada dalam kondisi rusak atau kritis. Diperkirakan terumbu karang mampu menghasilkan stok sumberdaya ikan sebesar 15-20 metrik ton per km2 per tahun., Menurut estimasi, kerugian pemerintah Indonesia akibat pengeboman ikan (blast fishing) sebesar US$ 370 miliar atau US$ 90.000/km2 (Pet-Soede, 1999). Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak. 6 Lingkaran dalam: Sulawesi Selatan Lingkaran luar: Nasional 2 22 26 36 Sangat baik Baik Rusak Kritis 40 32 Sumber: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin (2006). Beberapa Kabupaten memiliki program perbaikan terumbu karang sendiri. Sebagai contoh, Kabupaten Pangkep dan Selayar melalui program COREMAP II telah berhasil memperbaiki tutupan karang hidup di atas 5 persen per tahun. Program ini selain mengintervensi langsung kepada pelaku perusak terumbu karang, juga memberikan insentif untuk beralih dari kegiatan merusak karang menjadi kegiatan yang tidak merusak kawasan terumbu karang di dua kabupaten. Sulawesi Selatan cukup rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Sekitar 78 persen wilayah Sulawesi Selatan memiliki topografi bergunung sampai berbukit dengan kemiringan lereng lebih besar dari 40 persen. Daerah ini juga memiliki curah hujan tinggi dengan rata curah hujan bulanan sebesar 200 milimeter. Walaupun bencana longsor dan banjir terjadi pada tingkat lokal, penyebabnya seringkali terbentang melewati daerah administrasi yang berbeda. Akibat jangka panjang dari rusaknya daerah hulu dan aliran sungai akan mempengaruhi perkotaan di pesisir, menambah sedimentasi sungai dan bendungan, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya beban pemeliharaan sumber daya dan penanggulangan bencana pada anggaran pemerintah daerah. 7.2.3 Kesimpulan dan Rekomendasi  Sebagian besar kegiatan pada BLHD Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Hal ini juga terlihat dari besaran belanjanya. Belanjan urusan Lingkungan hidup meningkat 2 kali lipat dalam kurun 2005-2010, tetapi belanja pegawai meningkat 3 kali lipat.  Pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada orang atau perusahaan yang berhasil menerapkan green activity. Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Membangun pemahaman, meningkatan sensitifitas dan kepedulian, serta mengembangkan budaya sadar-lingkungan menjadi Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 121 tahapan penting dalam mengelola lingkungan hidup. Sistem pemberian insentif bagi mereka yang berhasil menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam bentuk materi, seperti pengurangan pajak.  Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi perusahaan. Pencemaran sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia, yaitu rumah tangga dan industri. Penerapan biaya atau pajak lingkungan seharusnya mulai diperkenalkan. Pajak lingkungan merupakan upaya menginternalisasi dampak lingkungan melalui mekanisme ekonomi untuk mendukung mekanisme administrasi seperti AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).  Pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) seharusnya menyusun dan mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing- masing. Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi, antara lain menentukan kawasan rawan bencana, menghindari terjadi kombinasi dengan faktor alam lainnya yang dapat meningkatkan kerugian dan membangun jalur-jalur evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Perencanaan mitigasi bencana sudah menjadi keharusan yang merupakan penjabaran lebih operasional dari rencana mitigasi dalam penataan ruang wilayah.  Perencanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini disebabkan pengelolaan sumber daya alam serta bencana alam yang terjadi seringkali berdampak pada beberapa kabupaten/kota sekaligus. Daerah yang berada di hilir atau pesisir akan menanggung dampak lebih besar dari bencana, sehingga tidak dapat mengelola atau mencegah bencana tanpa ada upaya dan komitmen serupa dari daerah di hulu. 7.3 Analisis Gender 7.3.1 Gambaran Umum Gender di Sulawesi Selatan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulawesi Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan, namun masih Selatan, 2005-2010 terjadi kesenjangan gender. Hal ini ditunjukkan 80 oleh Indeks Pembangunan Gender (IPG) masih di 68,06 68,81 69,62 70,22 70,82 bawah rata-rata IPM Sulawesi Selatan. Pada tahun 70 60,4 61,04 62,07 57,4 59 2009, IPG mencapai 62,07 lebih tinggi dari tahun 60 sebelumnya, sementara IPM mencapai 70,82. 50 Meskipun IPG berada dibawah rata-rata IPM, namun 40 sejak tahun 2005 perkembangan setiap tahun cukup signifikan sehingga mengalami peningkatan 30 sebesar 4,67. Dengan mencermati indikator capaian 20 IPG, penyumbang terbesar tingginya IPG terutama 10 disebabkan oleh tingginya sumbangan pendapatan 0 laki-laki berkisar 70,16 persen, sementara perempuan 2005 2006 2007 2008 2009 hanya berkisar 29,84 persen. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan masih banyaknya IPM IPG angka buta huruf perempuan juga menjadi Sumber : Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP dan PA; BPS. penyebab rendahnya angka IPG. Untuk mendorong IPG ketingkat capaian yang lebih tinggi maka perlu upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender. 122 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan (IDG) di Sulawesi Selatan menunjukkan dan Nasional, 2005 – 2009 perbaikan selama periode 2005-2009, namun 70 masih di bawah dari rata-rata Nasional. Pada 60 tahun 2005, IDG mengalami peningkatan dari 50 61,3 61,8 62,1 62,27 63,52 poin pada tahun 2005 menjadi 53,82 poin pada 50 51,8 52,6 52,9 53,82 tahun 2009 atau meningkat sebesar 3,82 poin namun 50 40 posisinya lebih rendah dari angka nasional (63,52). Penyumbang terbesar rendahnya IDG di Sulawesi 30 Selatan adalah rendahnya keterlibatan perempuan 20 di parlemen yang hanya mencapai 4,4 persen pada 10 tahun 2009 dan merupakan terendah dari seluruh provinsi lainnya di Indonesia. Rendahnya posisi 0 IPG dan IDG terhadap nasional menandakan masih 2005 2006 2007 2008 2009 perlunya keseriusan pemerintah daerah Sulawesi IDG Nasional IDG Sulawesi Selatan Selatan untuk meningkatkan upaya pemberdayaan Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP dan perempuan. PA; BPS. Perbaikan IPG dan IDG pada tingkat provinsi ternyata merupakan cerminan dari perbaikan IPG dan IDG pada 23 kabupaten di Sulawesi Selatan. Kabupaten yang mengalami peningkatan terbesar untuk IPG selama dua tahun terakhir (2008-2009) adalah Gowa dari 61,52 pada tahun 2008 menjadi 81,65 pada tahun 2009. Sementara kabupaten/kota lainnya juga meningkat dengan point yang berkisar pada 0 – 2. Kabupaten Pinrang mempunyai peningkatan IDG tertinggi yaitu dari 47,05 pada tahun 2008 menjadi 48,36 pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 1,31 poin. IDG untuk kabupaten/kota lainnya hanya meningkat pada kisaran 0-1 poin selama tahun 2008-2009. Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 - 2008 2009 Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 123 Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan 70 60 50 40 30 20 10 0 2008 2009 Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010. 7.3.2 Perspektif Gender di Wilayah Pesisir Serapan tenaga kerja perempuan di provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005 – 2009 besar dan terus mengalami peningkatan, dari 71 persen di tahun 2005 menjadi 88 persen di tahun 2009. Bila diamati lebih dalam, total angkatan kerja di tahun 2005 mencapai 1,2 juta hanya terserap sebesar 873 ribu atau 71 persen-nya. Angka ini terus meningkat di tahun 2006 dan 2007 menjadi 78 persen dan 82 persen, sementara untuk tahun 2008 dan 2009, tingkat serapannya mencapai 88 persen. Meski tingkat serapan tenaga kerja perempuan cukup besar, namun kebanyakan dari mereka mendapat upah lebih rendah dari tenaga kerja laki-laki dengan beban kerja yang sama. Hal ini terlihat pada capaian IPG dimana sumbangan pendapatan perempuan hanya berkisar 29,84 persen, dibandingkan dengan laki-laki yang sebesar 70,16 persen. Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 1.400 1.200 1.220 1.229 1.074 1.000 800 Ribu 874 600 400 200 - 2005 2006 2007 2008 2009 Total Tenaga Kerja Perempuan Total Angkatan Kerja Perempuan Sumber: Diolah dengan menggunakan data Susenas. Namun sebuah anomali terjadi pada kontribusi perempuan dalam pendapatan ekonomi rumah tangga pesisir (khususnya di bidang perikanan laut), dimana kontribusi pendapatan istri lebih besar dari suami. Keterlibatan perempuan dalam pencaharian nafkah di bidang perikanan meliputi seluruh rangkaian kegiatan, yaitu produksi, pengolahan dan pemasaran. Sekitar 70 persen perempuan terlibat 124 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah dalam lebih dari satu kegiatan, misalnya pengolahan dan pemasaran. Berdasarkan data 2011, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran lebih besar 1.3 persen dari suaminya. Sementara itu, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi dan pengolahan lebih besar 8,83 persen dari suaminya. Perbedaan paling besar terlihat pada kegiatan pengolahan dan pemasaran, yaitu sebesar 18,53 persen. Namun pada kegiatan tunggal, yaitu pemasaran, kontribusi pendapatan istri lebih rendah 11 persen dari suaminya. Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Pendapatan Rumah Persentase Kontribusi No. Jenis Kegiatan tangga Suami Istri Anggota RT Lainnya Produksi,Pengolahan dan 1. 2.757.150,- 43,00 44,30 6,25 6,45 Pemasaran 2. Produksi dan Pengolahan 2,428,600,- 35,58 44,41 12.22 7.79 3. Pengolahan dan Pemasaran 2.314.300,- 34,87 53,40 4.85 6,88 4. Pemasaran 2.752.777,- 52,06 41,06 3,18 3,70 Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011. Meski kontribusi pendapatan istri di sebagian besar kegiatan ekonomi rumah tangga pesisir lebih besar dari suaminya, namun hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan curahan tenaga yang diberikan untuk mengurus kegiatan yang sama. Dengan pembagian kerja yang relatif jelas antara suami dan istri pada ekonomi rumah tangga, terlihat curahan tenaga istri untuk kegiatan pengolahan dan pemasaran memiliki selisih tertinggi sebanyak 153,56 jam per bulan dari curahan tenaga suami. Hal ini berbanding lurus dengan kontribusi pendapatannya. Kondisi yang sama terlihat pada kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan selisih 38,81 jam per bulan. Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011 Alokasi Tenaga (Jam/Hari) Jenis Kegiatan Nafkah No. Anggota Rumah Tangga Rumah Tangga Suami Istri Laki-laki Perempuan Produksi, Pengolahan dan 12,27 13,56 10,33 10,66 1. Pemasaran (368,33) (407,14) (310) (320) 14,8 9,75 12,08 7,7 2. Produksi dan Pengolahan (444,5) (292,8) (362,5) (231,66) 6,2 11,35 4,88 10.66 3. Pengolahan dan Pemasaran (187,14) (340,7) (146,6) (206,66) 8,9 10,51 8,55 9,10 4. Pemasaran (267,77) (315,55) (256,66) (297,5) Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011. Catatan: Angka dalam kurung adalah rata-rata alokasi tenaga kerja dalam satu bulan (jam/bulan). Namun bila melihat kegiatan produksi dan pengolahan serta kegiatan pemasaran, terdapat ketidakwajaran curahan tenaga dengan kontribusi pendapatan. Pada kegiatan produksi dan pengolahan, curahan tenaga istri lebih kecil dibanding suami dengan selisih sebesar 151,7 jam per bulan, sementara pendapatan istri lebih besar. Ketidakwajaran yang sama terjadi pada kegiatan pemasaran, dimana curahan tenaga istri lebih besar 47,78 jam per bulan dibanding dengan suaminya, tetapi pendapatannya Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 125 lebih rendah. Pada kegiatan pemasaran, kondisi curahan tenaga istri yang lebih besar dari perolehan pendapatan, sesuai dengan kondisi keseluruhan yang tercatat dalam indikator IPG. Namun ketidakwajaran kegiatan produksi dan pengolahan perlu dianalisa lebih jauh untuk mengetahui apa yang terjadi dibaliknya. 7.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi  Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Selatan dan rata- rata nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di Sulawesi Selatan. Beberapa rekomendasi kebijakan yang sekiranya dapat meningkatkan IPG dan IDG Sulawesi Selatan antara lain: (i) Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan, (ii) Perlu pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat, (iii) Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase melek huruf, (iv) Perlu peningkatan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun dan 12 Tahun yang responsif gender. (v) Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama untuk perempuan.  Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan golongan pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat (sub-bab 7.1). Hal ini terlihat dari persentase rumah tangga yang dikepalai perempuan dalam kelompok pendapatan terendah, cenderung meningkat dalam kurun 2005 hingga 2009. Dalam kaitan itu, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kegiatan yang dapat mendukung peningkatan pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang dihasilkan.  Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga. Hanya saja kegiatan yang mereka lakukan hanya terbatas pada kegiatan informal produksi, pengolahan dan pemasaran ikan. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pendapatan perempuan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah setempat: (i) perlu pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal teknis dan manajemen usaha, (ii) perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien, (iii) perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan. 126 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Bab 7 Analisis Isu Daerah Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 127 Lampiran Lampiran A. Apakah yang Dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? Melihat pengalaman dari pelaksanaan Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization (PEACH) di berbagai daerah di kawasan timur Indonesia Pemerintah Sulawesi Selatan berinisiatif untuk melakukan program serupa. Pengalaman PEACH di provinsi lain menunjukkan bahwa analisis partisipatif atas belanja pemerintah merupakan titik awal yang baik untuk memperbaiki kualitas pengelolaan belanja pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi dan tanggung jawab yang baru diperoleh pemerintah daerah di indonesia dengan dilaksanakannya desentralisasi. Untuk menanggapi hal tersebut, Bank Dunia bekerja sama dengan tim peneliti yang diorganisir oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin melakukan analisis menyeluruh atas pengelolaan belanja pemerintah, yang dihubungkan dengan suatu program kegiatan untuk memperkuat kapasitas pemerintah-pemerintah daerah. Tujuan yang diharapkan dari PEACH Sulawesi Selatan adalah perbaikan alokasi sumber daya anggaran yang mengarah pada penyediaan layanan publik yang lebih baik di tingkat daerah yang disesuaikan dengan preferensi dan pertimbangan di tingkat daerah. Hal tersebut dapat dicapai dengan keterlibatan para pengambil keputusan di tingkat daerah serta para pemangku kepentingan lainnya dalam pengidentifkasian prioritas belanja pemerintah dan pengelolaan keuangan. Tujuan utama dari komponen PEA adalah: (i) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan belanja pemerintah di suatu provinsi khususnya sehubungan dengan proses perencanaan dan penganggaran parsitipatif dan pemberian layanan dasar. (ii) mengembangkan strategi-strategi untuk memperbaiki pengelolaan keuangan Sulawesi Selatan untuk mencapai layanan umum dan penanaman modal umum yang lebih baik untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. (iii) membentuk sistem yang lebih baik untuk menganalisis dan mengawasi anggaran daerah. Sistem tersebut dapat berupa: • membentuk jaringan rekan imbangan dari universitas-universitas lokal di Sulawesi Selatan dan instansi pemerintah daerah yang akan memimpin pelaksanaan PEACH Sulawesi Selatan dan dengan demikian akan membangun kapasitas untuk dapat melaksanakan analisis belanja pemerintah secara mandiri di masa mendatang; • memberikan bantuan teknis/peningkatan kapasitas pada jaringan ini untuk melakukan analisis serupa di masa mendatang. 130 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran Lampiran B. Catatan Metodologi Seluruh data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan dalam laporan ini diperoleh dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam bentuk Peraturan Daerah. Data tahun 2005-2009 menggunakan APBD Realisasi, untuk tahun 2010 menggunakan APBD Perubahan, dan untuk tahun 2011 menggunakan APBD Rencana/Pokok. Data APBD telah disesuaikan menggunakan inflasi dengan tahun dasar 2010. Pengkategorian belanja sektor adalah sebagai berikut: (1) data belanja sektor infrastruktur merupakan penggabungan belanja urusan pekerjaan umum, urusan permukiman, dan urusan perhubungan; (2) data belanja sektor pendidikan merupakan penjumlahan belanja urusan pendidikan, urusan kebudayaan, dan urusan perpustakaan; (3) data belanja sektor kesehatan adalah belanja urusan kesehatan; dan (4) data belanja sektor pertanian merupakan penjumlahan dari belanja urusan pertanian dan urusan ketahanan pangan. Data makro mengenai perkembangan pembangunan daerah Sulawesi Selatan, data kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor strategis, data komoditas unggulan, dan data terkait dengan isu-isu strategis, sebagian besar bersumber dari data publikasi BPS, antara lain Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Data Strategis BPS, Sulawesi Selatan Dalam Angka, Indikator Kesejahteraan Sosial, Hasil Sensus Penduduk 2010. Sebagian data sosial ekonomi lainnya diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hasil olahan Bank Dunia, UNDP, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan pemerintah provinsi dan kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 131 Lampiran C. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Tabel C.1. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Kesimpulan Rekomendasi Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu Pemerintah daerah perlu lebih sungguh-sungguh menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti tertuang dalam mempersiapkan seluruh dokumen dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan perencanaan penganggaran baik pada level daerah Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN. maupun dan khususnya level SKPD. Sebaiknya lebih fokus pada mempersiapkan kelengkapan dokumen perencanaan tahunan, yakni RKPD dan Renja-SKPD karena keduanya selama ini masih sering diabaikan. Pemerintah daerah melalui Bappeda, sebaiknya menyelenggarakan forum untuk menciptakan kesepahaman tentang pentingnya setiap dokumen perencanaan tersedia bagi setiap SKPD. Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Pemerintah daerah harus menerapkan mekanisme Renstra dan Renja SKPD belum semua secara konsisten reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam proses perencanaan dan penganggarannya. Terdapat lembaga eksekutif semata, tetapi juga disebabkan sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD proses dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan yang tidak dianggarkan dalam APBD. agar penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan lembaga legislatif. Kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Pelaksanaan Musrenbang harus konsisten dan Musrenbang masih tergolong rendah, ditunjukkan disiplin sesuai kalender perencanaan pada setiap dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui tingkatan pemerintahan. Musrenbang yang diakomodir. Pendampingan dan fasilitasi pelaksanaan Musrenbang, khususnya pada tingkat kecamatan dan desa/kelurahan yang merekam proses dan hasil usulan, dan mengkerucutkan rekomendasi. Audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodir usulan- usulan awal. Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah, ditunjukkan Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD. RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat Penempatan SDM aparat perencana pembangunan perencana dan pengelola keuangan daerah belum yang memiliki latar belakang keilmuan perencanaan memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, pembangunan atau pernah mengikuti diklat baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD. fungsional perencanaan pembangunan. Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah. 132 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Kesimpulan Rekomendasi Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan banyak memberikan perhatian pada dokumen anggaran adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal dibandingkan dokumen perencanaan. terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di antara keduanya. Pemerintah Provinsi Sulawesi, Kabupaten Luwu Timur Ketiga pemerintahan tersebut bisa dijadikan acuan dan Kota Pare-pare memiliki nilai yang baik dalam atau pembelajaran bersama bagi kabupaten/ analisa PKD kota lainnya paling tidak dari sisi ketersediaan dokumennya. Tabel C.2. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendapatan dan Belanja Daerah PENDAPATAN Kesimpulan Rekomendasi Pendapatan daerah riil di Sulawesi Selatan  Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap pemerintah kabupaten/kota, namun penyumbang memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbesar terhadap pendapatan daerah adalah terbaru, Dana Perimbangan  Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran,  Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi,  Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara proporsional,  Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah,  Mengevaluasi efektivitas peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD,  Mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif retribusi yang ditetapkan Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah Kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota Pendapatan Daerah yang sah di tingkat kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan. Evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota. Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan terus menerus dan harus meningkatkan sumber PAD- cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah Perimbangan. seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng. Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit  Mencari sumber-sumber pinjaman dan obligasi yang hampir setiap tahun. berkategori lunak,  Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 133 BELANJA Kesimpulan Rekomendasi Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan  Perlu pengelolaan belanja daerah pada aspek meningkat selama periode 2005-2010, akan tetapi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi proporsi belanja pegawai terhadap total belanja  Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak daerah pemerintah lebih dominan daripada melakukan penambahan pegawai baru) 2-3 tahun proporsi belanja modal kedepan  Melakukan penambahan tenaga yang teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan, tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari pegawai yang pensiun. Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi  Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan tahun ke depan, cukup dengan melakukan redistribusi kecenderungan yang semakin meningkat dari tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif tahun ke tahun cukup banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kabupaten/kota yang rasio guru murid lebih baik ke daerah kabupaten/kota yang kurang baik.  Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukkan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik. Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan  Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor- cukup timpang, dimana sektor pendidikan, sektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu infrastruktur dan pemerintahan umum masih ditingkatkan ke jumlah yang lebih signifikan. menyerap alokasi belanja paling besar sementara  Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang sektor kesehatan dan pertanian memperoleh terkait dengan fungsi ekonomi (pengembangan usaha alokasi yang relatif lebih kecil kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Alokasi belanja yang terkait upaya mewujudkan  Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada kesetaraan dan keadilan gender masih kecil masing-masing SKPD terkait dengan implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG).  Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan terkait PUG agar anggaran yang disusun lebih responsif gender.  Perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender untuk seluruh SKPD terkait. 134 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran Tabel C 3. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Sektoral PENDIDIKAN Kesimpulan Rekomendasi Proporsi belanja pegawai terhadap total Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan belanja sektor pendidikan relatif sangat ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat besar, tetapi proporsi belanja modal relatif diangkat ke tingkat yang lebih signifikan. kecil. Untuk menekan proporsi belanja pegawai, perlu kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai. Belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih ditingkatkan efisiensinya. Peningkatan belanja pendidikan di Belanja pendidikan perlu semakin ditajamkan arah Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong penggunaannya untuk mendorong kabupaten/kota dengan kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, kinerja rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di tetapi belum berhasil mendorong kinerja kabupaten yang rendah angkanya. hasil. Terutama rata-rata lama sekolah dan Perlu rekruitmen guru di tingkat SMA, tetapi tidak perlu di tingkat angka melek huruf pada tingkat setara SD dan SMP. dengan target RPJMD dan angka nasional. Menjangkau dan memasukkan ke bangku sekolah seluruh anak usia wajib belajar. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa. Perlu kebijakan realokasi guru dari kabupaten/kota dengan rasio guru-murid rendah ke kabupaten/kota dengan rasio guru-murid tinggi. Porsi anggaran untuk kebijakan pendidikan Mengingat kebijakan ini sudah diimplementasikan sejak tahun gratis relatif cukup besar dan menunjukkan 2008, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai kecenderungan yang semakin meningkat efektivitas kebijakan pendidikan gratis. dari tahun ke tahun. Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin dicapai atau dikoreksi. Terdapat ketidaksetaraan gender dalam Pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur kinerja hasil pembangunan pendidikan di di atas 29 tahun. Sulawesi terutama pada kelompok usia di Kelompok perempuan yang buta huruf ini juga diberi keahlian atas 29 tahun. lain sebagai bagian dari pemberdayaan. Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil Kebijakan pendidikan gratis perlu diikuti dengan bentuk meringankan beban pada anak usia intervensi lain yang bisa memaksa anak usia sekolah untuk masuk sekolah yang telah mengakses pendidikan ke bangku sekolah, khususnya pada anak yang terhambat secara tetapi belum efektif mendorong anak usia geografis (berlokasi di pegunungan serta pesisir, dan kepulauan) sekolah yang belum terjangkau pendidikan dan secara ekonomi-budaya (yang putus sekolah karena mencari untuk masuk ke bangku sekolah nafkah). Harus ada payung hukum untuk kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten dalam merealisasikan hal ini. Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk Mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi pendidikan antar kelompok pendapatan kelompok pendapatan termiskin misalnya lewat subsidi menunjukkan kesenjangan yang cukup pendidikan keluarga, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, timpang. Kelompok pendapatan termiskin Sidrap, dan Luwu.. di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap Kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya dan Luwu mengeluarkan anggaran pada kelompok pendapatan termiskin. untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 135 KESEHATAN Kesimpulan Rekomendasi Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan Sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang masih lebih rendah dari nasional dan pentingnya perbaikan gizi pada balita (termasuk jenis makanan Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih yang mengandung gizi yang tinggi dan bagus untuk dikonsumsi tinggi. anak-anak). Penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk. Pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh. Sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami. Proporsi belanja kesehatan terhadap Mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. persen per tahun. Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga program yang bersifat pencegahan. Masih ditemukan adanya kendala Perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar pembiayaan dalam program Kesehatan provinsi maupun antar kabupaten/kota. Gratis. Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk seluruh kabupaten/ kota Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan Mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan. tersebar merata di kabupaten, sementara Memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di bekerja di pelosok. perkotaan. INFRASTRUKTUR Kesimpulan Rekomendasi Arus penumpang dan barang di pelabuhan  Pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur udara meningkat sementara di pelabuhan pendukung bandar udara seperti terminal penumpang, loket laut cenderung menurun. kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar udara, untuk mengantisipasi pertumbuhan. Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi  Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi mengalokasikan belanja infrastruktur yang signifikan disebabkan di Sulawesi, beberapa kabupaten masih sebaran penduduk dan kondisi geografinya. memiliki tantangan. Akses rumah tangga yang dikepalai  Meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap perempuan terhadap air bersih cenderung sanitasi dan air bersih memburuk.  Menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan Peningkatan belanja infrastruktur di  Pemerintah daerah harus memperhatikan pemeliharaan kualitas Sulawesi Selatan berdampak pada jalan selain dari total ruas panjang jalan karena kualitas jalan di bertumbuhnya panjang jalan di Sulawesi Selatan memburuk. kabupaten/kota. Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan yang telah dialiri. produktivitas lahan, maka direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan 136 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran PERTANIAN Kesimpulan Rekomendasi Program unggulan di bidang pertanian  Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan mendapat dukungan dari kabupaten/kota infrastruktur pengolahan atau produksi (belanja modal) selain di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan belanja pertanian di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja pegawai. Secara umum, kinerja pencapaian Mengimplementasikan secara konsisten program-program pokok produksi pertanian pada setiap subsektor yang telah ditetapkan dalam RPJMD menunjukkan kinerja yang baik dan sejalan Mengembangkan tiga komoditas prioritas utama yakni beras, dengan target pencapaian yang ditetapkan jagung dan ternak kearah peningkatan value added. dalam RPJMD, terutama pada komoditas- Memperbaiki kualitas pengembangan komoditas beras dan komoditas yang menjadi andalan Sulawesi jagung dalam bentuk pengembangan produk organik. Produk Selatan. organik dapat meningkatkan pendapatan petani melalui penurunan biaya produksi dan peningkatan harga produk. Mengembangkan produk pertanian organik melalui integrasi dengan pengembangan ternak. Mengintegrasikan padi dan jagung dengan ternak sapi untuk menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya produksi ketiga komoditas tersebut lebih rendah dan kualitas dan harga produk lebih tinggi. Mengembangkan udang organik untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan, sebaiknya dikembangkan agar kegiatan budidaya daya udang dapat bangkit kembali, lestari dan berkelanjutan. Mengolah komoditas kakao dan rumput laut untuk menghasilkan produk yang siap dikonsumsi. Mengembangkan pengolahan bahan baku menjadi produk yang siap dikonsumsi agar tercipta nilai tambah atau pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Perkembangan kontribusi sektor pertanian Melakukan pemetaan komoditas unggulan melalui sinergitas cenderung menurun dengan tingkat stakeholder pembangunan bidang pertanian. pertumbuhan relatif kecil dibandingkan Melakukan diversifikasi produksi pasca panen untuk dengan sektor-sektor lainnya di Sulawesi meningkatkan nilai tambah (value added) sektor pertanian. Selatan. Selain itu, ketergantungan tenaga Meningkatkan investasi sektor publik pada sektor pertanian yang kerja sektor pertanian cukup tinggi. memiliki akselerasi dan daya dorong tinggi. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 137 Tabel C.4. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Komoditas Unggulan BELANJA PERTANIAN Kesimpulan Rekomendasi Program unggulan di bidang pertanian mendapat  Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada dukungan dari kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, pembangunan infrastruktur pengolahan atau terlihat dari besarnya belanja pertanian di kabupaten produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk konvensional seperti penyuluhan belanja pegawai. KOMODITAS JAGUNG Kesimpulan Rekomendasi Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar  Pengembangan komoditas dapat diarahkan pada 1,4 juta ton atau 93,3 pesen dari target produksi produksi jagung organik untuk peningkatan kualitas minimal 1,5 juta pada tahun 2013. dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani KOMODITAS KAKAO Kesimpulan Rekomendasi Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah  Masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan memperlihatkan kecenderungan peningkatan produksi intensifikasi melalui perbaikan bibit, pemeliharaan dan produktivitas (tahun 2009 dan 2010), walaupun dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum menyamai produksi dan produktivitas tahun belum tersentuh GERNAS. 2006.  Penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani kakao.  Merintis industri perkakaoan karena Sulawesi Selatan memiliki keunggulan mutlak dibanding daerah lain. Anggaran program pengembangan kakao mayoritas  Pemerintah Sulawesi Selatan harus lebih bersumber dari pusat. berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini mengingat Sulawesi Selatan saat ini memiliki keunggulan mutlak dan sedikit kompetitor pada produk kakao. KOMODITAS SAPI Kesimpulan Rekomendasi Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan  Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor dapat dicapai pada tahun 2013 peternakan hendaknya diprioritaskan untuk memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak KOMODITAS RUMPUT LAUT Kesimpulan Rekomendasi Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten  Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat masih berfluktuasi. Potensi peningkatan produksi dilakukan melalui pengelolaan balai benih untuk rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup besar. memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara utama petani rumput laut. optimal.  Selain itu, pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar. 138 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran KOMODITAS UDANG Kesimpulan Rekomendasi Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada  Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan Udang Windu mengakibatkan petani cederung tidak praktek intensif (penyebaran 30 ekor per meter membudidayakan Udang Windu. Hal ini menyebabkan persegi) resiko penyakit makin tinggi. target pertumbuhan produksi tidak tercapai  Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek tambak intensif Produksi benur masih di bawah kebutuhan.  Produksi benur di pembenihan harus dimaksimalkan, saat ini produksinya baru separuh kapasitas maksimum.  Produksi benur maksimum juga masih di bawah kebutuhan, pemerintah perlu membangun pusat pembenihan baru. Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum  Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya dimanfaatkan. pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan Tabel C.5. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Isu-Isu Strategis KEMISKINAN Kesimpulan Rekomendasi Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi  Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/ Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten kota) diharapkan dapat secara intensif selama periode 2006-2010. mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan.  Pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Penurunan jumlah persentase penduduk miskin  Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan berlangsung seiring dengan meningkatnya laju sektor hulu, sistem penganggaran yang lebih pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat berpihak kepada kelompok penduduk miskin, pengangguran terbuka. pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus didorong ke arah yang lebih signifikan Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara  Kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin perlu lebih diintensifkan di ketiga kabupaten tertinggi di Sulawesi Selatan. tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb. Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk  Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks program pembangunan daerah yang memberi ruang Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan juga bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, menunjukkan penurunan. untuk memperoleh pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 139 LINGKUNGAN HIDUP Kesimpulan Rekomendasi Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh Pemerintah daerah memberlakukan sistem kesalahan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pemberian insentif bagi mereka yang berhasil alam. menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam bentuk materi, seperti pengurangan pajak. Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi perusahaan. Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan Pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan dan kabupaten/kota) seharusnya menyusun dan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi. mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing-masing. Perancanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. GENDER Kesimpulan Rekomendasi Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan. setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Perlu pengembangan program dan kegiatan Selatan dan rata-rata nasional. responsif gender untuk hidup sehat. Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase melek huruf. Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun dan 12 Tahun yang responsif gender. Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan . Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Perlunya pengembangan program dan kegiatan Selatan berdasarkan golongan pendapatan relatif yang dapat mendukung peningkatan pendapatan merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat. dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang dihasilkan Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan Perlu pengembangan program dan kegiatan untuk perempuan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi teknis dan manajemen usaha. yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga. Perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien. perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan. 140 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran D. Master Table Tabel D.1. Penerimaan Berdasarkan Sumber Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 PAD 942.001,34 1.008.203,93 1.220.302,07 1.362.714,82 1.324.291,63 1.421.948,68 1.678.104,86 Pajak Daerah 788.082,73 858.238,32 1.045.960,00 1.175.115,54 1.113.479,35 1.249.259,11 1.458.737,07 Retribusi Daerah 67.862,44 72.125,64 69.473,10 80.279,44 107.203,72 116.787,85 104.677,65 Hasil Pengelolaan Kekayaan 56.965,96 48.333,58 56.871,14 60.321,99 63.180,00 51.668,70 59.865,60 Daerah yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 29.090,21 29.506,39 47.997,83 46.997,85 40.428,55 4.233,03 54.824,55 Yang Sah Dana Perimbangan 664.380,44 881.261,70 996.194,59 984.540,08 974.494,22 974.603,24 1.026.668,93 Dana Bagi Hasil Pajak 178.449,70 218.835,02 208.126,72 194.906,57 210.088,04 239.088,44 218.090,33 Bagi Hasil Bukan Pajak 22.182,83 - 50.774,81 28.513,99 9.672,18 - - Dana Alokasi Umum 463.747,91 662.426,68 737.293,06 722.464,41 706.942,90 706.276,40 769.075,30 Dana Alokasi Khusus - - - 38.655,11 47.791,09 29.238,40 39.503,30 BAGIAN LAIN-LAIN 17.996,58 34.763,18 8.879,77 4.400,50 19.693,50 58.966,73 - PENERIMAAN YANG SAH Pendapatan Hibah - - 8.879,77 4.400,50 19.693,50 - - Dana Darurat - - - - - - - Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi - - - - - - - dan Pemerintah Daerah Lainnya Dana Penyesuaian dan Otonomi - - - - - 58.966.73 - Khusus Bantuan Keuangan dari Provinsi - - - - - - - atau Pemerintah Daerah Lainnya Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah - - - - - - - Lainnya Pendapatan lainnya - - - - - - - Total penerimaan 1.624.378,36 1.924.228,80 2.225.376,43 2.351.655,40 2.318.479,35 2.455.518,65 2.704.773,79 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur Lampiran Catatan: angka dalam juta rupiah. 141 142 Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 PAD 523.329,72 683.061,73 872.730,55 760.129,12 852.488,18 986.831,14 1.058.879,76 Pajak Daerah 182.937,55 220.944,25 199.728,55 219.215,26 246.833,15 277.107,19 416.733,30 Retribusi Daerah 225.871,35 250.889,52 249.750,24 267.763,61 292.905,59 406.973,94 396.341,77 Hasil Pengelolaan Kekayaan 31.431,22 38.932,33 205.215,21 60.086,13 123.512,43 72.008,69 68.247.58 Daerah yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 83.089,61 172.295,63 218.036,55 213.064,12 167.085,69 230.741,32 177.557,10 Yang Sah Dana Perimbangan 6.336.443,73 9.712.394,68 10.561.106,68 10.207.549,15 10.195.909,11 9.957.751,97 10.332.751,82 Dana Bagi Hasil Pajak 769.623,46 940.638,82 945.924,26 867.387,70 845.706,43 1.092.153,94 939.538,08 Bagi Hasil Bukan Pajak 67.566,48 14.202,62 222.499,82 116.795,89 42.152,99 42.957,22 - Dana Alokasi Umum 5.114.836,30 7.900.121,12 8.207.052,44 7.921.597,01 7.954.415,46 7.867.174,91 8.294.197,08 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Dana Alokasi Khusus 384.417,49 857.432,12 1.185.630,17 1.301.768,55 1.353.634,24 955.465,90 1.099.016,67 BAGIAN LAIN-LAIN 520.461,67 516.286,95 879.734,98 1.085.257,53 1.046.667,15 2.481.123,47 1.814.257,18 PENERIMAAN YANG SAH Pendapatan Hibah - - 121.374,62 70.034,71 125.073,53 169.880,85 187.356,42 Dana Darurat - - 311.341,72 150.643,94 58.900,09 32.363,00 - Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi - - 290.327,00 399.416,94 299.953,60 437.931,52 470.125,44 dan Pemerintah Daerah Lainnya Dana Penyesuaian dan Otonomi - - 108.269,76 161.410,62 309.311,20 1.388.309,87 935.491,21 Khusus Bantuan Keuangan dari Provinsi - - 26.995,15 197.333,84 241.845,97 270.986,85 220.624,50 atau Pemerintah Daerah Lainnya Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah - - 21.426,73 106.417,48 11.582,75 181.651,39 659,60 Lainnya Pendapatan lainnya - - - - - - - Total penerimaan 7.380.235,12 10.911.743,36 12.313.572,21 12.052.935,80 12.095.064,44 13.425.706,59 13.205.888,76 Catatan: angka dalam juta rupiah. Lampiran Tabel D.2. Belanja berdasarkan Klasifikasi Ekonomi TAHUN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Provinsi               Pegawai (miliar rupiah) 469 467 523 634 639 632 723 Barang dan Jasa 358 450 448 493 493 576 559 (miliar rupiah) Modal (miliar rupiah) 316 316 393 353 313 334 345 Lain-Lain (miliar rupiah) 492 581 888 1,000 805 1,100 1,149 Total (miliar rupiah) 1.635 1.814 2.252 2.480 2.250 2.642 2.776                 Kabupaten               Pegawai (miliar rupiah) 3.162 3.502 5.543 5.875 0 7.475 7.763 Barang dan Jasa 1.316 1.844 1.739 1.825 0 2.181 2.306 (miliar rupiah) Modal (miliar rupiah) 1.445 2.666 3.657 4.070 0 3.400 2.622 Lain-Lain (miliar rupiah) 424 496 760 1.056 0 995 799 Total (miliar rupiah) 6.347 8.508 11.700 12.826 0 14.052 13.491                 Total               Pegawai (miliar rupiah) 3.631 3.969 6.066 6.509 6.766 8.108 8.487 Barang dan Jasa 1.674 2.294 2.187 2.318 2.476 2.757 2.865 (miliar rupiah) Modal (miliar rupiah) 1.761 2.982 4.051 4.423 4.043 3.734 2.967 Lain-Lain (miliar rupiah) 916 1.077 1.649 2.056 1.481 2.096 1.948 Total (triliun rupiah) 8,0 10,3 14,0 15,3 14,8 16,7 16,3 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 143 Tabel D.3. Belanja berdasarkan Sektor   2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Provinsi               Pemerintahan Umum 401 435 473 491 466 512 510 Pertanian 42 43 83 95 100 123 125 Perikanan dan Kelautan 14 16 24 24 32 30 31 Pertambangan dan Energi 12 12 18 17 21 19 18 Kehutanan dan Perkebunan 30 31 20 19 21 21 20 Perindutrian dan Perdagangan 37 43 48 27 33 27 27 Perkoperasian 19 38 18 19 21 18 16 Penanaman Modal 9 10 11 11 11 13 17 Ketenagakerjaan 18 17 19 18 19 20 21 Kesehatan 150 152 167 223 214 232 239 Pendidikan dan Kebudayaan 83 116 117 104 108 110 108 Sosial 16 18 18 18 22 29 35 Penataan Ruang 127 107 81 0 69 20 16 Permukiman 0 0 0 69 0 0 30 Pekerjaan Umum 138 155 217 311 252 304 340 Perhubungan 36 33 40 25 46 39 46 Lingkungan Hidup 9 9 10 9 10 12 11 Kependudukan 0 0 0 0 0 0 0 Olahraga 0 0 0 0 1 14 17 Kepariwisataan 0 0 0 0 0 0 0 Pertanahan 0 0 0 0 0 0 0 Transfer ke daerah bawahan 492 581 888 1.000 805 1.100 1.149 Total 1.635 1.814 2.252 2.480 2.250 2.642 2.776 Kabupaten/Kota               Pemerintahan Umum 2.275 2.856 3.127 3.432 2.881 3.149 3.532 Pertanian 145 239 361 379 329 369 386 Perikanan dan Kelautan 69 109 129 142 115 139 153 Pertambangan dan Energi 22 25 31 32 50 31 35 Kehutanan dan Perkebunan 57 69 81 83 98 89 92 Perindutrian dan Perdagangan 60 55 57 67 55 56 42 Perkoperasian 19 22 59 49 57 75 59 Penanaman Modal 2 1 4 4 6 7 11 144 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran   2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Ketenagakerjaan 29 35 35 38 40 43 33 Kesehatan 508 687 1.052 1.155 1.315 1.507 1.386 Pendidikan dan Kebudayaan 1.585 1.913 3.392 3.599 4.052 5.028 4.893 Sosial 26 36 63 63 90 82 102 Penataan Ruang 106 211 114 131 112 102 59 Permukiman 97 87 108 56 45 78 72 Pekerjaan Umum 714 1.400 2.002 2.177 2.243 1.925 1.457 Perhubungan 64 78 106 105 117 131 120 Lingkungan Hidup 51 78 106 143 127 136 145 Kependudukan 72 71 67 67 57 57 59 Olahraga 0 1 4 10 22 20 32 Kepariwisataan 25 38 39 39 23 28 19 Pertanahan 0 0 3 1 6 6 4 Transfer ke daerah bawahan 424 496 760 1.056 676 995 799 Total 6.347 8.508 11.700 12.826 12.516 14.052 13.491 Catatan: Angka dalam miliar rupiah. Tabel D.4. Belanja Pemerintah Pusat yang Terdekonsentrasi ke Provinsi Sulawesi Selatan   2005 2006 2007 2008 2009 PELAYANAN UMUM 356 213 173 113 128 PERTAHANAN 0 0 0 0 0 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 0 2 0 3 13 EKONOMI 2.126 2.864 2 4.023 4.850 LINGKUNGAN HIDUP 58 175 3.776 166 258 PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM 2.193 719 174 2.975 4.392 KESEHATAN 1.255 2.387 1.164 949 932 PARIWISATA DAN BUDAYA 54 55 2.023 53 104 AGAMA 15 19 54 0 0 PENDIDIKAN 4.978 7.199 0 9.145 14.730 KEPENDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN 250 334 7.569 146 143 SOSIAL Catatan: Angka dalam miliar rupiah. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 145 Tabel D.5. Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010 PAD Keuntungan DAU DAK Bagi Hasil Lain-lain Pajak Retribusi Perusahaan PAD Lain Daerah Makassar 100.208 47.016 4.572 10.167 481.021 34.161 133.018 277.201 Pare-Pare 47.475 230.675 12.544 53.184 2.068.333 181.520 383.524 859.358 Palopo 32.010 158.032 6.169 21.781 1.881.928 147.808 156.866 407.775 Selayar 14.077 23.213 47.136 64.190 2.126.037 292.610 343.411 507.071 Bulukumba 22.156 60.695 2.533 47.878 970.771 129.006 100.082 322.432 Bantaeng 12.949 21.555 18.263 39.916 1.459.381 172.100 190.451 418.866 Jeneponto 7.568 12.734 7.989 15.098 919.950 126.987 170.886 315.395 Takalar 10.003 79.760 14.675 31.097 1.129.618 161.527 85.448 383.762 Gowa 12.488 44.911 6.429 4.257 660.839 89.662 46.861 246.617 Sinjai 11.489 29.953 6.115 32.342 1.290.891 169.579 155.848 287.628 Maros 38.077 52.111 7.290 34.074 1.102.309 145.715 109.981 126.149 Pangkep 129.100 49.280 29.559 33.394 1.242.718 144.372 97.512 68.908 Barru 17.480 24.048 13.743 30.531 1.600.566 196.582 182.111 708.725 Bone 10.436 34.041 2.719 20.251 755.249 97.112 87.237 76.334 Soppeng 10.513 41.138 4.514 35.108 1.484.178 154.466 131.905 386.076 Wajo 11.412 24.521 15.138 59.184 948.345 128.115 200.472 319.753 Sidrap 14.352 70.980 12.914 91.547 1.170.159 137.110 289.706 675.339 Pinrang 12.597 63.163 15.780 22.306 1.040.167 138.088 112.520 349.885 Enrekang 9.486 37.833 15.091 86.094 1.399.266 168.793 224.352 583.754 Luwu 10.755 40.005 5.637 21.805 1.101.664 151.557 65.943 249.458 Tator 9.428 91.401 4.531 11.612 1.340.718 222.443 199.313 359.103 Luwu Utara 12.279 66.719 3.010 17.311 1.193.001 141.134 127.887 312.963 Luwu Timur 62.332 74.112 12.352 59.013 982.624 115.894 383.499 510.143 146 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Lampiran Tabel D.6. Belanja per Kapita Urusan Strategis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010 Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Pertanian Perikanan Makassar 483.404 79.663 172.513 8.122 - Pare-Pare 1.245.430 501.069 1.183.034 73.589 - Palopo 1.030.699 461.994 166.662 46.963 31.327 Selayar 844.522 293.471 607.271 175.938 87.558 Bulukumba 666.298 174.182 237.623 49.229 17.067 Bantaeng 877.680 192.562 368.483 95.185 18.748 Jeneponto 768.791 204.582 226.209 66.097 25.854 Takalar 783.535 304.185 172.917 59.993 62.037 Gowa 542.739 108.259 246.661 25.041 9.091 Sinjai 745.934 135.610 399.293 78.208 36.565 Maros 670.624 198.673 94.121 41.499 20.678 Pangkep 861.749 249.923 323.208 38.869 41.495 Barru 946.856 192.871 576.024 55.803 28.532 Bone 287.220 97.975 141.806 20.010 16.770 Soppeng 738.900 210.189 252.185 67.349 - Wajo 524.631 131.103 393.383 31.208 16.514 Sidrap 820.480 263.573 393.203 135.293 - Pinrang 724.747 148.508 275.996 63.080 23.117 Enrekang 950.941 747.750 553.116 112.780 - Luwu 657.378 179.177 130.891 24.483 27.420 Tator 595.598 209.852 215.792 59.279 8.976 Luwu Utara 582.249 297.893 222.384 52.092 21.760 Luwu Timur 647.623 320.835 483.981 75.004 25.883 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 147